Oleh Hamidulloh Ibda
Dokter, dokter gigi, dokter anak, dokter hewan, tentara/TNI, polisi, polwan, perwira polisi, ilmuan, pemain basket, ustaz, ustazah, profesor, masinis, pengacara, hakim, pramugari, pamadam kebakaran, presiden, pilot, arkeolog dinosaurus, guru, dan guru ngaji. Itulah deretan cita-cita anak PAUD saat akhirussanah virtual. Saya menyimak betul acara tersebut.
- Iklan -
Khusus cita-cita anak sulung saya, Sastra Nadira Iswara sangat berbeda di antara 106 dari tiga kelas PAUD tersebut. Istri saya kaget ketika gurunya membacakan cita-cita anak yang berkarakter tegas ini. Mau tahu? Cita-cita anak saya adalah pengusaha butik hijab. Saya mendengarnya pun tertawa dan mencoba menelisiknya.
Dunia Imajinatif
Dunia anak adalah dunia imajinatif. Selain itu, ciri mereka usil, rasa ingin tahunya tinggi, dan meniru atau imitasi. Namun yang paling dominan dalam mengungkapkan cita-cita adalah hasil meniru dan imajinasi.
Apa yang diimajinasikan seperti contoh anak saya adalah hasil meniru. Sebab, ibunya selain sibuk menjadi guru juga menyempatkan diri berbisnis kerudung atau hijab. Hasilnya, anak saya meniru apa yang ibunya lakukan.
Membiarkan anak-anak berimajinasi adalah cara paling efektif agar tumbuh kembang otak kanan maupun kirinya berjalan baik. Artinya, anak tidak didoktrin menjadi ini dan menjadi itu. Seperti layaknya kita saat kecil yang sudah didekte menjadi polisi, dokter, pilot dan sebagainya.
Dalam teori sastra anak, perkembangan dunia imajinasi merupakan hasil dari resepsi dan ekspresi. Daya resepsi anak baiknya berjalan natural agar mereka melakukan ekspresi berdasarkan kemauan dan kemampuannya. Alasannya, banyak orang tua memaksa anaknya harus seperti mereka.
Ketika orang tua menjadi polisi, maka kebanyakan anak mereka didoktrin menjadi polisi. Hal ini tidak saya terapkan pada anak saya. Istri dan saya pribadi bekerja sebagai pendidik. Namun saya dan istri tidak pernah memaksa anak saya menjadi atau saya doktrin menjadi pendidik.
Sebaliknya, saya dan istri membiarkan anak-anak mengekspresikan dari apa yang diresepsikannya. Maka selang beberapa hari setelah akhirussanah itu istri saya memesan banner kecil dengan tulisan Nadira Hijab. Hal itu dalam rangka menjembatani agar imajinasi anak menjadi kenyataan.
Meski nanti ketika sudah besar mau jadi apa, namun dunia imajinasi anak harus diriilkan. Hal inilah yang kadang diabaikan kebanyakan orang tua. Dari 106 anak dalam tiga kelas di atas kebanyakan bercita-cita menjadi polisi dan dokter yang menduduki urutan tertinggi. Padahal kita tahu sendiri, menjadi polisi dan dokter membutuhkan biaya dan jalur pendidikan yang tidak murah.
Berbeda dengan menjadi pengusaha hijab. Cukup dengan menjadi reseller, cita-cita yang masih menjadi imajinasi fiktif pada anak dapat diwujudkan seketika. Murah dan mudah. Namun apakah cita-cita masih sakral bagi anak dan orang tua, atau sekadar menjadi doktrin belaka?
Desakralisasi
Bagi saya, cita-cita bukan soal sakralitas. Namun di abad 21 ini cita-cita menjadi persoalan realitas. Maka perlu desakralisasi atau penghilangan kesakralan. Alasannya, karena saat ini cita-cita hanya bertujuan mendapatkan materi saja, bukan urusan ukhrawi namun sekadar urusan duniawi.
Ketika anak-anak sudah dewasa dan disebut sukses, makna sukses yang dimaksud adalah semakin kaya harta, tinggi jabatannya, banyak tabungannya, rumah dan mobil mewah. Riil hanya soal harta dan tahta saja.
Orang tua juga mengajarkan anak lebih pada “menjadi apa” (to be) daripada mengajarkan “berbuat apa” (to do). Maka desakralisasi cita-cita anak menjadi penting. Dibutuhkan usaha atau proses menghilangnya sifat sakral (suci) pada cita-cita. Sebab, kini cita-cita adalah urusan dunia bukan akhirat.
Perlu usaha riil dan tepat. Pertama, mengajarkan anak tidak mementingkan urusan dunia, jabatan, cita-cita. Sebab, tidak ada yang sakral selain Allah sehingga perlu “sekularisasi” agar anak bisa membedakan mana urusan dunia dan mana urusan akhirat.
Kedua, mengajarkan anak lebih pada melakukan apa yang mereka cintai atau hobi dari anak tersebut. Misal anak suka menggambar maka perlu difasilitasi, didukung dan diarahkan. Dari hobi inilah yang saat ini banyak dijadikan profesi. Hobi menjadi hoki. Demikian rumusnya.
Ketiga, tidak memaksakan anak menjadi ini dan menjadi itu. Tidak perlu pula memaksa anak menjadi seperti profesi orang tua. Hal itu saya kira lebih bijaksana daripada memaksakan dan mendoktrin anak bekerja seperti orang tuanya.
Rumusnya adalah anak sebagai aset orang tua harus dijaga seutuhnnya. Dalam Islam, mereka ketika lahir, keputusan ada pada orang tua. Mereka mau dicat berwarna merah, kuning, hijau, biru, semua ada di tangah orang tua. Maka ketika anak-anak mulai tumbuh dan kembang pada masa golden age, mereka harus diarahkan mencari jati dirinya.
Membiarkan anak mencari jati diri bukan berarti “membebaskan” mereka, namun mengajarkan anak menentukan jalan pikiran, keinginan, dan kecenderungannya sendiri. Dengan demikian, anak-anak nyaman dan tidak ada paksaan. Ketika mereka sudah nyaman, maka orang tua dengan mudah mengarahkan, memberikan masukan, dan bimbingan.
Sebaliknya, ketika anak dikekang harus jadi ini dan jadi itu, anak justru setengah hati dan terpaksa menuruti arahan dan kemauan orang tua. Ketika sudah terpaksa, mereka justru setengah hati, berontak meski tidak berani mengutarakannya. Hal inilah yang kini terjadi pada kebanyakan orang tua. Anak-anak yang masih kecil dan seharusnya mereka menikmati masa-masa bermain, namun sudah dipaksa orang tua menjadi seperti apa yang orang tua inginkan.
Maka sudah saatnya cita-cita anak didesakralisasi. Anak-anak harus dikenalkan pada gelombang nurani yang dekat dengan mereka. Caranya cukup mudah, yaitu dengan membiarkan mereka menikmati masa-masa kecilnya, menentukan cita-citanya, dan mengawal pada batasan-batasan tertentu. Hal itu cukup bijak agar anak menjadi dirinya sendiri tanpa harus tercerabut dari akar atau ketaatan kepada orang tuanya.
Tanpa diarahkan untuk meniru orang tua, sebenarnya anak-anak itu adalah cermin dari apa yang dilakukan orang tuanya. Orang tua menyuruh salat, namun orang tua tidak pernah salat. Ini namanya paradoks tingkat dewa. Harusnya, orang tua rajin salat, memberi contoh dengan perbuatan bukan sekadar perintah dan perkataan.
Jika orang tuanya baik, anak-anak pasti baik. Begitu pula sebaliknya. Tanpa memerintah anak menjadi anak yang baik, mereka akan berbuat baik ketika orang tuanya berbuat baik. Tanpa meminta anak bercita-cita menjadi ini dan menjadi itu, ketika orang tua sudah memberi contoh, maka anak-anak pun akan menirunya. Pertanyaannya, apakah ada daun jatuh jauh dari pohonnya?
– Penulis adalah Dosen Prodi PGMI dan PJs Wakil Rektor Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Temanggung