Oleh Ali Yazid Hamdani
Judul : Living Quran: Studi Kasus atas Majelis Ayat Kursi Prof. Drs. KH. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D
Penulis : Opisman
Penerbit : Lembaga Ladang Kata
Tahun : Januari 2021
Tebal : xiv + 138 Halaman
Pernah mendengar pernyataan “Larangan pemakaian cadar di lingkup Kampus UIN Sunan Kalijaga”, “musuh terbesar pancasila adalah agama bukan kesukuan”? Kira-kira begitulah sederet narasi kontroversial yang pernah lahir dari sosok Prof. Drs. KH. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D yang sempat membuat publik memanas.
Jika hanya melihat sepintas dari permukaan, narasi yang tampak tersebut sangat berpotensi memunculkan kegaduhan. Tapi ketika kita mau menyelami lebih dalam samudera gagasan yang terlontar dari seorang Yudian, yang jelas kita akan manggut-manggut dibuatnya. Opisman melalui karya ini hendak mengantarkan pada pemahaman dan menemukan jawaban langsung dari sumbernya atas apa yang selalu digelisahkan.
- Iklan -
Sebenarnya buku ini hadir untuk menelaah bagaimana prosesi pelaksanaan majelis Ayat Kursi yang dilakukan secara rutin di Masjid Siti Handaroh, Pondok Pesantren Nawasea. Majelis ini terhubung erat dengan Tarekat Sunan Anbiya’ yang didirikan oleh Yudian sebagai bagian dari amaliyah rutinannya.
Buku ini merupakan penelitian Living Quran yang berusaha membidik fenomena sosial keagamaan jamaah majelis Ayat Kursi ini. Opisman begitu gamblang menguraikan fenomena yang dikaji, mulai dari makna shalat hajat sebagai proses awal Majelis Ayat Kursi. Kemudian penguraian makna dzikir yang disadur dari ayat-ayat Al-Qur’an (sebagian maupun seayat penuh), bagaimana resepsi Al-Qur’an atas praktik pembacaannya, hingga berusaha mengungkap tujuannya, dan bahkan sampai kepada kesan yang dirasakan para pelaku setelah pengamalan dan pengalaman yang telah dirasakan.
Ada hal menarik ketika orang-orang mendengar kata ‘tarekat’, yang tergambar di kepala adalah suatu institusi atau lembaga yang menghimpun beberapa orang dalam menjalankan laku spiritual ala-ala sufi, dengan beragam amaliyah-amaliyahnya, mulai dari wiridan, aktivitas kegiatan rutinan, dll. Bahkan yang paling tercantol di ingatan bahwa para pelaku tarekat adalah mereka yang cenderung berorientasi ke arah yang sifatnya ukhrawi.
Sehingga seolah-olah dengan kehadiran tarekat membuat kondisi dan situasi kehidupan sosial kemasyarakatan tidak terjamah karena dianggap hal yang coraknya duniawi yang hanya semu, sikap asketis pun membiak di tengah-tengah umat hingga mengakibatkan degradasi pemaknaan dalam term tarekat ini.
Dari problem inilah Yudian sebagai akademisi yang diakui khalayak nasional maupun skala internasional, ingin menyatukan pemahaman yang terbelah antara Islam yang sifatnya duniawi dan yang ukhrawi menjadi satu ukhrawi dan duniawi sekaligus tanpa memberat-sebelahkan salah satunya.
“Tarekat eksistensialis positivis kontemporer”, begitulah corak tarekat Sunan Anbiya’ yang ingin mengajarkan bekerja (beramal) setelah berdoa, berupaya menghadirkan surga di dunia sebelum surga di akhirat kelak, (ilmu, minta sampai ke Harvard, rezeki minta jadi konglomerat, dan kursi/kekuasaan minta jabatan hingga menteri bahkan jika perlu jadi presiden). Termasuk di dalamnya amalan yang dilakukan berupa majelis ayat kursi sebagai upaya tindak lanjut cara yang baik dan benar untuk mencapai segala tujuan tadi (hal 46).
