Oleh Fatna Harista
Dalam kitab Min Ma’arif as-Sadat as-Shufiyyah, Muhammad Khalid Tsabit mengisahkan masa hidup Syekh Abdul Wahhab as-Sya’rani, ulama yang menjadi imam di belahan bumi dengan segudang ilmu yang dikuasai. Pintu hatinya dibukakan oleh Allah untuk menerima ilmu-ilmuNya. Inilah yang kemudian dikenal dengan ilmu laduni.
Syekh Abdul Wahhab as-Sya’rani menyadari bahwa dirinya mendapat keistimewaan khusus dari Allah berupa ilmu laduni. Syekh Abdul Wahhab as-Sya’rani mengakuinya dengan mengisahkan perjumpaannya dengan Syekh Ali al-Khawash.
Di awal perjumpaan, Syekh Ali al-Khawash memerintahkan agar Syekh Abdul Wahhab as-Sya’rani menjual semua kitab yang dimilikinya, kemudian hasil penjualannya disedekahkan kepada orang-orang fakir. Beliau pun memenuhi dengan sam’an wa tha’atan. Kitab-kitab koleksi kesayangannya dijual, meski dengan berat hati.
- Iklan -
Beliau berat hati sebab selain kitab-kitab tersebut laku dengan harga kurang layak, kitab-kitab itu merupakan teman terbaik beliau selama ini.
Berhari-hari beliau masih ditimpa kegelisahan. Pikirannya tidak tenang. Beliau seakan merasa terjualnya kitab-kitab itu menandakan hilangnya ilmu pada dirinya. Beliau juga ingat jerih payahnya saat memberi catatan kaki dan komentar pada lembar-lembar kitabnya. Namun, beliau segera sadar, nasi telah menjadi bubur. Tak ada yang patut disesali. Kitab-kitab telah terjual dan hasil penjualannya sudah didistribusikan kepada para fakir.
Kesadaran beliau juga berkat nasihat dari Syekh Ali al-Khawash yang menjumpai beliau pada sebuah kesempatan dengan berkata, “Putuskan ketergantunganmu pada kitab-kitabmu dengan memperbanyak zikir kepada Allah. Sebab, orang-orang berkata, barang siapa yang perhatiannya sering berpaling kepada Allah, maka ia tak akan sampai pada tujuan.” Beliau pun berupaya memutus ketergantungan itu hingga benar-benar terputus.
Setelah itu, Syekh Ali al-Khawash menitahkan Syekh Abdul Wahhab as-Sya’rani untuk beruzlah. Dalam beberapa lama beliau betul-betul menjauh dari keramaian manusia. Gerak-gerik dan helaan napasnya ditujukan kepada Allah. Setiap untai waktunya beliau habiskan untuk berzikir dan bermunajat kepada Allah. Sehingga terlintas dalam hatinya, beliau merasa lebih baik dari manusia lainnya.
Perasaan beliau yang demikian tak dapat disembunyikan dari Syekh Ali al-Khawash. Maka, pada suatu ketika, Syekh Ali al-Khawash berujar kepada Syekh Abdul Wahhab as-Sya’rani, “Buang jauh-jauh perasaan bahwa engkau lebih baik dari mereka.” Seketika beliau berusaha menghapus rasa congkak itu dari dasar hatinya agar benar-benar terhapus, sehingga beliau melihat diri paling hina di antara manusia.
Kemudian Syekh Ali memerintah beliau untuk kembali berinteraksi dan beraktivitas dengan para penduduk. Juga menasihati agar tetap sabar menghadapi perlakuan buruk mereka, serta tidak membalasnya dengan keburukan yang serupa. Beliau pun dengan tulus menjalankan perintah itu sambil lalu tetap berzikir kepada Allah.
