Oleh Saiful Bahri
Membaca adalah cara kita menikmati karya dari pengalaman-pengalaman baik orang lain. Menulis adalah implementasi dari bacaan yang pernah dibaca untuk dialih terapkan terhadap ritual yang lebih aktual di masyarakat. Dari situlah kita menemukan daya dan energi untuk berpikir, berbicara, kemudian bertindak semampunya. Dari tindakan muncullah unsur ritme kebiasaan yang akan melekat jadi karakter. Mau sukses? itulah kunci utama dalam hidup. Dan pertanyaannya, berapa buku dalam sebulan yang telah selesai para kaum milenial baca?
Seyogianya hal-hal seperti paragraf pertama di atas mesti harus dimiliki oleh jiwa-jiwa milenial. Mampu tidak mengatakan dan berpikiran seperti ini. Katakanlah pemuda cerdas tidak pernah berkoar-koar untuk dirinya diakui. Tapi orang cerdas lebih dulu diakui jagat raya tanpa pengakuan sebelumnya. Tak perlu bagi orang cerdas untuk berpikir pengakuan untuk diakui. Karena baginya, pengakuan hanyalah tipu daya belaka. Bisa tidak berpikir dan punya logika berkreasi seperti itu? Saya pikir ini benar sekali ketika kemudian dialokasikan terhadap nilai-nilai sosiokultural di tengah perkembangan 4.0 ini.
Pertama saya bahas membaca, ya, walaupun kata membaca ini dianggap tabu oleh sebagian persen anak muda, tapi apakah kemudian kita biarkan begitu saja. Tentu tidak. Paradigma dan pola pikir seperti itu mesti kita rubah di zaman yang serba cepat ini. Kita buang jauh-jauh. Mending kita rubah dan kita ambil kesempatan membaca itu semaksimal mungkin. Saya pikir sangat –sangat berbenturan dengan pemikiran saya jikalau anak muda malas membaca. Karena membaca merupakan aset kita untuk berpikir lebih optimis, lebih tajam, lebih logis, dan mendorong aspek pembelajaran baik bagi diri untuk nantinya bisa menciptakan tindakan kreativitas hingga kemudian bisa saja diimplementasikan kepada kehidupan sehari-hari.
- Iklan -
Ada baiknya kita tersadar ketika mendengar anak muda, pelajar atau guru yang saya dengar malas membaca. Itu kenapa? Ya, mau dapat referensi dari mana. Contoh kecilnya guru misalnya, apa penjelasan yang disampaikan di kelas cuma itu-itu saja? Atau praktik yang dipraktikkan cuma hal-hal yang sudah basi? Kan gak keren. Makanya berbicara itu memang saya pikir berawal dari membaca persis teori pakar komunikasi yang ditulis oleh Oh Su Hyang yang pernah saya baca dalam bukunya yang bertajuk “Bicara itu Ada Seninya”. Dan banyak penulis-penulis besar salah satu keistimewaannya ya karena berawal dari diri kita yang kemudian membekas sistematis hingga jadi kebiasaan tertarik membaca. Dengan kata lain, cobalah kita analogikan pemikiran otak kiri kita, bahwa mereka-mereka orang cerdas ternyata selalu merasa bahwa hidup tidaklah indah tanpa membaca. Atau tiada hari tanpa membaca.
Adapun untuk berpikir, saya anggap itu juga bagian sesi awal dari membaca, kemudian menulis, lalu berpikir yang sifatnya bisa mempengaruhi terhadap orang lain di sekitarnya. Tak mungkin siswa kelas 1 SD tahu berhitung kalau ia tidak gemar berhitung dan selalu belajar membaca. Begitu pun tak mungkin orang pandai membaca kalau tidak dibarengi dengan menulis. Dua-duanya itu selalu beriringan dan selalu bersamaan dalam konteks pembelajaran yang saya analisis di madrasah-madrasah atau di bangku-bangku perkuliahan. Banyak orang-orang orang berpikir kritis karena kesukaannya membaca. Banyak siswa-siswi cerdas karena dibekali kebiasaan-kebiasaan menulis. Hingga timbullah perasaan suka dan muncullah keseriusan rasa ingin tahu yang teramat tinggi.
Dari tiga sisi itu saya dan pembaca bisa mengambil pelajaran bahwa tak mudah orang bisa mencapai sesuatu kalau tidak dibarengi dengan ikhtiar semampu kita. Ada motivator yang pernah saya dengar “Orang itu butuh 10 ribu jam terbang untuk mencapai sesuatu yang dia inginkan” dan ternyata memang benar. Katakanlah orang bercocok tanam akan ada hasil yang didapat dan dipetik bulan-bulan berikutnya karena ia memang benar-benar menanam. Coba kalau tidak? Sekarang saya ajak teman pembaca satu dua tiga menit saja untuk tidak bermalas-malasan berpikir. Karena apa? Tanpa pikiran yang kreatif, tanpa pikiran yang logis, pun tanpa pikiran yang positif kita tidak akan menemukan substansi kehidupan milenial yang esensial serta nilai-nilai vertikal dan horizontal. Tanpa pikiran pula yang ada hanyalah frasa tak bermakna.