Buku ini memotret alur pemikiran Yudian akan keresahan dan kegundahannya ihwal problem utama yang dihadapi umat Islam sekarang: ilmu, harta dan tahta. Bagi Yudian, kurangnya ilmu dan pendidikan adalah kebodohan yang menjadi biang kemunduran peradaban. Ibnu Taimiyah pun dalam kitabnya Tazkiyah an-Nafs menyatakan, asal mula yang menjerumuskan manusia kepada keburukan adalah kebodohan. Sebab boleh jadi apa yang dianggapnya benar dan mendatangkan manfaat baginya tapi justru mendatangkan mudarat yang lebih besar lantaran kebodohannya. Bukan menuai maslahah malah memicu berbagai masalah.
Rendahnya kesadaran kerja untuk mencari kesejahteraan akan menuai kemiskinan, karena kefakiran pun berpotensi mengarah kepada hal-hal buruk dan rentan memicu lahirnya kejahatan. Rasul pun pernah mengingatkan kaada al-faqru an yakuuna kufran “Kefakiran itu dekat dengan kekufuran” ketika kemiskinan sedang menimpa, segala cara akan dilakukan agar terkabul apa yang dicitakannya. Menjual diri akan dilakukan asal anak-anaknya senang bisa makan, bahkan apapun lainnya akan dilakukan untuk kebutuhan ekonominya. Termasuk dalam pindah agama, orang akan rela meninggalkan aqidah yang lama dianut menuju agama baru yang lebih menjamin kehidupan ekonominya. Jika hal itu terjadi siapa yang menjamin?
Dan terakhir kecenderungan menjauhi kekuasaan (politik) mengakibatkan ketertindasan. Dari ketiganya harus kita pegang dan kuasai dengan terus belajar tinggi, usaha sekeras mungkin pada bidang masing-masing, hingga dapat menjadi pemimpin sekaligus ulama sebagaimana ditunjukkan oleh Islam (hal 120). Ketika semua telah di tangan, ada hal lain yang perlu ditindaklanjuti, yaitu memanfaatkannya untuk kepentingan umum sebagai wujud ibadah kepada Allah.
Melalui rangkaian dalam majelis yang menjadikan ayat kursi yang dibaca sebagai inti dan kunci dari prosesi tersebut. Para mufassir terdahulu menafsirkan ayat kursi ini sebagai pemelihara dari gangguan-gangguan setan, Ibnu Katsir juga menjelaskan dengan mendasarkan pada suatu hadis sebagai ayat teragung dalam kitabullah yang setara dengan seperempat Al-Qur’an, dan bagi siapa membacanya, maka doanya pasti dikabulkan Allah SWT, serta beragam faidah-faidah lainnya.
Bagi Yudian sendiri, ayat kursi ini mengandung tauhid yang dapat melepaskan diri dari dosa syirik yang disadari atau tidak dapat hinggap pada diri seseorang, dan ayat kursi juga berbicara tentang kekuasaan sehingga dapat dijadikan media untuk kursi kekuasaan kepada Allah. Yudian mengganggap hal tersebut merupakan penafsirannya sendiri berdasar dari pengalaman dan hasil pembacaannya terhadap aneka macam literatur sejak awal ia menuntut ilmu hingga sekarang (hal 113).
Rekam jejak konsep dan praktik majelis Ayat Kursi bahwa Islam tidak harus dipahami secara terpisah antara duniawi dan ukhrawi semata. Namun, keduanya berorientasi meraih ilmu, harta, dan tahta dengan tetap berpegang teguh pada visi-misi Islam yang tidak memunggungi Al-Qur’an dan Sunnah. Sehingga kita tidak menjadikan doa sebagai bentuk pelarian dari kegagalan. Dengan demikian tercapailah surga di dunia sebelum menggapai surga di akhirat nantinya.
*Ali Yazid Hamdani, Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga