Cerpen Mahan Jamil Hudani
Semua jemaah salat Jumat terdiam mendengar pertanyaan Ustaz Mukhlisin. Tentu bagi siapa yang berani bersuara pertama, pastilah ia nanti akan diminta menjadi ketua panitia atau bahkan donatur utama, itu anggapan mereka, dan memang biasanya seperti itu. Paling tidak, ia akan ada di barisan terdepan untuk memimpin pencarian donasi. Hening cukup lama.
“Bagiamana kalau panitia ini dipimpin oleh Pak ustaz sendiri?” Suara Cak Risno memecah kesunyian. Tadi, saat sebelum azan Jumat dimulai, Ustaz Mukhlisin sebagai imam utama dan ketua masjid mengumumkan agar para jemaah jangan pulang ke rumah terlebih dahulu seusai salat. Ada hal yang harus dibicarakan tentang masjid Nurul Hidayah.
“Saya pikir tak ada lagi orang yang lebih cocok selain Ustaz Mukhlisin sendiri yang memimpin panitia ini,” Cak Ris menambahkan lagi. Masih belum ada orang lain bersuara. Ustaz Mukhlisin juga diam, memberi kesempatan jemaah lain bicara. Ustaz muda tersebut memutarkan pandangan ke wajah para jemaah satu per satu. Hanya sembilan orang yang tetap tinggal di masjid untuk mengikuti rapat tersebut. Ia tak melihat sosok Jono di antara para jemaah tersebut padahal Jono adalah orang yang paling rajin utuk salat Jumat dan rapat. Ada rasa gamang menggelayut di hati dan pikiran Mukhlisin. Rasa itu telah ia rasakan sejak sebelum salat Jumat tadi, saat azan pertama dikumandangkan mertua Mukhlisin.
- Iklan -
“Iya, benar. Ustaz Mukhlisin sendirilah yang pantas memimpin.” Para jemaah lain akhirnya bersuara serempak. Mukhlisin hanya manggut-manggut, kejadian yang sama kembali berulang dan berulang. Akhirnya semua akan kembali pada diri Mukhlisin. Pernah beberapa kali sebenarnya pada suatu kepanitiaan masjid sebelumnya, Ustaz Mukhlisin mengajukan nama Jono untuk menjadi ketua panitia, namun jemaah masjid lainnya menolak karena mereka menganggap Jono bukan sosok yang cakap, bahkan para jemaah cenderung merendahkan Jono, dan lelaki itu menerima semuanya dengan tenang dan gembira tanpa ada rasa sedikit pun tersinggung. Jono bahkan menganggap bahwa memang dirinya tidak pantas menjadi ketua panitia meski Ustaz Mukhlisin yang selalu mengajukan namanya juga mencoba membelanya di depan para jemaah.
“Jika Jono hadir, sebenarnya sudah saatnya ia tampil menjadi ketua panitia,” tutur Ustaz Mukhlisin.
“Ustaz sendiri yang lebih pantas. Jono itu tidak layak jadi ketua panitia. Kemampuannya jauh di bawah standar. Hari ini Jono tidak hadir, itu mungkin karena ia sudah sadar diri atau bahkan sengaja menghindar,” sela Kang Bondan yang segera didukung Cak Risno juga para jemaah lainnya.
***
Masjid Nurul Hidayah Talang Panjau adalah masjid kampung yang terletak di pedalaman, di bawah pegunungan yang jauh dari kota kecamatan. Jalan masuk Talang Panjau masih berupa tanah. Nyaris tak ada orang luar yang mau masuk dan datang ke kampung ini. Talang Panjau seperti wilayah terisolasi dari orang-orang luar. Masjid kampung ini sesungguhnya bisa dikatakan tidak memiliki struktur kepengurusan. Ustaz Mukhlisin secara aklamasi tanpa suatu rapat resmi dianggap sebagai ketua masjid.
