Cerpen Rumadi
Antrean di luar telah membludak. Sejak dua hari yang lalu, Mbah Husni tidak menerima pasien dikarenakan ia sendiri sedang sakit. Hasan dan Husein, kedua cucunya telah mengatakan lewat pengeras suara, bahwa Mbah Husni tidak menerima pasien lagi karena keadaan tidak memungkinkan. Namun pasien terus berdatangan. Semakin panjang. Semakin mengular. Bahkan di antara mereka ada yang berkemah satu minggu di depan rumah mereka demi bisa berobat kepada Mbah Husni.
Mbah Husni tersengal. Batuknya terdengar menyedihkan. Hasan memapahnya, mendudukkannya dan berharap bisa meringankan batuknya. Napasnya terdengar kkemban-kempis, seolah merasa berat dalam setiap tarikan dan embusannya. Husein mengambil air minum, sebelum meminumkannya, ia merapalkan doa sebagaimana yang diajarkan kakeknya. Berharap kakeknya bisa segera sembuh.
“Biar aku yang keluar lagi. Menyampaikannya lagi. Keadaan Mbah sudah tidak memungkinkan.”
- Iklan -
Husein hendak berdiri, tetapi tangan lemah Mbah Husein mencekalnya. Dengan sorot mata yang redup, seperti berharap, Mbah Husni meminta Husein duduk kembali. Kasihan mereka jika disuruh pulang. Dengan kalimat yang patah-patah, karena Mbah Husni berbicara dengan menahan batuk. Namun lihatlah keadaan Mbah. Sudah tidak memungkinkan untuk menolong mereka. Bagaimana bisa menolong mereka yang sakit sementara menolong diri sendiri saja tidak mampu?
Keampuhan penyembuhan Mbah Husni memang terkenal sejak dulu. Mungkin kau akan tidak percaya sampai kau datang ke sana dan membuktikannya. Mbah Husni menyembuhkan hanya dengan sentuhan. Sejak muda, sejak ia belum menikah, Mbah Husni telah membuka praktik demikian; membuka praktik di depan rumah sendiri. Padahal rumahnya hampir di puncak gunung, tetapi sejak orang-orang tahu Mbah Husni memiliki kemampuan yang sedemikian ajaib, orang-orang mulai berdatangan.
Orang-orang sakit yang dibawa ke sana seperti orang yang putus asa mencari kesembuhan. Cerita hanya beredar dari mulut ke mulut. Tidak ada satu pun pasien yang tidak sembuh. Mbah Husni, hanya menyuruh mereka di balai bambu yang dialasi kain tebal. Tentu kepala pasien diberi penyangga, bukan bantal, tetapi penyangga itu terbuat dari kayu. Mbah Husni kemudian merapal doa, matanya memejam khusyuk, bibirnya berkomat-kamit dan kemudian mengucapkan basmalah. Bersamaan tarikan napas, Mbah Husni mengelus kening pasien, tangannya bergetar hebat, seolah menyerap seluruh rasa sakit si pasien. Beberapa pasien menjerit, tetapi banyak juga yang merasakan demikian damai karena sentuhan tangan Mbah Husni. Apa pun penyakitnya, bagaimana pun bentuknya, dan meski si pasien atau keluarga si pasien tidak menceritakan apa pun perihal penyakit yang dideritanya, Mbah Husni melakukan hal yang sama. Kesembuhan mulai dirasakan pasien sejak ia keluar dari rumah Mbah Husni yang sederhana.
Kalau mau, Mbah Husni bisa membangun rumah mewah sebagai tempat tinggal. Namun lihatlah, rumahnya sederhana saja. Dinding-dindingnya terbuat dari bambu, atapnya terbuat dari tanah liat yang berwarna merah. Dan tidak ada ubin yang mengalasi rumahnya, alasnya hanya berupa tanah. Mbah Husni hanya meletakkan sebuah kotak di luar rumah, di sanalah para pasien memberikan imbalan terhadap pengobatan kepada Mbah Husni. Mbah Husni tidak mematok tarif. Berapa pun yang diberikan pasien dan keluarganya, ia senantiasa bersyukur.
