Cerpen Mahwi Air Tawar
Ada makhluk lain di dalam tubuhku. Ia selalu tersenyum, kadang tertawa, tidak jarang ia menangis tersedu. Sekali waktu, ia dan temannya membicarakan tentang makhluk di luar dirinya, “Mereka berbicara tanpa melibatkan pikiran∙.” Ketus. Keningku berkerut.
“Apa maksudmu?”
“Mereka tidak hanya berusaha mengusirku tapi juga berusaha membunuhku. Tidak! Mereka tak suka berdampingan denganku, tapi pada saat yang lain menangis-nangis minta leluhurku berlembut hati. Manusia sepertimu suka membingungkan.”
- Iklan -
“Aku semakin tidak mengerti dengan racauanmu.”
“Jelas kamu tidak akan mengerti. Karena diam-diam kamu juga pembunuh.” Aku tersentak. Aku sungguh-sungguh tak percaya dengan apa yang baru disampaikan oleh makhluk di dalam tubuhku.
“Apa yang kau inginkan?” bentakku.
Makhluk dalam tubuhku bersenandung. Ia berjalan melintasi pikiranku. Sesekali bersiul. Dipandanginya dahan yang berayun. Sejenak berpaling ke samping, memandangi bayangan pohon yang memanjang. Ia kembali berjalan. Bersenandung dan membiarkanku berdiri di belakangnya.
Makhluk lain dalam tubuhku tidak peduli dengan pertanyaanku. Sebaliknya, ia melakukan gerakan-gerakan kecil, mengangkat kaki dan tangannya secara bergantian. Gerakan-gerakannya persis seperti gerakan seorang penari, seperti kapas yang diterbangkan angin. Ya, kini ia menari dan bergembira. Seolah baru saja memenangi suatu permainan.
Angin mendesah lirih, gerakan dahan seirama dengan senandung dan tarian makhluk di dalam tubuhku yang riang. Sambil menari sesekali ia mengamati bayangannya sendiri, “Tidakkah kau ingin bergembira?” tanyanya sambil mengulurkan tangan.
Aku tak menanggapi, sebaliknya aku beranjak dan berjalan menuju sebuah pertokoan yang menyediakan koran harian. Melihatku membuka lembaran-lembaran koran, makhluk di dalam tubuhku tertawa.
“Aku sudah membaca koran hari Minggu,” bisiknya.
“Apa yang kamu baca?”
“Sebuah cerita pendek.”
“Menarik?”
“Tak ada yang lebih menarik dan sekaligus menggelikan dari pikiran dan keinginan makhluk sesamamu yang tak pernah kuasa mengalahkan musuh-musuh di dalam dirinya, juga dirimu.”
“Bisakah langsung pada pokok jawaban?”
“Aku tidak punya masalah. Hanya makhluk sepertimu bergelimang masalah.” Ia tertawa. “Ketahulah, aku hanya menjalani tugas dan janji suciku.”
“Apa itu?”
“Mendampingi dan mencarikan jalan keluar yang dihadapi makhluk-makhluk sepertimu.”
“Tapi kenapa keberadaanmu selalu memancing orang untuk mengusir dan mengenyahkanmu?”
“Itu bukan masalahku, tapi masalah makhluk-makhluk sesamamu.”
“Berarti kehadiranmu hanya sebagai pengganggu.”
“Itu pandangan picik.”
“Aku tidak paham.”
“Itu masalahmu.”
“Kenapa menjadi masalahku?”
“Karena kau tidak mau mengenal siapa dirimu sebenarnya.”
“Aku tidak paham!”
“Kau tidak akan pernah paham selama kau tidak mau memahami siapa dirimu yang sesungguhnya.”
“Aku semakin bingung.”
“Kalau begitu bacalah koran yang sudah kubaca isinya.”
Makhluk di dalam tubuhku kembali bersenandung. Betapa sepi dan sunyinya manusia. Suara-suara yang ditimbulkan dalam kesunyiannya jauh lebih nyaring dari suara-suara orang-orang di pasar. Oh, betapa menyedihkan.
Kini makhluk di dalam tubuhku menuntun tanganku melewati sebuah gang. Koran yang sudah kubeli dan belum sempat kubaca segera kulipat dan kuselipkan ke dalam saku celana jeansku.
Makhluk di dalam tubuh menuntunku memasuki pasar tradisional, seorang pedagang bawang asongan menarik koran dari sakuku dan merobek-robeknya. Melihat tingkah konyol pedagang bawang asongan makhkuk di dalam tubuhku cekikikan. “Kenapa kamu tertawa?”
“Karena aku senang melihatmu marah.” Darahku mendidih, kata-kata kotor menggumpal dan siap dimuntahkan. “Di sini bukan tempat mengumpat,” bisiknya. Ia merajuk, lalu bernyanyi. Aku sama sekali tidak terhibur dengan senandungnya, sebaliknya kebencian semakin tak bisa kukendalikan.
