*) Oleh: Tjahjono Widarmanto
Fakta sejarah mencatat bahwa Nusantara terbentuk dari wilayah bahari yang terdiri dari ribuan pulau. Jauh sebelum Sriwijaya tercatat sebagai imperium besar di abad ke-7, telah terjalin hubungan yang luas antarpulau baik di bidang perdagangan, politik, maupun kebudayaan. Pada masa itulah bangsa Nusantara telah berhubungan dengan bangsa-bangsa di kawasan lain di Asia Timur, Asia Pasifik, Asia Selatan, Timur Tengah bahkan Afrika, yang akhirnya mebentuk pertukaran budaya, perdagangan dan religi.
Keagungan bahari Nusantara juga tak bisa dipisahkan dari perdagangan rempah-rempah. Peran rempah-rempah sangat penting dalam proses formasi dan transformasi peta kekuatan maritime di kepulauan Nusantara, walaupun di samping itu ada juga peran fakor yang lain seperti perubahan ideology, persepsi, ekspetasi dan demand terhadap rempah-rempah itu sendiri.
Rempah-rempah jauh sebelum Sriwijaya tumbuh telah menjadi ‘kebutuhan dunia’. Di zaman Mesir Kuno dipakai sebagai bahan pengawet jasad Firaun, di masyarakat Yunani Kuno dipakai sebagai salah satu bagian ‘umbarampe’ spiritual pada upacara penyembahan dewa. Hal yang sama juga dilakukan oleh bangsa Romawi sebelum pengaruh Nasrani. Selain itu rempah-rempah digunakan sebagai obat-obatan oleh banyak bangsa di Asia. Pesona rempah-rempah inilah yang menjadi asal muasal imperialism dan kolonialisme.
- Iklan -
Sebagai bangsa Bahari, Indonesia memiliki ingataan-ingatan arkaik mengenai perjalanan-perjalanan panjang mengarungi samudera yangn-ingatan arkaik mengenai perjalanan-perjalanan panjang mengarungi samudera yang ganas. Ingatan-ingatan itu mewujud dalam berbagai archetype budaya. Dalam ritus-ritus kematian, perahu sering dijadikan metafora kendaraan suci menuju dunia gaib agar tak tersesat sampai tujuan. Mantra-mantra Marapu di pulau Sumba merupakan nyanyian-nyanyian yang berisikan perjalanan panjang yang ditempuh nenek moyangnya.
Kejayaan Sriwijaya, Majapahit dan Demak semakin menguatkan posisi kebaharian Nusantara. Mereka mampu menjadi kekuasaan maritime yang mengontrol perniagaan di Asia Tenggara. Ekspedisi-ekspedisi maritim Sriwijaya kerap diberi nama sebuah perjalanan suci, semisal Jayasidhaytra. Demikian juga Majapahit, walau berbasis pada budi daya agraris, namun memiliki kekuatan maritime yang mendebarkan. Majapahit membangun pelabuhan-pelabuhan yang terhubung dengan jalur-jalur sungai yang menjadi pilar kekuatan armada laut Majapahit.
Air dan sungai menjadi symbol penting bagi spiritualitas Majapahit. Hal ini bisa diketahui dari temuan-temuan patirtaan, blumbang-blumbang yang disucikan yang dipandang mengalirkan amerta atau air suci. Jaladwara (pancuran) berwujud mulut-mulut taksaka dan makara dan segaran kolam suci yang panjang yang tak pernah kering hingga kini adalah symbol lautan yang mengelilingi Jawadwipa. Konsep-konsep mitreka satata dan jalesveva jayamahe jelas-jelas merupakan konsep dan strategi politik yang berbasis kelautan.
Namun, munculnya kolonialisme dan imperalisme menjadikan posisi nusantara terkunci dan perdagangan rempah-rempah dimonopoli. Akibatnya kesadaran bahari digantikan kesadaran pulau dan daratan. Orientasi Nusantara tak lagi mengarah ke keluasan bahari yang tak terbatas, melainkan beralih berorientasi ke daratan yang sempit. Sampai kini pun kolonialisme baru dengan kekuatan kapitalnya mengeksploitasi dan menguasai laut kita.
Sudah saatnya dirumuskan kembali strategi-strategi kultural yang berorientasi kebaharian. Perlu adanya pemaknaan dan orientasi baru untuk kembali ke bahari sebagai sumber kemakmuran masa depan. Negara-negara lain, sepertri Amerika, Cina, Korea bahkan Malaysia sangat agresif melakukan orientasi dan investasi-investasi kelautan. Mereka membangun kesadaran akan bahari melalui museum-museum bahari dan pemikiran-pemikiran bahari. Sementara kita belum juga memuluainya. Persolan-persolan besar selalu dipikirkan dan dijawab dengan cara berpikir darat. Kebijakan-kebijakan besar berpusat dengan cara pandang darat. Pemerintah lebih memilih Persolan-persoalan besar selalu dipikirkan dan dijawab dengan cara berpikir darat. Kebijakan-kebijakan besar berpusat dengan cara pandang darat. Pemerintah lebih memilih membangun jembatan yang menghubungkan antarselat dibanding membangun pelabuhan dan dermaga. Tak ada upaya untuk menghidupkan dan memodernisasikan pelayaran-pelayaran rakyat.
Berpangkal tolak dari fenomena itulah harus dicoba untuk meretas jalan melalui upaya-upaya dan strategi budaya mengajak untuk kembali berorientasi ke bahari. Tentu saja tak hanya sekedar untuk membangkitkan romantisme historis kejayaan bahari, namun juga merumuskan rancangan strategi cultural untuk masa depan yang lebih cemerlang dan bermartabat.***
*) Tjahjono Widarmanto.Penyair, tinggal di Ngawi. Buku puisinya “Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak” menjadi salah satu penerima anugerah buku puisi terbaik versi HPI di tahun 2016. Buku puisi terbarunya “Kitab Ibu dan Kisah-Kisah Hujan” (2019), menjadi salah satu buku puisi terpuji versi HPI tahun 2019