Pernah suatu kali, Husein mendapati uang yang demikian banyak. Cukup untuk membeli tanah, bahkan rumah di kota, dan tentu saja membuatnya tergiur. Husein meminta Mbah Husni untuk turun gunung. Bukankah sudah terlalu lama ia mengabdikan diri terhadap masyarakat? Sudah saatnya Mbah Husni memilih kehidupannya sendiri. Hidup dengan tenang, di rumah yang damai dan tenang, tanpa seorang pun yang mengusiknya. Namun keinginan cucu kesayangannya tersebut tentu saja ditolak. Mbah Husni dilahirkan di sini, besar di sini, dan ingin mati di sini. Di sini letak cintanya. Ia membaui tanah, aroma udara bukit, dan kemerisik daun yang bergoyangan. Rasanya Mbah Husni tidak bisa meninggalkan semua itu.
Tentu ada pasien yang diam-diam memasukkan amplop kosong. Husein dan Hasan, yang setiap malam menghitung uang yang didapat, mengumpat, begitu mendapati beberapa amplop tidak berisi. Amplop putih yang dilem, tanpa nama, tanpa nomor antrean. Mbah Husni tersenyum. Tidak boleh begitu, bukankah beberapa orang memberikan lebih dari apa yang pantas kita dapatkan. Anggap saja si kaya membayari si miskin. Hasan Husein sebenarnya ingin mendebat kakeknya, tetapi mereka tak akan pernah menang jika berbicara tentang nasihat kehidupan. Karena kakeknya akan menutup pembicaraan dengan nasihat yang khas, kalian masih muda, belum banyak memakan garam kehidupan. Dan setelahnya kedua cucu Mbah Husni itu merengut.
Tak hanya amplop kosong yang pernah membuat Hasan dan Husein jengkel. Mereka juga sering mangkel dengan sikap Mbahnya. Mbah Husni seringkali menyumbang lembaga amal dengan jumlah yang tidak sedikit. Terkadang ketika Mbah Husni menelepon beberapa teman yang mengurusi sedekah infak dan sedekah, dan mereka tidak bisa datang ke kediaman Mbah Husni, ia akan menyuruh salah seorang cucunya untuk pergi ke bank guna menyetor sejumlah uang kepada lembaga tertentu.
Mbah Husni hanya mengambil sedikit bagian, yang penting cukup untuk hidup mereka bertiga. Dan Hasan Husein beberapa kali menyelipkan beberapa lembar uang merah ke dalam sakunya. Anehnya, Mbah Husni selalu tahu hal itu. Mbah Husni tidak marah sebagaimana ayahnya jika marah. Ayahnya akan langsung mengambil rotan dan memecut pantatnya dengan rotan yang membuatnnya menjerit dan meringis. Namun, kakeknya berbeda. Kakeknya hanya mengatakan, jika kau butuh sesuatu, atau ingin membeli sesuatu, tak usah diam-diam mengambil uang yang digunakan untuk bersedekah. Katakan, berapa kebutuhanmu, dan untuk apa, kakek akan memberikannya dengan ikhlas. Asalkan uang itu digunakan untuk sesuatu yang bermanfaat kakek akan lebih berbahagia. Demikianlah, mereka akhirnya berhenti dari perbuatan curang kepada kakeknya.