Dalam kesempatan berikutnya, Syekh Ali menyuruh beliau untuk meninggalkan urusan syahwat dan keinginan duniawi. Beliau pun meninggalkannya. Tak lama berselang, Syekh Ali kembali memerintahkan beliau untuk meminta kepada Allah agar memperlihatkan dalil-dalil syarak.
Setelah Syekh Abdul Wahhab as-Sya’rani memohon kepada Allah, tiba-tiba sederet pintu ilmu laduni terbuka dalam hatinya, tepat saat beliau berdiri di pinggir sungai Nil, di dekat kompleks perumahan al-Bararah dan aliran air al-Qal’ah. Masing-masing pintu ilmu itu terbuka lebar, bahkan lebih luas daripada jarak bumi dan langit.
Sejak itu Syekh Abdul Wahhab as-Sya’rani mampu berbicara makna-makna Al-Qur’an dan hadis. Dari makna-makna itu, beliau bisa menetapkan hukum, kaidah-kaidah nahwu, ushul fiqh, dan ilmu-ilmu lainnya. Beliau tak perlu lagi menelaah kitab-kitab para ulama, bahkan beliau kemudian mampu menulis tak kurang dari seratus kitab.
Kisah di atas banyak mengandung ibrah bagi kita yang baik pula untuk mengimplementasikannya dalam hidup sehari-hari.
Pertama, kepatuhan kita kepada kiai, ustaz atau guru sangatlah tampak manfaat dan berkahnya. Kadang kala dengan segala keterbatasan yang ada, dengan ketidakmampuan kita dalam menembus dimensi lain, kita langsung menyimpulkan sesuai asumsi dan isi pikiran kita. Ego kita seolah memosisikan kita sejajar dengan guru atau terkadang merasa lebih baik daripada kiai atau guru. Semisal kita yang sudah menyelesaikan pendidikan tinggi, sementara kiai langgar kita, kiai yang mengenalkan kita pada huruf-huruf hijaiah, pendidikan dasar saja tidak lulus, kemudian kita tak mengindahkan nasihatnya, tak menggubris masukannya, padahal nasihat tersebut demi kemajuan dan kebaikan kita. Karena hasrat merasa diri lebih baik daripada kiai, lalu kita begitu saja meninggalkan semua nasihatnya. Padahal kepatuhan kita kepada guru mampu mengubah alur nasib kita setelah mendapat doa, rida dan berkahnya.
Pelajaran kedua, jangan sekali-kali kita menuhankan kitab atau buku. Sebab, sejatinya bukan kitab dan buku yang membuat kita pandai berbicara dan menjadikan kita mahir dalam menulis. Tetapi, Allah-lah yang mengembuskan energi positif itu lewat ilmu, petunjuk dan rahmatNya. Sementara kitab dan buku tiada lain hanyalah sekadar wasilah, perantara sampainya kita dalam tujuan.
Ibrah ketiga, saat berbagai ilmu sudah kita kuasai, jangan lupa untuk selalu ingat kepada Allah. Harus tetap, bahkan tambah dekat kepada Allah. Sebab, definisi alim adalah orang yang berilmu, mengamalkan ilmunya dan bertambah dekat kepada Allah.
Pelajaran keempat, untuk cepat mendapatkan ilmu dan dimudahkan memahami ilmu, kita harus tinggalkan maksiat. Karena semakin banyak maksiat yang diperbuat, maka akan semakin pekat hati dan pikiran kita untuk menerima ilmu.
Akhir kata, congkak atau merasa diri lebih alim, bahkan melebihi kealiman kiai atau ustaz, akan membuat kita ‘besar kepala’. Maksiat demi maksiat yang kita lakukan, padahal kita menyadari hal tersebut merupakan perbuatan yang tak diridaiNya, tapi masih tetap diteruskan, akan menjadikan kita ber-‘kepala batu’. Semoga kita dijauhkan dari besar kepala dan berkepala batu. ***
*FATNA HARISTA, pegiat literasi, sekaligus pendidik di Pondok Pesantren Nurul Qarnain Sukowono Jember.