Oleh Muhammad Syaiful Bahri*
Indonesia merupakan negara yang unik. Ia tumbuh di atas ragam suku, etnis, agama dan budaya. Bangunan semacam ini mampu melahirkan kebudayaan nasional. Kebudayaan nasional sendiri adalah cerminan yang memantul dari perpaduan dan totalitas seluruh budaya Indonesia: tradisi leluhur, adat istiadat, dan lebih-lebih bahasa daerah.
Bahasa lahir dari kompleksitas budaya yang ada dalam masarakat, di dalamnya ada banyak pemikiran, tradisi, dan pendidikan. Jadi, bahasa daerah mempunyai sejarahnya sendiri. Ia Mengakar dan menyatu dengan kehidupan masyarakat dan menjadi nilai-nilai yang mampu diserap dan mewujud sebagai sebuah indentitas. Bahasa daerah bukan hanya menjadi alat untuk berkomunikasi antar individu, ia juga mengadung muatan pendidikan dan kebudayaan lokal. Bahasa daerah juga menjadi media untuk membentuk karakter dan memperkukuh eksistensi kearifan lokal. Dalam hal ini bahasa Madura adalah salah satunya.
Jauh dari apa yang menjadi stereotip masyarakat Madura yang dikenal keras bahkan mungkin urakan, di sana ada hal menarik berkenaan dengan bahasanya. Leluhur masyarakat Madura dari dulu sampai pada era tahun 90-an masih dengan kontinu mengajarkan anak-anaknya untuk terus melafalkan bahasa Madura sejak kecil. Dalam bahasa Madura sendiri ada tingkatan tutur bahasa, di antaranya bhâsa alos (karma inggil dalam bahasa Jawa), tutur bahasa alos ini biasanya digunakan oleh abdi keraton kepada raja atau sultan, santri pada kiainya, anak terhadap orang tuanya.
- Iklan -
Dan sebagian kecil menggunakan tingkat tutur bhâsa tengnga’an (krama madya dalam bahasa Jawa). Tutur bahasa ini bisa dijumpai di keluarga, antara seorang adik pada kakaknya, teman yang umurnya lebih tua dan kadang antara sesama besan. Selebihnya masih pada tingkat tutur ta’ abhâsa (tutur ngoko dalam bahas Jawa). Pola bahasa semacam ini biasanya kerap kita dengar dalam kehidupan sehari-hari antara sesama teman yang seumuran.
- Mushthafa, pernah menulis di Harian Kompas 2008, terkait dengan masalah dan juga ancaman terhadap kepunahan bahasa Madura. Mushthafa mengatakan bahwa ada tiga masalah serius dalam problem kepunuhan bahasa Madura, yakni terkait dengan dokumentasi, fungsi dan sosialisasi, dan masalah kelembagaan. Selama ini, masih belum banyak teks sejarah dan kebudayaan yang ditulis dari bahasa lokal, kebanyakan dari dokumen penting sejarah Madura masih ditulis dalam bahasa Indonesia. Sudah dipastikan masyarakat Madura merasa asing dalam teks sejarah tanah kelahiran.
Ditambah dengan kurangnya sosialisasi ke lembaga pendidikan. Meskipun, masih ada kurikulum pendidikan yang mengajarkan bahasa Madura, tetapi tidak lebih dari formalitas belaka. Tidak ada nilai fungsi yang ditawarkan kepada anak didik. Proses belajar mengajar di kelas, hampir 90% menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi sehari-hari. Hal ini menambah daftar kegagalan untuk melestarikan bahasa Madura. Kemudian, dari segi kelembagaan, masih belum banyak lembaga yang serius dalam mengupayakan pelestarian bahasa Madura. Mungkin, satu-satunya lembaga yang masih setia menjaga dan merawat bahasa ibu adalah pesantren di Madura.
Dari narasi di atas, kita sudah menemukan benang merahnya. Bahwa bahasa lokal, sudah terseok-seok dalam kehidupan sehari-hari. Persinggungan masyarakat dengan budaya luar mengubah mata angin terhadap proses akulturasi budaya, terutama cara berbahasa. Begitupun maraknya urbanisasi, juga berdampak terhadap bahasa ibu. Masyarakat yang hijrah ke kota-kota besar baik mencari kebutuhan ekonomi dan pendidikan, ikut serta dalam membentuk pola pikir terhadap gaya berbahasa. Bahasa ibu, tidak lagi menarik selain untuk kalangan sendiri. Mungkin asumsi seperti ini tepat bagi mereka yang tidak peduli pada keluhuran nila-nilai bahasa lokal.