Praktik Mbah Husni juga menguntungkan beberap penduduk yang tinggal di sekitarnya. Dari bawah bukit, sampai ke atas tempatnya tinggal, berdiri warung-warung. Mbah Husni meliburkan diri tiap hari Jumat. Ia mengajak kedua cucunya untuk turun gunung, salat Jumat. Selain itu, selepas Jumatan, Mbah Husni akan mendatangi satu demi satu warung yang berdiri berjajar. Jika ada yang kedapatan memberikan harga yang lebih mahal dari yang seharusnya, Mbah Husni tak segan-segan menegurnya. Memang Mbah Husni tidak lagi datang ke sana. Namun kalimat yang terujar dari bibir Mbah Husni seperti memiliki kekuatan magis. Si penjual yang hanya mengiyakan kata-kata Mbah Husni dengan anggukan kepala, tetapi ia masih memberikan harga makanan yang lebih mahal dari harga yang seharusnya demi mendapatkan keuntungan yang lebih banyak, maka dapat diduga, warungnya akan menjadi sepi. Bahkan tak ada satu orang pun yang mau mampir ke warungnya. Dan warga pun sadar, tak ingin lagi memberikan tarif lebih besar dari yang seharusnya.
Banyak juga pasien yang datang dari luar negeri. Dan mereka ikut mengantre sebagaimana seharusnya. Hasan dan Huseinlah yang mengurusi masalah antrean.
Pernah suatu kali seorang pejabat membawa istrinya yang sakit. Ia datang dengan sirine. Orang-orang yang mengantre melihat ke arah si pejabat. Dengan angkuh dan pongah, bahkan Hasan Husein hendak bertengkar dengan penjaga si pejabat. Ia masuk tanpa permisi. Mbah Husni yang sedang mengobati pasien menanggapinya dengan dingin. Mbah Husni menanyakan nomor antrean. Namun si pejabat dengan pongah membuka tasnya, memperlihatkan uang yang demikian banyak, yang tentu saja akan membuat setiap orang terkesima karena belum pernah melihat uang sebanyak itu. namun Mbah Husni tetap menanyakan nomor antrean. Si pejabat mengeluarkan satu koper lagi yang jumlahnya sama dengan koper pertama. Mbah Husni tersenyum dan masih menanyakan nomor antrean.
“Jika kau tak mau mengobati istriku sekarang, kau akan mati di tangan anak buahku.”
Salah seorang penjaga langsung mendekati Mbah Husni. Hasan Husein hendak menolong tetapi tiba-tiba tangan mereka dicekal dengan kuat. Selain itu, kedua petugas pejabat itu menodongkan pistol ke kepala keduanya. Mbah Husni diam, masih tersenyum, dan tetap merapalkan doa kepada pasiennya. Tangannya bergetar seperti menyerap kesakitan si sakit. Si pasien ketakutan, dan keluarganya berusaha membawanya keluar dengan langkah tergesa, dengan maksud tidak ingin terlibat lebih jauh atas apa yang akan terjadi. Mbah Husni sekali lagi hanya berkata menanyakan nomor antrean. Si pejabat marah. Napasnya mendengus dan menyuruh melepaskan tembakan ke kepala Mbah Husni. Dor!!! Terdengar bunyi tembakan. Ajaib. Kepala Mbah Husni tidak terluka sedikit pun. Sebaliknya, penjaga si pejabat yang menembakkan pelurunya tersungkur dengan luka tembakan di pelipisnya. Si pejabat gemetar. Seperti masih tak mempercayai apa yang baru saja terjadi.
“Bawalah dia! Makamkanlah dengan layak, sebagaimana ia selalu melindungimu. Setelahnya, jika kau ingin berobat, ambillah nomor antrean di bawah. Ada salah seorang teman Hasan dan Husein yang mengaturnya. Tak semua hal di dunia ini bisa diselak, apalagi dibeli dengan uang.”
Tentu kejadian itu membuat gempar. Beberapa penduduk yang sudah muak dengan kelakuan si pejabat, tertawa dan mengutukinya sepanjang perjalanan mereka pulang. Mbah Husnilah yang menyuruh mereka untuk tenang kembali. Dan praktik pengobatan dimulai kembali.
