LELAKI PENAKLUK KUDA
lalu gambargambar itu sebentar
kunikmati — kau duduk satu kursi
dalam pigura yang masih baru — dan
hilang; entah kau jadi bayang dari
lelaki penakluk kuda di sabana,
yang liar dan jinak. yang tangkas
ataupun gemulai. “sebagai pangeran,
aku pandai menundukkan bunga
sebelum layu…” katanya suatu malam
lalu ia naiki kudanya menembus taman
kau ingin cepat ke taman, bertabur
wewangi dan pujipuji. kau minta
sang pangeran itu membawamu. “aku
ingin bersamamu, di pelana kuda itu;
peluk aku agar tak jatuh,” kau meminta
dan paculah sekebutkebutnya
(tapi aku hanya melihat penjinak kuda,
kau terlihat kecil dari bayang pagi hari
ketika aku berjalan ke barat)
- Iklan -
KA, 7 Juli 2021
HUJAN YANG SENDU
hujan yang singgah di halaman
rumah, kurasakan sendu. wajah pasi
begitu malas memeluk dedaun, dan
hanya sesaat untuk kembali pergi
tanah belum basah. halaman masih
seperti pagi-pagi lain
bungabunga plastik, perempuan yang
sertia menunggu kabar kedatangan
atau yang pamit. dengan hati wangi,
wajah dan mata pagi
tanah makin rindu basuh
hanya air mata mengalir
ke halaman rumah, untuk
sebuah kepergian
KUANTAR KAU
kuantar kau hingga pintu mobil,
berangkatlah dan tinggallah aku
di antara dua jalan: mengembara
atau pulang ke pangkuan. sewangi
bungabunga, secercah cerah
bumi yang baru saja dikunjungi hujan
buang gundah. buka lagi halaman
demi halaman buku tipis yang pernah
kita baca. ada membentang langkah,
ada sungai yang selalu mengarus. juga
belantara sesekali menutupi pandang
bahkan airmata dan amarah!
di depan pintu mobil yang segera kau
tutup, kutinggalkan setelapak sayang
dan sekecup gusar. dan kubawa pulang
juga sekuncup bunga. kelak dalam
pengembaraan, berkalikali kuhirup
wanginya. kutulis catatan kecil
di dalam buku tipis yang selalu
kubawa
karena ia akan selalu mengingatkan
ketika lupa jalan pergi dan jalan
pulang. tentang alamat rumah yang
mungkin telingsut entah di mana
entah…
BUNGABUNGA JADI SAYAP
lalu bungabunga jadi sayap
melambai dekat mataku. wangi
dan wajahnya tersenyum selalu
ingin pula mengajakku terbang
kusaksikan pagi ini bungabunga
terbang. serupa layanglayang,
melenggok dan meliuk begitu
dekat di keningku. tak lebih
satu inci dari gemuruh
— hidup matiku —
bungabunga itu membagikan wangi
sementara kedua sayapnya melambai;
ingin mengajakku, ingin menjadikan
teman perjalanan
— aku belum kau baptis
penerima risalah dan silsilah —
dua sayap bungabunga itu
menaburkan wangi. di sini
di keningku, hidungku,
bibirku, pipiku, jari kakiku
— sujud di tanah —
2021
TENTANG DUA KOTA PINTUNYA DITUTUP
dua kota di luar kisah Luth, tidak
boleh ada yang masuk ataupun pergi. kota
menjadi mati seakan, siang lengang
dan malam bagaikan di makam
dua kota yang ditutup pintunya, tiada
sesiapa yang boleh datang dan pulang
jalanjalan hilang deru. tak kudengar
dengkur di malamnya
begitu sunyi. dua kota di luar kisah
Luth. tak dibalikkan, hanya digoncang
(dan orangorang cemas seperti ada
dalam kisah Luth, tak dapat lari
maupun sembunyi. selain berdoa,
segera keluarkan kami dari kota
dipenuhi ketakutan)
dari rumahrumah yang juga sunyi
sajadah dan mimbar digelar; hanya
menyebut namanama-Mu, hanya…
2021
*Isbedy Stiawan ZS, lahir di Tanjungkarang, Lampung, dan sampai kini masih menetap di kota kelahirannya. Ia menulis puisi, cerpen, dan esai juga karya jurnalistik. Dipublikasikan di pelbagai media massa terbitan Jakarta dan daerah, seperti Kompas, Republika, Jawa Pos, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Lampung Post, Media Indonesia, Tanjungpinang Pos, Hatian Rakyat Sultra, dan lain-lain.
Buku puisinya, Kini Aku Sudah Jadi Batu! masuk 5 besar Badan Pengembangan Bahasa Kemendikbud RI (2020), Tausiyah Ibu masuk 25 nomine Sayembara Buku Puisi 2020 Yayasan Hari Puisi Indonesia, dan Belok Kiri Jalan Terus ke Kota Tua dinobatkan sebagai 5 besar buku puisi pilihan Tempo (2020), dan Kau Kekasih Aku Kelasi (2021), Masih Ada Jalan Lain Menuju Rumahmu (2021), Secangkir Kopi di Meja Kedai (2021).
Buku-buku puisi Isbedy lainnya, ialah Menampar Angin, Aku Tandai Tahilalatmu, Kota Cahaya, Menuju Kota Lama (memenangi Buku Puisi Pilihan Hari Puisi Indonesia, tahun 2014): Di Alunalun Itu Ada Kalian, Kupukupu, dan Pelangi.
Kemudian sejumlah buku cerpennya, yakni Perempuan Sunyi, Dawai Kembali Berdenting, Seandainya Kau Jadi Ikan, Perempuan di Rumah Panggung, Kau Mau Mengajakku ke Mana Malam ini? (Basabasi, 2018), dan Aku Betina Kau Perempuan (basabasi, 2020), dan Malaikat Turun di Malam Ramadan (Siger Publisher, 2021)