*)Oleh: Tjahjono Widarmanto
Chairil Anwar pernah menulis sebuah puisi yang menggetarkan berjudul Persetujuan Dengan Bung Karno:
Ayo Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
- Iklan -
Aku sudah cukup lama dengar bicaramu,
Dipanggang atas apimu, digarami atas lautmu.
Dari mulai 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut.
Bung Karno! Kau dan aku satu zat, satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak dan berlabuh.
1948
Puisi Chairil Anwar di atas bertiti mangsa 1948, lima tahun setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta. Di tahun-tahun revolusi itu kita tahu, merupakan tahun-tahun yang penuh gejolak heroisme dan patriotisme yang membucah-buncah. Peristiwa proklamasi itu sendiri merupakan peristiwa yang penuh dengan “api” tindakan heroik. Sejarah mencatat peritiwa Rengasdengklok, yaitu bagaimana sekelompok pemuda dengan berapi-api hendak memutus hubungan dan perasaan balas budi Indonesia kepada Jepang. Mereka tidak mau ada campur tangan bangsa lain, lebih-lebih bangsa yang memiliki catatan buruk sebagai penjajah tanah airnya. Mereka menolak campur tangan badan bentukan Jepang yang disebut PPKI atau Dokuritsu Junbi Inkai. Di bawah pimpinan Soekarni dan Wikana, mereka pada dini hari 16 Agustus 1945 menculik Soekarno dan Moh.Hatta dan membawanya ke Rengasdengklok dan memaksa Soekarno-Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan saat itu juga. Pun, kita ketahui bersama akhir cerita Rengasdengklok yang revolusioner gagal memaksa Soekarno, dan baru pada tanggal 17 Agustuslah, proklamasi Indonesia dimaklumatkan di jalan Pegangsaan Timur.
Proklamasi kemerdekaan yang dimaklumatkan tersebut tak hanya menjadikan Indonesia tumbuh menjadi sebuah negara-bangsa, namun juga memercikan api heroisme dan patriotisme untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan. Api heroisme dan patriotisme menyalakan masa-masa yang disebut masa revolusioner. Negara-bangsa tak lagi hanya diperdebatkan melalui wacana-wacana namun diperjuangkan dan dipertahankan dengan darah dan nyawa. Bisa dicatat peristiwa-peritiwa seperti pertempuran 10 November di Surabaya, Bandung Lautan Api, Kerawang-Bekasi, perjuangan Robert Walter Monginsidi di Minahasa, serangan umum Yogya kembali, pertempuran Medan area, serangan umum Surakarta, palagan Ambarawa, puputan Margarana, pertempuran Minahasa, pertempuran Palembang, dan masih banyak lagi.
Heroisme dan patriotisme membumbung kemana-mana, menjadi milik siapa saja. Heroisme bisa dimaknai sebagai sikap keberanian dalam membela kedaulatan bangsa. Heroisme selalu berhimpitan dengan patriotisme yaitu sikap seseorang untuk bersedia berkorban demi kejayaan bangsa dan tanah airnya. Heroisme dan patriotisme memiliki ciri-ciri khusus yaitu cinta tanah air tanpa batas, rela berkorban jiwa raga dan tidak gentar apalagi menyerah dalam mempertahankan kedaulatan bangsa.
Heroisme dan patriotisme yang menyala-nyala dan tiba-tiba menjadi milik siapa saja dalam masa-masa revolusi itu dicatat tak hanya dalam sejarah, namun juga direkam dalam susastra. Chairil Anwar, menuliskan kesetiaan sampai mati sebagai laku patriotisme dan heroisme dalam puisinya Prajurit Jaga Malam:
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu?
Pemuda-pemuda yang lincah, yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
Ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka kepada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemui malam
Malam yang berbagi mimpi, terlucut debu ….
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu
Karya-karya sastra yang meniupkan nyala api heroisme dan patriotisme seperti di atas banyak berserak. Rendra menulis puisi Gerilya, Gugur, Doa Serdadu Sebelum Perang, Balada Sumilah; Toto Sudarto Bachtiar menulis Pahlawan Tak Dikenal, Tentang Kemerdekaan; Trisno Yuwono menulis prosa Pagar Kawat Berduri, Nugroho Noto Sutanto menulis Rasa Sayange, Hujan Kepagian, Subagyo Sastrowardoyo menulis Di Daerah Perbatasan, Idrus menulis Dari Ave Maria Jalan Lain Ke Roma, Surabaya, Mochtar Lubis menulis Jalan Tak Ada Ujung, Pramudya Ananta Toer menulis Keluarga Gerilya, dan masih banyak teks-teks sastra lain yang membahanakan patriotisme dan heroisme.
Heroisme dan patriotisme melahirkan sebuah isme baru, yaitu nasionalisme. Nasionalisme merupakan ideologi atau paham untuk menciptakan kedaulatan sebagai negara (nation) dengan mewujudkan suatu konsep identitas bersama untuk mencapai sebuah tujuan dan cita-cita yang sama. Dengan menarik Benedict Anderson menyebut nasionalisme sebagai imagined communities atau komunitas imajiner atau sebuah imajinasi bersama sebagai bangsa yang berdaulat.
Pada masa-masa revolusioner, heroisme dan patriotisme tumbuh subur bahkan menjadi milik semua karena pada saat itu terbangunlah bersama-sama dalam benak warga negara sebuah imajinasi tentang Indonesia. Imanjinasi yang harus diperjuangkan dan dipertahankan bersama. Maka tak heran imajinasi itu menimbulkan gairah perjuangan yang meluap-luap karena mengimpikan sebuah negara yang berdaulat dan ideal.
Persoalannya sekarang, mengapa seolah-olah heroisme, patriotisme dan nasionalisme itu seolah-olah menyusut bahkan padam?
Tampaknya apa yang diimajinasikan bersama, imagined communities itu ketika menjadi sebuah realitas ternyata tak sesuai dan tak seideal yang dibayangkan. Ketika negara tak lagi hadir bagi sebagian warganya, sehingga masih mengalami keterpurukan, ketidakadilan, kesewenangan-wenangan, ketakberdayaan di berbagai sektor sosial, ekonomi, pendidikan, partisipasi politik, kemakmuran, dan sebagainya, maka imajinasi itu pun ambyar. Ambyarnya imajinasi tentang negara dan bangsa yang ideal menjadikan kikisnya rasa patriotisme, heroisme dan nasionalisme. Akibatnya, rakyat pun menjauh dari negara. Menjauh pulalah heroisme, patriotisme, dan nasionalisme. Untuk mengembalikan itu semua, tak ada pilihan lain yaitu negara harus hadir melalui penyelenggara atau aparatur negara yang benar dan berorientas pada warga negaranya!
Penulis adalah guru di SMAN 2 Ngawi dan sastrawan.