Sepanjang hidup, baru kali itulah Mbah Husni sakit. Dengan batuk tersengal dan napas kembang-kempis yang menyedihkan. Praktik pengobatan ditutup sementara. Mbah Husni minta dibaringkan. Hasan dan Husein langsung menuruti permintaan kakek mereka. Mereka segera menghubungi ayah dan ibu mereka. Keadaan Mbah Husni menyedihkan. Di luar orang-orang bergumam. Mereka yang mengantre bahkan sudah ada yang seminggu lamanya berada di sana terlihat cemas. Beberapa orang menggigit bibir bawah mereka. Takut pengobatan datang terlambat.
Dan benar saja, Mbah Husni berhenti bernapas. Ia memejamkan mata untuk selama-lamanya. Hasan menjerit, hingga suaranya menggema ke bawah lembah. Orang-orang berdatangan meringsek masuk. Husein hanya menyimpan tangisnya sendiri. Ia berusaha menahan bibirnya yang gemetar. Ia menahan air matanya untuk tidak jatuh.
Beberapa orang langsung berbalik, memapah keluarga mereka yang sakit, menuju mobil mereka yang diparkir. Satu per satu meski berdesakan pasien yang tadinya hendak mengantre meninggalkan bukit itu. Warung-warung yang menjajakan makanan kepada pengantre langsung menghambur keluar rumah, hendak menyaksikan raut kesedihan mereka yang gagal berobat. Bahkan mereka tampak bergegas, langkah mereka tergesa seperti dikejar kematian.
Hanya Hasan dan Husein yang akhirnya tinggal di sana. Beberapa orang yang merangsek masuk, begitu tahu Mbah Husni meninggal, langsung berbalik, bergegas menuju kendaraan mereka. Wajah mereka diliputi kecemasan, sejak mereka mendengar Mbah Husni sakit dengan batuk yang demikian menyedihkan. Apa yang dikhawatirkan para pengantre itu terjadi. Mbah Husni meninggal. Tak satu pun mereka yang tampak peduli, atau setidaknya bersedih, atas kematian Mbah Husni. Mereka bergegas pulang, atau mungkin mencari pengobatan lain yang seperti praktik Mbah Husni.
Para penjaga warung pun tampak bersedih. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Jika Mbah Husni sudah tidak ada, kepada siapa mereka harus menjajakan dagangannya? Sama seperti pasien yang mengantre, mereka bersedih, karena besok tidak akan ada lagi pasien yang mengantre. Selama ini pasien-pasien Mbah Husni-lah yang membuat kampung mereka hidup. Ekonomi mereka membaik. Bahkan tak sedikit yang mampu menguliahkan anaknya sampai lulus. Dan mulai besok, mungkin ekonomi mereka berhenti. Mereka berharap kematian Mbah Husni lelucon semata. Mbah Husni hanya pingsan dan tak lama akan segar seperti sedia kala. Sementara itu, tangis Hasan terus menggaung. Si Husein mengikuti apa yang pernah dilakukan kakeknya. Ia merapal mantra, menyentuh kening kakeknya, kemudian menggetarkan tangannya seolah menyerap kematian. Dan ia menghentak, mengembuskan napas dengan kuat. Ia rasai hidung Mbah Husni. Tak ada napas. Ia rabai jantungnya. Tak ada detak. Ia rabai pergelangan tangan. Tak berdetak juga. Ia rabai leher dan kening. Tak ada tanda kehidupan.
Husein terduduk. Ia ciumi tangan kakeknya. Ia elus-elus dan tak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia hanya menunggu, semoga saja ayah dan ibu mereka segera datang. ***
Ciputat, 7 Agustus 2021
*RUMADI, lahir di Pati 1990. Menulis cerpen. Saat ini aktif di FLP Ciputat dan komunitas Prosatujuh. Cerpennya pernah dimuat Harian Republika, Harian Mercusuar, basabasi.co, kompas.id, cendananews.com dan detik.com