Mukhlisin, lelaki muda itulah yang sering datang ke masjid untuk salat lima waktu. Ia yang sering menjadi muazin, ikamah, sekaligus imam salat karena memang nyaris tak ada orang yang datang untuk salat jemaah ke masjid. Itulah yang dialami Mukhlisin hampir dua puluh tahun yang lalu ketika ia datang dan akhirnya tinggal di kampung ini. Awalnya ia hanya seorang buruh tani yang disebut bujangan oleh warga kampung sini. Mukhlisin menjadi bujangan Pak Rasmin, mengurus kebun kopi miliki lelaki yang kemudian menjadi mertuanya hingga akhirnya ia menjadi warga Talang Panjau ini.
***
Masjid Talang Panjau tak memiliki nama saat Mukhlisin datang. Tak ada papan nama di sana. Bentuk bangunan masjid juga hanya berupa rumah panggung dengan dinding dan alas berupa papan dengan tinggi sekitar satu meter dari atas tanah. Atap masjid berasal dari seng. Luas bangunan hanya berukuran delapan kali dua belas meter. Nyaris tak ada orang salat berjemaah di sana kecuali hanya salat Jumat dan hari raya Idul Fitri atau Idul Adha. Imam dan khatib Jumat adalah Pak Yasar yang rumahnya berada paling ujung, cukup jauh dari talang. Pak Yasar hanya datang ke masjid pada hari Jumat dan hari raya. Sementara yang menjadi muazin adalah Pak Rasmin, tuan atau majikan Mukhlisin yang kemudian menjadi mertua Mukhlisin.
Usia Mukhlisin baru menginjak tujuh belas tahun saat ia merantau ke kampung ini. Ia hanya lulusan Madrasah Tsanawiyah dan pesantren kecil di kampung asalnya. Penduduk Talang Panjau sendiri rata-rata hanya lulusan SD, atau paling banter lulus SMP yang berada di desa sebelah. Hampir semua warga menikah dalam usia muda dan mereka juga pada umumnya menikah dengan sesama warga kampung.
Saat itu belum ada listrik dan pengeras suara di masjid. Dua tahun Mukhlisin datang, Pak Yasar meninggal dunia. Warga kampung heboh saat itu karena belum ada pengganti beliau sebagai Imam dan Khatib Jumat. Orang-orang lalu menunjuk Mukhlisin, sosok yang dianggap memiliki pengetahuan agama yang lebih dibanding warga lain, selain tentu saja ia yang paling rajin datang untuk salat lima waktu di masjid. Nyatanya memang Mukhlisin pandai membaca Al-Qur’an dan kitab bertuliskan huruf Arab. Sementara untuk menjadi khatib Jumat, ada buku panduan yang bisa dibaca saat mengisi khotbah. Orang-orang lalu memanggil ustaz pada Mukhlisin, meski sebenarnya ia malu dan cukup tahu diri. Namun panggilan ustaz itu kemudian tak bisa lepas dari dirinya.
Ketika Mukhlisin tampil menjadi imam salat Jumat dan Khatib, ia bisa mengajak Jono menjadi jemaah aktif. Lelaki pendiam dan bisa dibilang lugu itu kemudian sering menjadi muazin kedua saat salat Jumat dan hari raya setelah mertuanya sendiri, Pak Rasmin. Mukhlisin sendiri bisa diambil menantu oleh Pak Rasmin karena ketekunan beribadah dan kemampuan mengajinya.
Setelah ditunjuk menjadi imam, khatib, sekaligus ketua masjid, Mukhlisin mencoba membentuk kepengurusan masjid. Memang tak banyak orang yang bersedia menjadi pengurus masjid, hanya beberapa orang saja. Mukhlisin sangat menjaga mereka. Tak pernah banyak orang yang datang saat rapat masjid. Lelaki itu mulai menggalakkan pengajian untuk anak-anak kecil. Ia juga mau mengajar membaca Al-Qur’an untuk warga desa dewasa meski yang mau mengaji hanya beberapa orang saja seperti Jono, Mbah Maran dan Pak Ladio.
Mukhlisin juga mulai mengaktifkan jemaah tarawih dan mulai mengelola zakat fitrah yang sebelumnya bisa dikatakan tidak tertib karena orang-orang berzakat biasanya langsung pada yang dianggap berhak. Mukhlisin mengelola uang kotak amal masjid yang isinya juga tak seberapa saat Jumatan tiba. Memang jika hari Jumat warga desa yang menjadi jemaah telah memenuhi syarat, sekitar lima puluh warga bisa hadir, meski jika Mukhlisin hitung, jemaah lelaki dewasa Talang Panjau bisa hampir seratus orang, belum lagi jika ditambah Talang Mandiangin, talang sebelah, yang warganya tidak memiliki masjid.