Maraknya fenomena semacam ini, saya lebih tertarik untuk melihat sejauh mana pendidikan berperan penting dalam proses pelestarian bahasa Madura dalam komunikasi sehari-hari. Pendidikan mempunyai andil besar untuk merawat bahasa lokal, peran tersebut bisa diwujudkan dalam regulasi yang menempatkan pembelajaran bahasa daerah pada porsi yang proporsional. Nilai-nilai pendidikan dan muatan budaya yang dimaksud adalah bagaimana bahasa Madura dilestarikan dengan menyentuh kesadaran kolektif, bahwa bahasa Madura bukan hanya sebatas bahasa tanpa makna, karena di dalam bahasa ibu terdapat kekayaan budaya dan nilai pendidikan.
Tentu kita sering mendengar falsafah hidup masyarakat Madura yang berbunyi “bha, pa’, bhabbu’, ghuru, rato” yang berarti ibu, bapak (sesepuh), guru, raja (pemerintah). Dalam ranah berbahasa, masyarakat Madura juga mengenal tingkatan, seperti yang sudah disinggung di atas. Bagaimana relasi antara anak pada orang tua, murid pada guru, dan abdi pada rajanya. Cara berkomunikasi menentukan kedalaman penghayatan pada kebudayaan dan nilai pendidikan yang diperoleh selama proses berbaur dengan masyarakat secara komunal.
Ketika pendidikan masih tidak bisa menyentuh aspek bahasa lokal, secara tidak langsung menjadi perusahaan yang memproduksi kegagalan bahasa ibu. Meskipun, sering kita mendengar bahwa bahasa lokal ikut serta memperkaya budaya dan bahasa nasional, tetapi lagi-lagi bahasa lokal sendiri dihancurkan oleh sistem yang ada dalam pendidikan nasional, salah satu yang paling kentara adalah regulasi kurikulum pendidikan belum berpihak pada pelestarian bahasa lokal.
Bahasa memang selalu tunduk pada hukum alam, sehingga sebuah bahasa senantiasa mengalami perkembangan atau perubahan dari waktu ke waktu (Crowley, 1987). Tapi, kita perlu mengingat bahwa tidak selamanya arus perubahan menindas kearifan lokal kita, lebih-lebih bahasa. Karena bahasa merupakan identitas bangsa.
Kita belum sepenuhnya terlambat untuk menyelamatkan bahasa daerah dalam dunia pendidikan. Ada dua poin gagasan mengenai bangunan sistem pembelajaran bahasa Madura. Pertama, penerapan aturan untuk berbahasa Madura dalam proses belajar. Misalnya, dalam satu minggu memberi waktu dua hari bagi pendidik dan peserta didik untuk berbahasa ibu dalam proses belajar-mengajar.
Upaya semacam ini, dimungkinkan sebagai langkah menjaga eksistensi bahasa ibu dalam lingkungan pendidikan. Guru juga bisa mentransfer bahasa-bahasa lokal yang sudah jarang didengar oleh kalangan anak muda. Silang komunikasi antara siswa dan guru menjadi jembatan pelestarian bahasa lokal, di dalamnya ada aliran budaya yang mengalir dalam proses pendidikan semacam ini.
Kedua, menulis bahan ajar untuk siswa dengan berbahasa Madura. Sulit bagi kita untuk mengetahui secara detail kebudayaan, tanpa adanya dokumentasi tertulis, di sini bukan bermaksud untuk menganaktirikan bahasa lisan, tetapi untuk memberikan nafas panjang kebudayaan dan sejarah yang ada dalam komunitas Madura. Akses paling maksimal melacak sebuah peradaban adalah tulisan, maka penulisan pelajaran yang berbahasa Madura sangat diperlukan. Lebih-lebih hal ini merupakan proses untuk mengabadikan kebudayaan untuk generasi berikutnya.
*Muhammad Syaiful Bahri, Santri PPM Hasyim Asy’ari Yogyakarta, dan Aktif di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY).
siap bosku