Oleh: Sam Edy Yuswanto
Hidup dalam keberagaman merupakan suatu keniscayaan. Beragam di sini meliputi agama, suku, kebudayaan, adat istiadat, dan lain sebagainya. Karenanya penting bagi kita untuk selalu berusaha menghormati dan menghargai setiap keberagaman atau perbedaan yang muncul di sekeliling kita. Jangan sampai kita menjadi orang yang egois dan (merasa) paling benar sendiri; menganggap salah kepada orang-orang yang berseberangan pendapat dan karakter dengan kita.
Bicara tentang keberagaman, sebenarnya sudah kerap dialami oleh para pendahulu kita dan seyogianya harus disikapi dengan legawa dan bijaksana. Dalam tulisannya (Mediaindonesia.com, 9/6/2018) Indriyani Astuti menguraikan bahwa di negeri ini, perbedaan sudah ada sejak lama dan kita dapat hidup harmonis walaupun berbeda-beda suku, budaya dan agama. Kekhawatiran yang muncul belakangan ini ialah masuknya paham-paham radikalisme, intoleransi, dan terorisme yang bukan karakter bangsa Indonesia.
Perihal bagaimana cara menghadapi perbedaan dan keberagaman yang ada di tengah masyarakat, kita sangat perlu berguru kepada Nabi Muhammad Saw., sebab beliau adalah sosok manusia sempurna yang layak dijadikan sebagai teladan oleh semua makhluk hidup di muka bumi ini. Perilakunya yang mulia dan sangat terpuji telah mampu menumbuhkan kesadaran orang-orang yang sebelumnya membenci beliau menjadi begitu mencintai dan ingin melindunginya.
- Iklan -
Salah satu bentuk menghormati keberagaman ialah dengan cara bersikap ramah terhadap orang-orang yang berbeda dengan kita. Baik berbeda agama atau keyakinan, beda pendapat tentang sesuatu hal, dan seterusnya. Rasulullah Saw. sendiri sangat menghormati orang lain yang keyakinannya tak sepaham dengan beliau. Misalnya ketika ada tamu berkunjung ke rumah, beliau akan sangat menghormatinya padahal tamu tersebut bukanlah orang muslim.
Dikisahkan (Republika.co.id, 5/4/2019) Adi bin Hatim merupakan sosok yang langsung terkesan dengan akhlak Rasulullah Saw. Jadi ceritanya, sebelum Adi memutuskan masuk Islam, ia pernah berkunjung ke rumah beliau. Ia memperoleh pelayanan yang baik walaupun dirinya nonmuslim. Rasulullah mengambil sebuah bantal agar Adi bisa duduk dengan nyaman. Dengan penuh rasa hormat, ia dipersilakan duduk di atas bantal tersebut. Mulanya ia menolak dan menanyakan bagaimana dengan Rasul sendiri. Karena menurut Adi, tuan rumah lebih berhak duduk di atas bantal ketimbang dirinya. Namun Rasulullah menegaskan, tamunya lebih utama. Sikap Rasulullah yang sangat memuliakan tamu membuat Adi tersentuh dan kagum, mengingat waktu itu Rasulullah telah menjadi pemimpin di Madinah yang sangat dihormati oleh siapa pun. Pada akhirnya, Adi pun memutuskan mengucap kalimat syahadat.
Sikap mulia Nabi ketika melayani tamu padahal tamunya bukan dari golongannya (beda agama) tentu patut kita teladani. Jangan sampai kita pilih kasih dalam memperlakukan orang lain. Misalnya, hanya karena orang yang bertamu ke rumah kita dari kalangan biasa, maka tak dihormati dengan layak. Sementara bila yang bertamu adalah orang yang dianggap penting, seumpama kaum pejabat, kita begitu memuliakannya dengan cara misalnya memberikan pelayanan serta suguhan hidangan yang mewah. Sikap membeda-bedakan seperti ini mestinya harus kita hindari, karena bukan termasuk cerminan akhlak terpuji Nabi.
Bicara tentang keberagaman, selain perlu berguru keteladanan kepada Rasulullah Saw. dan para sahabatnya, kita juga perlu meneladani kisah para ulama terdahulu yang begitu menghormati setiap melihat perbedaan yang ada di sekitarnya. Saya menemukan kisah yang cukup menarik yang bisa dijadikan sebagai keteladanan dalam menyikapi perbedaan yang ada di sekitar kita.
Kisah tersebut saya dapatkan dalam buku Nasihat untuk Kita (2017) karya Farhan Abdul Majiid. Suatu ketika, Buya Hamka sang ulama besar dari Muhammadiyah berada di atas kapal untuk melaksanakan ibdah haji. Di dalam kapal tersebut, ia bersama dengan KH. Idham Chalid, ulama besar dari Nahdlatul Ulama. Perbedaan organisasi tidaklah menjadikan mereka berpecah, melainkan bersahabat di atas kapal tersebut dan saling menghormati keyakinan masing-masing.
Suatu waktu, pada saat menjelang subuh, KH. Idham Chalid menjadi imam shalat subuh. Bagi kalangan Nahdliyin, berqunut ketika shalat subuh adalah sebuah sunah muakkad yang pantang untuk ditinggalkan. Namun, karena beliau mengetahui keberadaan Buya Hamka sebagai makmum, beliau tidak membaca doa qunut pada shalat subuh tersebut. Di lain hari, tibalah giliran Buya Hamka yang menjadi imam shalat subuh. Kita tentu tahu, bagi warga Muhammadiyah, tidaklah umum membaca doa qunut pada saat shalat subuh. Tetapi karena beliau paham bahwa qunut bukanlah suatu yang haram, dan tetap memiliki dalil, beliau berdoa qunut saat mengimami shalat subuh. Beliau menghormati keberadaan KH. Idham Chalid sebagai salah satu makmumnya. Seperti itulah ulama terdahulu kita memberikan contoh yang baik dalam menghadapi perbedaan. Perbedaan bagi mereka, bukan untuk dipertentangkan namun untuk diharmonikan.
Memang harus saya akui, yang namanya menghormati setiap perbedaan itu tak semudah membalikkan kedua telapak tangan. Namun saya merasa yakin, bukanlah hal yang terlalu sulit bila kita berusaha untuk mencoba dan membiasakannya. Karenanya, mulailah dari sekarang untuk berusaha bersikap bijaksana dalam melihat perbedaan. Langkah pertama yang paling mudah saat berjumpa dengan orang yang berbeda (dalam banyak hal) dengan kita ialah dengan mengedepankan sikap ramah, murah senyum, menyapa dan mengajak ngobrol dengan penuh keakraban. Wallahu a’lam bish-shawaab.
***
*Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen.