Judul: Belajar Hidup Melalui Makna Filosofi Tembang
Penulis: Ilyas
ISBN: 978-623-6769-96-6
Terbitan: I, Agustus 2021
- Iklan -
Penerbit: CV. Pilar Nusantara
Peresensi: Hamidulloh Ibda
Tembang. Ya, buku ini mengajak kita mengenalkan tembang sekaligus memelajarinya. Uniknya, buku ini tidak sekadar dari kajian teori, literatur, atau dari kutipan buku. Melainkan, buku ini tidak berangkat dari hasil penelitian yang di biayai banyak dari pemerintah, tidak berangkat dari teori teori manusia modern yang selalu gandrung kepada Barat, bahkan meletakkan orang Barat menjadi Imam dalam cara berfikir. Buku ini hanya berangkat dari pada tidak punya pekerjaan, dari pada waktu ini kurang bermanfaat, kami mencoba buka buka belajar menggali mutiara mutiara yang ditumpuki bebatuan bahkan ditumpuki sampah sampah kemoderenisasian.
Beberapa peninggalan kanjeng Sunan ternytata tidak jelek jelek amat untuk di pelajari pada jaman yang dimana manusia sudah mabok teknologi, mabok Sosmed. Bahkan mutiara bertaburan di dalam karya para sesepuh kita yang dititipkan melalui tembang. Memang karya beliau kalah populer dibanding dengan karya Abraham Maslow, Karl Mark, Imanuel Khan, dan lainnya (hlm. iii).
Dalam buku ini, di halaman awal menjelaskan sebelum Walisongo hadir di Tanah Jawa ini, kidung sudah menjadi makanan rohani yang utama bagi orang Nusantara saat itu, kidung merupakan susunan sastra yang ditembangkan oleh orang-orang yang mempunyai taraf khusus, atau bisa disebut orang orang yang sakti mandraguna.
Sebagaimana kidung dilantunkan sebagai wasilah (perantara) kepada Tuhan, oleh sebab itu estetik nuansa kidung amatlah identik dengan kesakralan serta mistis, hal itu amat sangat jauh kualitasnya dibanding dengan karya seni orang modern dalam bidang tarik suara atau musik, prestasi tertinggi dalam bidang musik atau lagu orang modern hanya sampai penghantar orang tidur, mengiringi orang hajatan, penghantar minum kopi di café, penghantar mabuk di diskotik dan di karaoke (hlm.1).
Buku ini berisi beberapa sub, mulai dari kidung dan musik modern, mikul duwur mendem jero, Mas Kumambang, Mijil, Kinanthi, Sinom, Asmarandana, Gambuh, Dandhanggula , Durmo, Pangkur, Megatruh, Pucung, dan terakhir menejemen hidup.
Kembali pada kidung, pada halaman 2, penulis menyebut bahwa pelestarian kidung dalam tradisi kanjeng sunan diselaraskan dengan ajaran agama Islam, tanpa mengurangi kesakralan dan kemistisan sebagai bagian dari keindahan warisan leluhur masyarakat Jawa. Secara terminologi kidung dapat berarti doa atau lelaku dalam meraih kesempurnaan serta kebahagiaan hidup dengan tetap bersandar kepada Allah.
Bahkan hal ini ditegaskan oleh beberapa pakar spiritual bahwa bahasa kidung adalah mempunyai ruh yang sulit untuk diterjemahkan ke dalam bahasa lisan. Selain dari itu kidung juga merupakan bagian yang indah dari warisan seni budaya Jawa yang tetap mempunyai nilai luhur sepanjang hayat di saat seni orang modern bangkrut termakan korban industri (hlm.2). Keresahan penulis inilah yang membuat kita harusnya membuka mata lebar-lebar, karena banyak orang Jawa khususnya tercerabut dari akarnya. Saya pribadi sangat sepakat dengan pendapat penulis ini.
Penulis pada halaman 3 juga tegas menyebut bahwa salah satu hobi orang Jawa adalah nembang. Tembang bukan sekedar artefak yang menggambarkan jiwa estetis orang Jawa, tetapi lebih dari itu, tembang berisi nasihat, dan metode berfikir filosofi yang akan diajarkan dan nantinaya kedepan bisa untuk menjadi warisan anak cucu, isi tembang para sesepuh bangsa ini jangan disejajarkan dengan dengan tembang- tembang manusia modern sekarang. Tembang yang dikarang manusia akhir jaman cenderung remeh, bahkan “ngeres” kalau menurut orang Jawa, atau memalukan, bagaimana tidak? Jawa yang sangat dikenal beradab, sopan, sangat menghargai tabu harus mendengar tembang: Tali Kotang (Tali BH Perempuan), Pentil Kecokot, Mendem Wedokan, Oplosan, dan masih banyak lainnya.
Beberapa hal perlu didekonstruksi memang, utamanya pergeseran budaya dan laku Jawa pada diri kita. Buku ini membuka mata dan hati kita untuk tetap menjadi orang Jawa seutuhnya. Olah karena itu, beberapa makna diungkap dari masing-masing tembang.
Pertama, Mas Kumambang, penulis menyebut Gambaran dimana kumambangnya nyawa yang akan turun ke dunia, bahwa manusia di dunia ini tidak tiba-tiba lahir begitu saja, ada suatu proses yang terjadi di alam kandungan (hlm.7).
Kedua, Mijil, penulis menyebut Secara bahasa artinya keluar, brojol, menggambarkan proses kelahiran manusia, yaitu awal lahir di dunia, Mijil sebagai dimensi ruang dan waktu yang memiliki beberapa faktor (hlm. 14).
Ketiga, Kinanthi, dari asal kata kanthi, tuntun, atau dibimbing untuk menggapai masa depan, dalam proses perkembangan manusia orang tua tidak hanya menuntun secara fisik agar anak bisa duduk, berdiri, berjalan, namun yang lebih penting adalah dituntun untuk menuju jalan yang benar, dimana manusia dituntun untuk menemukan dirinya sendiri melalui pendidikan (hlm. 18).
Keempat, Sinom, Dari kata Kanoman, atau enom, atau pucuk yang baru tumbuh bersemi, berarti anak muda atau usia muda, menggambarkan cerita muda, yang penuh dengan angan angan, harapan, pada fase ini informasi masuk sudah mulai banyak yang masuk, penglihatan sudah mulai terbuka lebih luas, apa yang dibaca juga sudah mulai lebih dalam dengan mencari ilmu untuk mewujudkannya mimpi mimpinya, fase ini berada diantara Kinanti dan Asmaradana (hlm. 22).
Kelima, Asmaradana, Dari kata Asmara yaitu masa masa tumbuhnya cinta, menggambarkan perjalanan manusia yang sudah waktunya untuk menjalin hubungan antara laki-laki dan perempuan dan cinta itu fitrahnya setiap manusia pemberian dari Allah (hlm. 25). Gambuh, Setelah manusia bermuara disamudra besar untuk memahami cinta maka dengan sendirinya ia akan sampai penghujung permuaraan tersebut dengan Pernikahan. (hlm. 28).
Keenam, Dandhanggula, dari dua akar kata dandhang itu artinya tempat untuk memasak, gula itu artinya manis, menggambarkan kehidupan yang baru menikah adalah manis, Artinya senang karena apa yang di idamkan untuk berumah tangga tercapai (hlm. 35).
Ketujuh, Durma, dari kata dermawan artinya suka memberi, suka bersedeqah, menggambarkan rasa syukur pada Allah, semua yang terbaik sudah diberikan (hlm. 42).
Kedelapan, Pangkur, dari kata Mungkur, membelakangi, yaitu menjauhi hawa nafsu, bagaimana manusia harus menjauhi nafsu angkara murka yang menggerogoti jiwa manusia. Menggambarkan masa manusia sudah pada saatnya menjauhi keduniaan, dan segera berkemas kemas mendekatkan kepada Allah (hlm. 46).
Kesembilan, Megatruh, dari dua kata-kata megat dan ruh, megat artinya misah, ruh adalah nyawa, artinya pisahnya jasad dan nyawa, atau kematian. menggambarkan kehidupan manusia yang sudah selesai di dunia, kemudian untuk kembali menghadap sang khaliq (hlm. 50).
Kesepuluh, Pucung, dalam arti yang sederhana, pucung merupakan tembang terakhir dari tembang mocopat, Dari akar kata Pocong, artinya dibungkus dengan kain putih yang menggambarkan ketika kehidupan manusia sudah selesai didunia, akan di bungkus dengan kain putih beberapa meter saja, maka dunia akan di tinggalkan (hlm. 53).
Dari kesepuluh tembang inilah, kita dapat berkaca bahwa dalam kehidupan kita akan mengalaminya. Fase dari sebelum lahir sampai mati ternyata mampu ditangkap orang Jawa begitu apik dan enigmatis yang sudah tertulis di buku ini.
-Peresensi adalah dosen Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Temanggung.