Perlahan tapi pasti Mukhlisin selalu dan satu-satunya yang ditunjuk sebagai ketua panitia. Ia bersama Jono mulai mengadakan acara pengajian umum saat hari besar tiba dengan mengundang penceramah dari luar. Acara Isra Mi’raj, Maulid Nabi, atau Tahun Baru Hijriah mulai diisi dengan pengajian. Jono pulalah yang sesungguhnya benar-benar mengorbankan waktu dan tenaganya untuk hampir semua kegiatan masjid.
Beberapa tahun kemudian, Mukhlisin mengajukan pada warga untuk melakukan renovasi dan sedikit perluasan masjid. Bangunan masjid menjadi permanen dengan lantai berplester hitam dan berdinding batu bata yang disemen. Pengeras suara atau pelantang juga dipasang. Pengajian anak-anak semakin ramai hingga Mukhlisin tidak mampu mengajar anak-anak itu seorang diri. Jono yang sudah mengaji lama dengan sangat tekun pada Ustaz Mukhlisin turut membantu ustaz tersebut mengajar anak-anak mengaji. Bahkan kini, beberapa anak didik yang mengaji pada Mukhlisin sudah berangkat ke pesantren di luar daerah atas dorongan ustaz tersebut.
Setelah renovasi dan perluasan hingga masjid menjadi lebih layak, jemaah aktif masjid mulai bertambah meski jumlahnya masih sangat sedikit. Orang tua dan adik-adik Jono, juga mulai rajin ikut salat jemaah, khususnya pada salat Magrib dan Isya. Jono sendiri juga mulai tampil. Jika dulu hanya menjadi muazin, kini Jono mulai berani menjadi pembawa acara atau membacakan pengumuman padahal lelaki itu sesungguhnya sangat pendiam dan pemalu. Orang-orang kampung sendiri senang meledek lelaki itu. Banyak warga kampung menganggap remeh Jono. Mereka sendiri sering merasa heran pada Ustaz Mukhlisin yang begitu percaya pada Jono untuk banyak urusan masjid.
***
“Kemarin hari Jumat kamu kemana, Jon?” Tanya Ustaz Mukhlisin. Ia mendatangi Jono karena lelaki itu tak hadir pada rapat masjid padahal Mukhlisin sudah memberitahu Jono sebelumnya perihal rapat masjid tersebut. Jono seperti sengaja tidak hadir.
“Saya menengok Pakde saya di Way Abung, Kang.” Lelaki itu kemudian bercerita jika ia harus mendadak ke sana untuk dua hari. Jono memanggil Ustaz Mukhlisin ‘Kang’ itu memang atas permintaan Ustaz Mukhlisin sendiri.
“Ohhh pantas aku tidak melihatmu di masjid, Jon.”
“Terus bagaimana hasil rapat kemarin, Kang?”
“Ya, seperti biasa, Jon. Mereka menunjukku sebagai ketua panitia pembangunan dan perluasan masjid.”
“Memang Kang Lisin yang paling pantas untuk itu, kan. Seperti yang sering Kang Lisin katakan, yang penting kita harus bersabar. Memang tak mudah untuk syiar dan dakwah.” Mukhlisin menatap Jono dengan penuh haru dan bangga. Lelaki yang sering dipandang rendah oleh warga kampung itu bahkan memiliki jiwa yang begitu besar dan tulus.
***
Beberapa bulan kemudian pembangunan dan perluasan Masjid Nurul Hidayah Talang Panjau selesai. Masjid itu kini telah dilengkapi sound system yang sangat layak. Mimbar, penanda waktu masuk salat, karpet bagus yang mengganti tikar dengan ubin keramik sebagai pengganti plester, dan toilet serta kamar mandi juga dibangun. Sebelumnya orang-orang mengambil air wudu dari rumah mereka sendiri saat berangkat ke masjid karena tak ada fasilitas itu di masjid. Mungkin itu juga yang bisa menjadi alasan mereka malas pergi ke masjid, terlebih jika hari sedang hujan. Anak-anak kecil yang mengaji bertambah banyak. Jemaah salat sekarang juga mulai ramai. Mereka merasa betah dan kerasan di masjid tidak hanya untuk salat jemaah tetapi juga mulai rajin bertadarus.
