Oleh: Anisa Rachma Agustina
Mamongan Weton atau Bancaan Weton merupakan sebuah tradisi slametan di Jawa yang dilaksanakan pada hari dan pasaran yang sama saat seseorang itu lahir. Dalam penanggalan Jawa hari berjumlah tujuh dan pasaran berjumlah lima, keduanya membentuk neptu dina yang bermakna hidupnya hari pasaran. Pasaran yang dimaksud ialah Legi, Pahing, Pon, Wage dan Kliwon. Sedangkan harinya sama seperti kalender nasional yakni senin hingga minggu. Biasanya weton dan jumlah neptu ini digunakan untuk mencari hari baik pernikahan. Bahkan sebagian masyarakat jawa menggunakan perhitungan neptu untuk menentukan arah berdagang atau hari baik mulai bekerja.
Bancaan Weton ialah peringatan hari lahir berdasarkan Saptawara dan Pancawara, yang merupakan tradisi yang dilaksanakan pada hari kelahiran berdasarkan perhitungan kalender Jawa yang berputar selama 35 hari sekali, perbedaan dengan perayaan ulang tahun yang diadakan setiap setahun sekali. Mamongan atau bancaan weton dilaksanakan selapan dino (35 hari) sekali. Dengan tujuan sebagai rasa syukur atas ramat-Nya sekaligus sebagai permohonan kepada Tuhan YME supaya orang yang dislameti diberikan keselamatan dan kesuksesan pada hari yang akan datang. Di beberapa daerah di Jawa Wetonan juga disebut Tironan (Sukmawan dkk, 2015: 157)
- Iklan -
Tradisi ini merupakan local wisdom masyarakat Jawa. Kepercayaan orang Jawa terhadap tradisi ini ialah anak yang sering dibuatkan Mamongan Weton oleh orang tuanya secara rutin diyakini bahwa kelak kehidupannya akan lebih terkendali, selamat, tidak ceroboh, lebih berhati-hati dan terhindar dari mara bahaya. Tradisi ini melekat kuat pada sebagian keluarga Jawa, meskipun sebagian lainnya telah meninggalkan dan tidak melaksanakan tradisi karena kemajuan teknologi dan menurunnya tingkat kepercayaan terhadap tradisi.
Ubo rampe atau perlengkapan yang digunakan dalam tradisi Mamongan Weton berbeda tiap daerah. Di desa Jumo, Kecamatan Jumo, Kabupaten Temanggung Jawa Tenggah ubo rampe dari Mamongan Weton terdiri dari nasi putih yang di tempatkan di cobek, tampah atau nampan, dengan pelengkap sayuran yang direbus dengan sambal kelapa atau sering disebut dengan urapan, dengan toping lauk pauk berupa tempe goreng, ikan asin goreng, dan kerupuk. Untuk pelengkapnya biasanya ditambah dengan juadah pasar (macam-macam jajan pasar seperti: ketan kinco, lapis, puyur, lopis, cetil, berbagai macam makanan ringan atau ciki, buah-buahan local seperti: pisang, apel, bengkoan, jeruk, kedondong dll) dan jenang abang putih atau bubur merah putih yang memiliki makna bubur merah berati lambang dari ibu dan bubur putih berlambang ayah. Lalu terjadi hubungan silang-menyilang atau timbal balik. Bubur ini menjadi pengingat supaya anak tidak durhaka terhadap orang tua. Untuk versi sederhananya Mamongan Weton bisa disajikan di cobek yang terbuat dari tanah liat.
Setelah ubo rampe atau perlengkapan Mamongan Weton telah tersedia, tuan rumah akan mengundang tetangga sekitar untuk makan bersama di teras rumah. Sebelumnya akan dipimpin doa bersama. Harapan diadakannya Mamongan Weton ialah supaya anak selalu diberi keselamatan, keberuntungan dan kebahagiaan dalam hidupnya. Mamongan Weton juga merupakan media untuk berbagi khususnya untuk tetangga sekitar. Dengan makan bersama juga akan mempererat hubungan silaturahmi antara warga satu dengan yang lainnya.
Lunturnya Tradisi Mamongan Weton
Dengan kemajuan teknologi yang pesat, banyak warga yang sudah enggan dan tidak melaksanakan tradisi, banyak dalih yang mereka gunakan. Masyarakat diperkotaan yang jarang bersosialisasi dengan tetangga juga jarang sekali yang mau melestarikan tradisi ini. sehingga jika tidak dilestarikan tradisi Mamongan Weton akan punah.