Makhluk lain dalam tubuhku segera menarik tanganku, menjauh dari pasar. Ia membawaku ke sebuah jalan simpang yang jarang dilintasi orang-orang yang hendak pergi ke pasar. Seusai memintaku duduk di bawah pohon ia meninggalkanku seorang diri. Aku melihatnya menyelinap ke tengah keramaian. Kulihat ia menjulurkan lidah dan tangannya, mencicipi jajanan-jajanan pasar, sesekali tangannya memindahkan barang-barang dagangan. Ia tak pernah tinggal lama di salah satu lapak. Kini ia berlalu dan duduk di samping penjual sepatu dan bunga-bunga. Aneh, kenapa penjual sepatu berjejer dengan penjual bunga? Batinku.
Bunga dan sepatu. Makhluk di dalam tubuhku tiba-tiba kembali ke dalam tubuhku lantas bersenandung. Bunga dan sepatu, “bukan, bukan.” Tiba-tiba ia menghentikan senandungnya, Bidadari, Bunga, Sepatu. Oh, oh … makhluk di dalam tubuhku berbisik. “Tidakkah suaraku merdu?” Aku menggeleng-gelengkan kepala. Makhluk di dalam tubuhku berpaling dan menundukkan kepala.
Sesaat berselang seorang perempuan berwajah putih di depanku. Raut wajah perempuan yang berdiri di depanku menguasai pikiranku, wajahnya yang putih dan cantik, dan pandangan matanya yang tajam membuatku tak bisa berpaling. Ia mengulum senyum. Aku tersipu. Di tangannya setangkai kembang melati terikat. Tidak. Perempuan berambut semampai yang kini berdiri di depanku tidak menyerahkan setangkai kembang melati kepadaku. Ia mengajukan pertanyaan tidak terduga.
“Aku mencari seorang gadis. Ia adalah kembaranku,” suaranya lembut. Terang saja aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
“Agak sedikit nakal dan banyak membantah,” imbuhnya.
“Siapa yang dimaksud?”
“Ia ada di dalam tubuh dan pikiranmu.” Aku belum paham arah pernayataannya.
“Ia senang melihat dan mengamati kamu ketika menulis. Tapi ia tak bercita-cita menjadi seperti dirimu.” Aku tersirap. Tubuhku tegang, bulu kudukku merinding. Benarkah ia mencari makhluk yang selama ini berada di dalam tubuhku?
“Jangan khawatir,” tegurnya.
“Meski pun ia selangkah lebih teliti dan tahu segala hal ketimbang dirimu, ia tidak akan merebut reputasimu sebagai penulis.”
“Bagaimana anda tahu kalau aku adalah seorang penulis?”
“Ia bercerita banyak hal tentangmu, termasuk kegiatan sehari-harimu.”
“Dengan cara apa ia memasuki tubuhku?”
“Itulah kelemahanmu. Kamu mengira kami tidak hadir saat kamu menulis tentang dunia kami. Betapa egoisnya. Kamu memindahkan dunia kami ke dalam duniamu, bahkan dengan bangga kamu membuat pengakuan bahwa kami berada dalam kendalimu.”
Hening. Angin mendesing, menyibak rambut ikal perempuan di depanku hingga tercium wangi melati. Begitu kuat.
“Sebentar, sebentar,” teriakku.
“Siapa sebenarnya dirimu?” ia tidak menjawab. Ia memunggungiku.
Saat ia memunggungiku kulihat di punggungnya bentangan ladang garam, kering dan kerontang. Di bagian lain, di punggung perempuan yang sedang memunggungiku ada sebuah kafe kecil dengan penataan kursi, meja dan interior di dalamnya sangat menarik.
“Ke kafe itulah seorang lelaki yang seprofesi denganmu duduk, menulis, dan mengajari murid-muridnya menulis.” Suara dari dalam tubuhku terdengar sayup.
“Siapa dia?”
“Kau selalu mengulang pertanyaan yang sama,” timpalnya. Tidak sabar.
“Jelas ia penulis. Ia selalu menggodaku dan menggoda saudara kembaranku.”
“Apa ia sedang mengajar?”
“Yang kutahu ia sedang menulis paragraf pertama cerita pendek.”
“Cerita tentang apa yang sedang ia tulis?” tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku dari lelaki yang tampak khusyuk duduk di sudut kafe.
“Cerita tentang makhluk yang ada dalam dirinya.” Suara dari dalam tubuhku terdengar serak.
Angin berhembus lirih, daun-daun di sekitarku luruh. Sementara perempuan yang sedang memunggungiku mulai bergerak, menjauh. Tapi, seorang lelaki yang tampak khusyuk di balik punggung perempuan itu terlihat jelas.
“Lelaki itu sedang berusaha memasuki duniaku dan ingin menjadikanku bahan ceritanya.”
“Kalau ia juga menulis tentang duniamu, bagaimana denganku?”
Angin berkesiur. Suara-suara dari dalam tubuhku semakin samar. Kini yang kudengar hanya suara keresak kakiku sendiri. ***
Catatan:
Tentu saja kalimat di atas dikutip dan dielaborasi dari Toni Morrison, yang berbunyi, Terkadang manusia berbicara tanpa melibatkan pikiran.
*MAHWI AIR TAWAR menulis cerpen, puisi, dan esai di berbagai media. Saat ini tinggal di Jakarta.