Saat peresmian masjid bahkan dilakukan oleh bupati. Tak pernah sebelumnya kampung itu didatangi pejabat. Bahkan Pak Bupati berjanji akan membangun jalan menjadi aspal. Orang-orang kampung senang mendengarnya. Warga kampung memuji Ustaz Mukhlisin yang mampu mendapatkan donatur besar untuk pembangunan masjid itu meski Ustaz Mukhlisin merahasiakan nama donatur tersebut atas permintaan sang donatur sendiri. Orang-orang kampung bersuara dan mengira jika donatur tersebut adalah sang bupati karena Pak Bupati dalam pidato peresmian mengatakan kebanggaannya pada kemajuan pengajian di Talang Panjau. Ia mendapat laporan jika jumlah pelajar dan santri Talang Panjau yang sedang belajar di pesantren di luar sana jumlahnya semakin bertambah banyak dari tahun ke tahun dan mereka bisa diharapkan menjadi generasi penerus Talang Panjau. Pak Bupati juga memuji Ustaz Mukhlisin yang tak kenal lelah mendidik mereka.
Ustaz Mukhlisin kini merasa dirinya kecil. Tapi sungguh ia telah berjanji dalam hatinya untuk sepenuhnya membaktikan dirinya demi kemajuan masjid ini. Ia bahagia sekaligus terharu melihat masjid ini mulai maju. Baginya semua itu atas usaha seorang yang berhati besar dan tulus yang sering direndahkan banyak orang. Lelaki pekerja keras yang memiliki kebun cukup luas namun hidup hemat dan tidak pernah membelanjakan hartanya untuk hal-hal yang kurang bermanfaat. Teringat olehnya saat Jono bercerita ke rumah Pakdenya di Way Abung. Lelaki itu telah menjual tanahnya di sana dan ia sumbangkan seluruh uang hasil penjualan tanah itu untuk pembangunan masjid. Jono pulalah yang selama ini membantunya dalam hal keuangan, tenaga, dan pikiran. Lelaki itu pulalah yang menjadi donatur utama saat masjid ini petama kali dibangun menjadi permanen beberapa belas tahun lalu. ***
*Mahan Jamil Hudani adalah nama pena dari Mahrus Prihany, lahir di Peninjauan, Lampung Utara, pada 17 April 1977. Pernah nyantri saat duduk di MA di pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan, Surakarta, lalu meluluskan studi di Akademi Bahasa Asing Yogyakarta (ABAYO) dan Komunikasi Penyiaran Islam di STAI Publisistik Thawalib, Jakarta Pusat. Saat ini bergiat di Komunitas Sastra Indonesia Tangerang Selatan (KSI Tangsel) sebagai ketua. Kini juga sebagai kepala sekretariat Lembaga Literasi Indonesia (LLI) serta redpel di portal litera.co.id. Karyanya tersiar di sejumlah media massa seperti Fajar Makassar, Batam Pos, Riau Pos, Sumut Pos, Lampung Pos, Bangka Pos, Solopos, Medan Pos, Pontianak Pos, Tanjungpinang Pos, SKH Amanah, Bhirawa Surabaya, Haluan Padang, Palembang Ekspress, Magelang Ekspress, Padang Ekspress, Rakyat Sumbar, Rakyat Aceh, Rakyat Sultra, Kabar Priangan, Analisa Medan, Majalah Semesta, Majalah Mutiara Banten, Majalah Kandaga, maarifnujateng.or.id, kareba.id, gadanama.my.id, lensasastra.id, iqra.id, labrak.co, Dinamika News, Cakra Bangsa, Lampung News, Radar Bromo, Radar Malang, dan Radar Mojokerto. Karyanya juga tersiar dalam sejumlah antologi bersama. Kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit adalah Raliatri (2016), Seseorang yang Menunggu di Simpang Bunglai (2019), dan Bidadari dalam Secangkir Kopi (2021)