Oleh: Sulistiyo Suparno
Dekade 1970-an jagat sastra di Indonesia muncul puisi yang aneh. Keanehan itu jelas tertampak pada tipografi yang melenceng dari pakem yang selama sekian lama diyakini sebagai bentuk baku puisi.
- Iklan -
Remy Sylado menyebut puisi yang nyeleneh itu sebagai puisi mbeling. Sebuah istilah yang ia adaptasi dari bahasa Jawa, mbeling, yang berarti nakal. Ke-mbeling-an itu tertampak pada permainan tipografi serta makna yang terkandung.
Puisi Tragedi Winka dan Sihka karya Sutardji Calzoum Bahri sering dijadikan rujukan atau contoh puisi mbeling. Puisi ini hanya terdiri dua kata, kawin dan kasih, yang ditulis berulang-ulang, lalu pada satu titik temu dua kata itu berubah menjadi kata winka dan sihka.
Sebagian pembaca merasa kerepotan menangkap makna puisi tersebut. Namun, ternyata maknanya sederhana saja, bahwa keabadian itu sebuah keniscayaan. Tak ada yang abadi di dunia ini. Orang yang kawin dan kasih, bisa saja suatu saat berubah menjadi benci. Kebencian itu mewujud dalam kata winka dan sihka, yang merupakan kebalikan dari kata kawin dan kasih.
Sementara penyair lain membuat puisi mbeling dengan tipografi yang berbeda-beda. Ada yang membuat puisi dengan bentuk kerucut, kotak, tanda tanya, dan bentuk lainnya.
Menurut Sapardi Djoko Damono, ciri utama puisi mbeling adalah kelakar. Kata-kata, arti, bunyi, dan tipografinya dimanfaatkan untuk mencapai efek tersebut. Menurutnya, sebagian besar puisi mbeling menunjukkan maksud penyairnya sekadar mengajak pembaca berkelakar semata, tanpa ada maksud lain yang disembunyikan.
Coba simak puisi karya Remy Sylado berjudul Belajar Menghargai Hak Asasi Kawan.
jika
laki mahasiswa
ya perempuan mahasiswi
jika
laki saudara
ya perempuan saudari
jika
laki pemuda
ya perempuan pemudi
jika
laki putra
ya perempuan putri
jika laki kawan
ya perempuan kawin
jika kawan kawin
ya jangan ngintip
Enam ciri
Soekono Wirjosoedarmo dalam buku Sastra Indonesia Modern: Sastra Masa Perkembangan (Sinar Wijaya, Surabaya, 1985) menyebut puisi mbeling sebagai puisi kontemporer.
Dalam kajian Soekono, bila dilihat dari bentuknya, puisi kontemporer terbagi menjadi enam macam ciri. Pertama, puisi yang menolak kata sebagai media ekspresi. Contohnya adalah puisi karya Danarto yang berbentuk gambar jantung kena panah.
Kedua, puisi yang bertumpu pada simbol-simbol non-kata dan menampilkan kata seminimal mungkin. Contohnya adalah puisi karya Jeihan berjudul Vietnam yang dimuat di Suara Karya, 17 Juli 1975.
VIETNAM
OOOOOOOOOO
OOOOOOOOOO
OOOOOOOOOO
OOOOOOOOOO
OOOOOOOOOO
OOOOOOOOOO
OOOOOOOOOO
OOOOOOOOOO
beribu anak tak beribu
OH, H.O !
H.O, OH !
O
Ketiga, puisi yang memasukkan unsur-unsur kata atau kalimat bahasa asing atau bahasa daerah. Contohnya, puisi Main Cinta Model Kwangwung karya Darmanto Jatman.
Keempat, puisi yang memakai kata-kata supra, kata-kata konvensional yang dijungkirbalikkan dan belum dikenal orang, atau penciptaan kata-kata baru yang belum sempat diabadikan dalam kamus. Contohnya, puisi Girisa karya Sides Sudyarto Ds.
GIRISA
ya maraja jaramaya
ya marani niramaya
ya silapa palasiya
ya mirado radamiya
ya midosa sadomiya
ya dayuda dayudaya
ya siyaca cayasiya
ya sihama mahasiya
Kelima, puisi tipografi atau puisi seni rupa. Penyair menggunakan kata-kata yang tersusun rapi sehingga mewujud seperti bentuk lukisan. Contohnya, puisi Tragedi Winka dan Sihka karya Sutardji Calzoum Bachri yang berbentuk zigzag.
Keenam, puisi yang berpijak pada bahasa konvensional, tapi penyair memberi tenaga baru berupa idiom-idiom baru. Contohnya, puisi Sang Sing Song karya Ibrahim Sattah.
Kontemporer
Puisi mbeling disebut juga puisi kontemporer, karena umurnya tak lama. Perlahan, para penyair yang sempat menciptakan puisi mbeling mulai meninggalkan habitat barunya tersebut. Mereka kembali menulis puisi “konvensional”, setelah tren puisi mbeling berlalu.
Puisi mbeling, terutama yang menggunakan tipografi, memerlukan ruang yang cukup luas bila dimuat di koran, agar puisi tersebut bisa leluasa “bergerak”. Masih memungkinkan bila dimuat di majalah, karena ruang di majalah lazimnya lebih luas daripada koran, tetapi sangat sedikit majalah yang mau menampung puisi. Kesulitan ruang atau kolom di koran dan majalah adalah salah satu penyebab pamor puisi mbeling memudar.
Bila puisi mbeling dimaknai sebagai puisi yang menggelitik, berarti puisi mbeling masih ada hingga sekarang. Memang bukan lagi puisi dengan tipografi yang unik, tapi setidaknya semangat mbeling atau kenakalan masih bisa kita temukan.
–Sulistiyo Suparno, penikmat puisi dan penulis cerpen. Bermukim di Limpung, Batang, Jawa Tengah)