Jakarta – Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI menggelar Training of Trainer (ToT) Pendidikan Inklusif berbasis Gender, Disabilitas dan Inklusi Sosial (GEDSI) Seri-7 pada Rabu (8/9/2021) via Zoom Meeting dan disiarkan langsung melalui Youtube GTK Madrasah Channel. ToT seri-7 ini mengangkat tema Sistem Monitoring, Evaluasi Madrasah Penyelenggara Pendidikan Inklusif Berbasis GEDSI.
Dalam pengarahannya, Kasubdit Kurikulum Dan Evaluasi Direktorat KSKK Madrasah Kemenag RI Dr. Ahmad Hidayatullah, M.Pd., menyampaikan peluang-peluang kebijakan kurikulum inklusif di madrasah. Pihaknya menyampaikan pengembangan kurikulum inklusif di madrasah.
“Tampaknya kita perlu melakukan pembahasan intensif terkait pengembangan kurikulum inklusif di madrasah. Masalah pendidikan inklusi ini sebenarnya sudah lama digaungan, namun membutuhkan upaya sendiri untuk meletakkan paradigma ini kepada semua lini level pembahasa, pengambil kebijakan di satuan pendidikan termasuk di madrasah,” bebernya yang dimoderatori Dr. Yeni Sri Wahyuni Rangkuti, S.Pd., MA.
Dijelaskannya, bahwa target dalam pengembangan kurikulum dimimpikan pengembangan program pembelajaran yang memastikan terwujudnya Gender Equality/Kesetaraan Gender, Disability/Disabilitas and Social Inclusion/Inklusi Sosial (GEDSI) di madrasah. “Tentunya ini tidak bergerak sendiri di Direktorat KSKK, selalu melibatkan dalam kaitan sarpras, kelembagaan dan kesiswaan,” lanjutnya.
- Iklan -
Pihaknya menjelaskan soal cara mewujudkan GEDSI dalam perspektif pengembangan kurikulum. “Kita sudah banyak melakukan upaya-upaya penyelenggaraannya. Terkait dengan GEDSI untuk ditegakkan, ini merupakan tantangan tersendiri di tengah keragaman bangsa Indonesia. Di Kementerian Agama, konsep ini tidak beda dengan dengan moderasi beragama. Walaupun ada beragamanya, namun moderasi beragama memberikan ruang kebijakan untuk bisa mendorong bagaimana upaya-upaya yang menghormati keberagaman, kebhinekaan, dan sebagainya,” lanjutnya.
Di dalam target pengembangan kurikulum pendidikan inklusif di madrasah hanya satu, lanjutnya, yaitu meleburkan skat-skat, perbedaan-perbedaan, diskrimasi dalam gender, geografi, kemiskinan, akses internet, migrasi, bahasa, budaya, suku bangsa, kemudian disabilitas itu bisa diatasi.
“Dalam bahasa saya meleburkan skat-skat tersebut dalam pembelajaran di madrasah, ini bukan bicara sederhana, namum meleburkan skat-skat untuk mewujudkan interkoneksi yang cukup luas, cukup harmonis, untuk bisa membawa anak-anak kita ke dalam pemahaman yang general di dalam menyikapi keanekaragama ini ternyata kalau kita kaji secara dalam membutuhkan kesadarana dan pehamahan kita secara jeli, pernik-perniknya begitu dalam,” lanjutnya.
Pihaknya berharap, kepada guru dan stakeholders di madrasah untuk bisa mengimplementasikan paradigma tersebut. “Kita bisa beropini, namun dalam pelaksanaannya terkadang susah dilakukan. Mengapa? Seperti sudah saya katakan tadi, program-program pendidikan inklusi sudah lama digaungkan, namun perlu keterlibatan kita secara massif dan juga kesadaran kita,” tegas dia.
Dalam Kebijakan Kurikulum dan Evaluasi, agar guru-guru bisa menyikapi keanekaragaman siswa, sudah ada beberapa regulasi. Mulai dari jenjang RA: KMA 792 Tahun 2018, PAI Madrasah: KMA 183 Tahun 2019, Implementasi Kurikulum: KMA 184 2019, Supervisi Pembelajaran: KMA tentang Supervisi Pembelajaran.
Maka dari itu, ada beberapa agenda yang dilakukan. Pertama, panduan kurikulum akomodatif dalam mengimplementasikan kurikulum yang mengarusutamakan GEDSI. Kedua, panduan identifikasi dan assesmen fungsional bagi Peserta Didik Berkebutuan Khusus (PDBK). Ketiga, pedoman program pembelajaran individual/SKS ( PPI). Keempat, pedoman pembelajaran dan penilaian akomodatif. Kelima, panduan pengembangan strategi dan media pembelajaran inklusi. Keenam, juknis monitoring, evaluasi, pelaporan dan penjaminan mutu internal. Ketujuh, pengembangan budaya inklusif di madrasah.
Di akhir sambutan, ia berharap agar semua elemen konsisten menjalankan perjuangan pendidikan inklusif di madrasah. Usai sambutan, kegiatan dilanjutkan dengan penyampaian materi dari para narasumber. Pertama adalah Dewan Pakar FPMI Pusat/Ketua Umum Lintang Samudra Edukasi Yayasan MDP Indonesia Drs. Dedy Kustawan, M.Pd., yang menyampaikan materi Kebijakan Dan Konsep Monitoring Dan Evaluasi Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Berbasis Gender, Disabiltas, Dan Inklusi Sosial. Kedua, Pengurus FPMI Kemenag Pusat Maskanah, S. Ag. M. Pd., yang menyampaikan materi Mekanisme Pelaksanaan Sistem Monitoring, Evaluasi Madrasah Penyelenggara Pendidikan Inklusif Berbasis Gender, Disabilitas, Dan Inklusi Sosial yang dimoderatori Pengawas Madrasah Kankemeneg Kabupaten Bone Akmal, S.Ag., M.Pd.I.
Deputy Director Learning INOVASI Feiny Sentosa dalam kesempatan itu mengatakan selamat atas terlaksananya ToT sejak April seri-1 sampai dengan September 2021 seri-7 yang merupakan sesi akhir. “Pelatihan ToT biasanya merupakan langkah awal untuk mendiseminasikan atau meneruskan pelatihan selanjutkan diteruskan kepada praktisi, guru atau kepala madrasah yang justru akan melaksanakan apa yang dilatih di madrasah-madrasah mereka,” bebernya.
Tugas ke depan, pihaknya berharap para Fasnas yang sudah dilatih untuk menularkan, mendampingi, dalam perjalanan, mendorong guru dan kepala untuk terus mencoba, mencoba lagi sampai berhasil. “Masa pendampingan ini sebenarnya masa yang penting bagi guru, untuk melaksanakan refleksi melalui pengamatan dengan teman sejawat, atau dengan pendamping atau dengan Fasnas sendiri,” katanya.
Pihaknya berharap agar lokakarya atau ToT ini berjalan maksimal dengan tindaklanjut di madrasah masing-masing. “Perlu evaluasi pelaksanaan dan pendampingan, perlu apa sih yang harus dimaksimalkan ke depan,” harapnya.
Di akhir sesi, secara resmi ditutup oleh Direktur GTK Madrasah Kemenag RI Dr. Muhammad Zain, M.Ag.
Pihaknya mengapresiasi saat kunjungan di Semarang dan bertemu dengan guru-guru inklusi yang luar biasa, yang mampu mengawal anak-anak yang memiliki keterbatasan. “Mereka punya cara tersendiri yang luar biasa, yang bisa mencari talenta dari anak-anak yang berkebutuhan khusus tersebut,” paparnya.
Dari data EMIS, kita memiliki 43 ribu anak berkebutuhan khusus dan guru-guru kita banyak yang belum terlatih secara profesional. “Dalam konteks inilah, arti penting ToT Fasilitator Nasional ini, dan semua yang kita latih, para tutor ini bisa meneruskan para ilmu pada guru di daerah masing-masing,” harapnya.
Pihaknya berharap, agar para Fasnas menularkan semua ilmu, praktik baik dan pengalaman yang didapat kepada semua guru di daerah masing-masing untuk memaksimalkan apa yang didapat. Pihaknya juga berharap ke dapan ada program-program yang berkelanjutan yang menyentuh pendidikan inklusi karena dari hasil wawancara dengan guru-guru, masih banyak guru yang ternyata belatihan otodidak tentang inklusi. (Ibda).