Cerpen Dadang Ari Murtono
Dua orang serdadu bertemu di medan perang di sekitar Giri Kedaton. Masing-masing dari mereka telah membunuh sejumlah musuh sebelumnya, lantas ketika mereka bertemu, mereka sudah sama-sama lelah. Salah satu dari mereka mengangkat pedang dengan lemah, kemudian berkata, “Tidak bisakah kita beristirahat sebentar?”
Serdadu yang lain mendengar ucapan itu. Namun ia tidak peduli. “Ini perang,” katanya, “kau tidak bisa beristirahat kecuali kau menang atau mati.”
Serdadu yang lain itu berusaha menyabetkan pedangnya. Namun ternyata ia juga sudah sangat capek. Pedangnya mengenai udara kosong. Dan ia terengah-engah, lantas jatuh terduduk di hadapan serdadu pertama yang mengangkat pedang.
- Iklan -
Mereka duduk berhadap-hadapan seperti dua orang teman lama.
“Siapa namamu?” serdadu yang pertama bertanya.
“Apa pentingnya kau bertanya namaku?” kata serdadu yang kedua. “Apa pentingnya dua serdadu dari dua kubu yang sedang berperang tahu nama masing-masing seolah-olah mereka tidak saling berperang dan saling ingin membunuh?”
Serdadu yang pertama mengusap peluh di kening dengan lengan kiri. Ketika ia melihat lengan itu, ia melihat darah di sana.
“Yah,” kata serdadu yang pertama, “kupikir kita sudah sama-sama capek. Dan kita sama-sama tidak kuat lagi mengangkat pedang. Sementara para serdadu yang lain sibuk berperang di sebelah sana,” katanya sambil menunjuk ke depan, “di sana,” katanya lagi sambil menunjuk ke sisi kiri, “di sana,” katanya lagi sambil menunjuk ke sisi kanan, “dan di belakang,” katanya lagi sambil menoleh ke belakang, “dan tidak satu pun dari mereka yang cukup dekat dengan kita.”
Serdadu yang kedua batuk-batuk sebentar. Lantas ia memukul dadanya sendiri untuk membuat longgar tenggorokannya. Ada luka kecil di lehernya. Namun sepertinya itu bukan luka yang berbahaya.
“Kau berbelit-belit,” kata serdadu yang kedua setengah tersengal.
“Intinya,” kata serdadu yang pertama, “selagi kita masing-masing beristirahat, kita mungkin bisa bercakap-cakap supaya tidak bosan. Kita akan lumayan lama di sini.”
“Aku tak ingin memberitahukan namaku kepada orang sepertimu,” kata serdadu yang kedua. “Itu tidak penting.”
“Baiklah,” kata serdadu yang pertama. “Kalau begitu aku juga tidak akan memberitahukan namaku kepadamu.”
Lantas mereka sama-sama diam.
Sementara itu, perang terus berlangsung. Suara genderang, bedug, dan rebana membumbung tinggi. Dan suara-suara itu kemudian disokong oleh gemuruh dari dua pasukan besar yang sama-sama haus darah. Di langit, suara-suara itu kemudian mengusir burung-burung dan awan gemawan, lantas memancing matahari agar menjulur-julurkan lidah api yang sangat panas.
“Lihatlah,” kata serdadu yang pertama dengan sedih, “kita semua akan mati. Jika tidak mati karena pedang, pasti mati karena hawa panas ini.”
“Aku tidak sabar untuk segera mati,” kata serdadu yang kedua. “Aku memang mencari mati.”
Serdadu yang pertama menatap serdadu yang kedua dengan heran. “Aku tidak pernah mendengar ada orang yang datang ke dalam perang untuk mencari mati. Semua yang ikut perang pasti mencari menang dan ingin membunuh musuh sebanyak-banyaknya dan tetap bertahan hidup setelah perang selesai,” katanya. “Karena itu, kita selalu membawa senjata.”
Serdadu yang kedua menatap langit tinggi. Ia mengernyitkan mata karena silau. “Di langit sana, kalau kau tahu, ada surga yang menantiku. Dan di surga itu, ada sungai-sungai yang mengalirkan susu, sungai-sungai yang lain mengalirkan arak, sungai-sungai yang lain lagi mengalirkan madu. Padi tumbuh tanpa perlu kita menanam atau merawatnya. Kita hanya perlu memanennya. Dan segala jenis pohon berbuah. Dan tujuh puluh dua bidadari akan siap melayani kita dengan sebaik-baiknya. Kau mengerti itu?”
Serdadu yang pertama menatap serdadu yang kedua dengan lebih heran lagi. Lantas ia juga ikut-ikutan mendongak untuk memandang langit.
“Aku hanya melihat lidah api dari matahari. Dan sepertinya, langit itu sangat panas. Kukira, ada tungku besar di sana yang siap membakar siapa saja yang mendekat. Aku tidak mau pergi ke sana. Tidak dalam waktu dekat,” kata serdadu yang pertama.
Serdadu yang kedua mengangkat pedang dengan susah payah. “Kukira kita sudah cukup beristirahat,” katanya, “bagaimana menurutmu?”
“Yah, sepertinya memang begitu,” kata serdadu yang pertama.
Lantas mereka terhuyung-huyung berdiri. Beberapa kali mengadu pedang dengan susah payah. Beberapa kali jatuh terjerembab setelah sedikit saling dorong. Beberapa kali berusaha bangkit dan kembali mengadu pedang dan berteriak lirih.
Tak lama kemudian, terdengar suara angklung dititir. Dua serdadu itu berhenti sejenak untuk memeriksa apa yang terjadi. Ketika mereka menoleh, mereka menemukan rakyat Giri menari emprak di sekitar medan perang.
“Apa yang terjadi?” kata serdadu yang pertama keheranan. Ia sepertinya selalu heran dengan segala hal.
“Sepertinya kalian kalah perang,” kata serdadu yang kedua. “Lihatlah, teman-temanmu berlarian seperti kijang buruan.”
“Kau benar,” kata serdadu yang pertama. “Menyedihkan sekali kalah perang seperti ini. Lalu apa yang akan kau lakukan? Apakah kau akan menghabisiku atau membiarkanku pergi bersama teman-temanku?”
“Aku tidak mau menghabisi orang yang sudah kalah,” kata serdadu yang pertama. “Lagipula, kita sudah bercakap-cakap sebentar dan kukira kau tak layak mati dengan cara seperti itu. Jika esok atau lusa kau kembali, aku akan menunggumu di tempat ini.”
Serdadu yang pertama tersenyum. “Terima kasih,” katanya. “Esok atau lusa jika aku datang lagi, tidak ada satu pun dari kita yang akan bersedih. Kau tahu maksudku.”
“Aku tahu maksudmu,” kata serdadu yang kedua, “dan aku sangat tidak sabar menunggu saat itu tiba.”
Keesokan harinya, dua serdadu itu bertemu di tempat yang sama. Hari belum terlampau tinggi dan mereka belum banyak mengeluarkan energi.
“Kau tahu kenapa kemarin kami kalah?” kata serdadu yang pertama.
“Karena kami lebih terampil,” kata serdadu yang kedua.
“Tidak,” kata serdadu yang pertama. “Kalian menang karena semua dari kalian berperang seperti kesetanan. Kalian semua mencari mati karena yakin ada surga yang menunggu kalian,” kata serdadu yang pertama, “sementara kami berperang hanya demi kemuliaan Sultan Agung, dan tidak yang lain.”
“Kami juga berperang demi Sunan Giri,” kata serdadu yang kedua.
“Hari ini kami akan menang,” kata serdadu yang pertama, “sebab Ratu Pandansari telah memberi kami baju-baju yang bagus, uang yang banyak, emas yang banyak, dan menjanjikan kami kemuliaan di dunia setelah ini berakhir. Kami tidak ingin mati sebab kami ingin menikmati itu semua. Hari ini, kami berperang demi diri kami sendiri.”
“Perang ini,” kata serdadu yang kedua, “tidak akan selesai begitu saja jika kita hanya terus saling berbicara.”
Lantas mereka sama-sama merangsek.
Sebelum hari berakhir, serdadu yang kedua sudah kehilangan kedua lengannya. Namun ia terus menyerang. Kemudian ia kehilangan kaki kirinya. Dan dengan demikian, tubuhnya jatuh menggelosor.
“Kau tak perlu khawatir apa-apa,” kata serdadu yang pertama, “sepasang sayap akan segera tumbuh di punggungmu dan kau tak lagi membutuhkan kaki untuk berjalan atau tangan untuk memanjat tali yang akan membawamu ke surga yang kau idam-idamkan.”
Pada waktu itu, serdadu yang kedua melihat Endrasena, panglima perangnya, mengepakkan sayap ke langit setelah Ratu Pandansari menembak lengan kiri, lengan kanan, dan kaki kiri sang panglima, lantas menghujani dada lelaki dari China itu dengan banyak sekali tombak.
“Mati dan berbahagialah,” kata serdadu yang pertama sebelum menancapkan ujung pedang di dada serdadu yang kedua, “seperti yang kau ingini.”
“Hidup dan berbahagialah,” kata serdadu yang kedua, “seperti yang kau ingini.” ***
*DADANG ARI MURTONO, lahir di Mojokerto, Jawa Timur. Bukunya yang sudah terbit antara lain Ludruk Kedua (kumpulan puisi, 2016), Samaran (novel, 2018), Jalan Lain ke Majapahit (kumpulan puisi, 2019), dan Cara Kerja Ingatan (novel, 2020). Buku Jalan Lain ke Majapahit meraih Anugerah Sutasoma dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur serta Penghargaan Sastra Utama dari Badan Bahasa Jakarta sebagai buku puisi terbaik Indonesia tahun 2019. Buku terbarunya, Cara Kerja Ingatan, merupakan naskah unggulan sayembara novel Basabasi 2019. Ia juga mendapat Anugerah Sabda Budaya dari Universitas Brawijaya tahun 2019. Saat ini tinggal di Yogyakarta dan bekerja penuh waktu sebagai penulis serta terlibat dalam kelompok suka jalan.