Permasalahan mulai timbul seiring dengan banyaknya pemahaman mengenai Agama dan Ketuhanan yang dipedebatkan dengan kebudayaan local. Akibatnya budaya Jawa akhirnya satu persatu hilang. Ada sebagian kalangan yang menganggap bahwa tradisi Mamongan Weton tidak sesuai dengan ajaran agama, sehingga terdapat beberapa kalangan masyarakat meninggalkannya. Namun juga terdapat masyarakat dari berbagai kalangan agama baik Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha masih melaksanakan tradisi Mamongan Weton karena menganggap ini merupakan tradisi. (Sukmawan dkk 2015: 157)
Factor lain lunturnya tradisi ini ialah orang tua milenial yang tidak percaya dan tidak menggunakan neptu maupun pasaran sebagai perhitungan hari lahir. Mereka lebih bangga meniup lilin dan memotong kue sebagai perayaan hari lahir dari pada menyediakan nasi dan urapan di nampan. Perayaan ulang tahun menjadi kewajiban bagi setiap orang tua. Namun mereka melupakan tradisi Mamongan Weton yang sudah turun temurun dari nenek moyang.
Seorang budayawan Tunjung W. menunjukan keprihatinannya tentang nasib budaya jawa. Sebuah pertanyaan mendasar atas keprihatinannya itu ialah masihkah ada orang Jawa yang mendukung nilai-nilai inti dari kebudayaansendiri sebagai pedoman kehidupan? Terdapat keprihatnan dengan apa yang terjadi adalah kepasrahan dan memasrahkan kebudayaan Jawa untuk dikalahkan oleh kebudayaan dari njawi (luar) Fenomena ini harus menjadi tolak ukur masyarakat Jawa untuk tetap melestarikan Tradisi.
Strategi Melestarikan Mamongan Weton
Sebuah budaya akan luntur bahkan punah apabila tidak ada yang mau nguri-uri (melestarikan). Adanya budaya dan tradisi bersumber pada sesuatu hal atau perilaku yang dilaksanakan secara berulang. Terdapat beberapa hal supaya tradisi Mamongan Weton tetap lestari anatara lain: pertama, bangga terhadap budaya. Seseorang yang bangga terhadap budaya dan tradisi tidak akan malu untuk melakukan hal tersebut, maka dari itu setiap masyarakat Jawa harus mempunyai rasa memiliki terhadap suku dan budaya yang di Jawa.
Kedua, mewariskan tradisi Mamongan Weton kepada anak dan cucu. Setiap orang tua hendaknya selalu mengingatkan atau memberi contoh kepada anak dan cucu mereka untuk melaksanakan tradisi Mamongan Weton. Anda dapat membantu menyiapkan ubo rampe atau perlengkapan sehingga tradisi ini tetap lestari.
Ketiga, memahami esensi diadakannya Mamongan Weton. Ketika kita memahami apa yang kita lakukan kita akan bisa menjelaskan terhadap orang lain mengenai pemahaman kita, sehingga argument kita bisa dipercaya oleh khalayak. Selain melestarikan tradisi Mamongan Weton juga merupakan media besedekah dan berbagi.
Dalam QS. Saba’ ayat 39 yang memiliki arti katakanlah, “sungguh, Tuhanku melapangkan rezeki dan membatasi bagi siapa yang Dia kehendaki diantara hamba-Nya.”dan Dialah Pemberi Rejeki yang terbaik. Surat ini menjelaskan bersedekah tidak harus berupa uang, namun juga dapat menggunakan barang ataupun makanan semuanya akan tetap mendapat pahala dari Allah.
Keempat, melaksanakan tradisi Mamongan Weton sebagai perwujudan rasa syukur terhadap Allah SWT. Tradisi Mamongan Weton merupakan media berbagi dan bersedekah kepada sesama, tradisi ini harus tetap ada supaya generasi yang akan datang tau dan dapat ikut melestarikan tradisi yang telah menjadi local wisdom khususnya masyarakat Jawa. Tradisi ini juga mempererat tali silaturahmi antar tetangga
-Mahasiswa Institut Nahdlatul Ulama Temanggung