Saya yakin dari pembaca paham akan teori-teori yang sudah diterapkan di madrasah-madrasah ataupun di bangku khas obrolan santai misalnya. Nah, kembali lagi pada pembahasan bahwa ketika kita membiasakan diri untuk selalu membaca, menulis, kemudian berpikir, hingga terjadilah kegelisahan dan muncullah dalam benak kita untuk bertindak. Tindakan itu semacam apa? Contoh kecilnya membantu orang tua, menolong tetangga, gotong-royong, berdiskusi dengan teman, kemudian tukar pendapat, kemudian juga saling menghargai perbedaan di dalam forum misalnya. Itu juga bagian cabang dari dulunya kita cuma diam ketika mendengar aparatur negara korupsi tapi setelah beranjak dewasa kita diajak untuk bernalar bisa, mengkritik pun juga bisa tanpa ada sedikit pun dalam benak kita merasa malas. Ketika diajak berpikir para milenial pun mau tanpa dipaksa. Begitu pun terjadi kericuhan neuron otak akan dorongan-dorongan yang muncul secara tiba-tiba dari hati nurani kita secara kocak.
Ada kalimat membaca dan menulis di paragraf di atas, ada pula susunan diksi berbicara, berpikir dan bertindak sebisa kita. Itu seolah-olah jadi kalimat dasar yang tak boleh dipisahkan dalam proses kehidupan anak muda di sekitar kita secara khusus, dan di seluruh Indonesia secara umum. Coba kita bayangkan, mana bisa kita memetik padi kalau tidak menanam padi, dan apakah kita bisa berpidato di depan publik kalau tidak belajar? Keduanya saya pikir sama hebatnya ketika kemudian ada banyak murid di kelas dan diajari dan didoktrin pelajaran A dan pelajaran B setiap harinya. Hingga timbullah generasi-generasi berprestasi dengan adanya komunikator yang menyampaikan kepada para mustamik di dalam kelas. Mari kita jadi pemuda yang mampu mempengaruhi dan berkualitas.
Kita tidak usah jauh-jauh berpikir keterkaitan anak muda di zaman ini. Saya rasa cukup diperhatikan dan kasih dia motivasi untuk melatih mental pemuda saat ini. Terkadang penulis esai ini sangat miris sekali ketika mendengar pemuda yang tidak optimis. Saya sangat acuh sekali ketika mendengar pemuda ditanya apa cita-cita tapi cuma menggeleng-gelengkan kepalannya. Mau bernasib apa ketika anak mudanya pun seperti itu. Betul tidak?
Cobalah kita mengingat nenek moyang kita dulu. Benar zamannya berbeda, tapi sebagian besar dari mereka-mereka punya kebiasaan yang sangat aktif mencapai tujuan melaju cepat. Apakah kita tidak bisa mengubah kebiasaan? Tentu bisa jika kita memang mau berubah dengan landasan dasar memotivasi dan mengintrospeksi diri setiap hari.
Saya sangat setuju ketika kemudian ada orang yang berpendapat begini, karakter itu terbentuk karena ada dorongan dari kebisaan-kebiasaan, kebiasaan itu ada karena tindakan, dan tindakan itu tumbuh menjulang langit karena pikiran kita selalu positif, bahkan pikiran itu ada karena kita selalu dan selalu membaca keadaan, membaca situasi, membaca buku-buku, dan membaca kesalahan diri sendiri untuk dijadikan pembelajaran dari salah dahulu baru berusaha membenarkan diri di kemudian hari. Artinya selalu berharap bahwa kita yang mesti mewarnai bukan malah diwarnai.
“Sampai di sini pembahasan saya ada pertanyaan tidak? Kalau ada pertanyaan sila ditanyakan kalau saya tahu akan dijawab kalau tak tahu biar Kak Mas kurator yang menjawab di kolom komentar.”
Saya selalu berpikir ke arah yang transparansi zaman mengingat minimnya minat baca, mengingat dan mempertimbangkan kurangnya kepedulian pelajar terhadap literasi, dan merosotnya keterbukaan pemuda terhadap nilai dan norma sosial bermasyarakat yang hampir 50 puluh persen sudah terkontaminasi budaya-budaya asing. Sudah tercampuri abu-abu kemaksiatan yang mulai menjalar di negeri Indonesia tercinta ini. Saya pikir literasi yang akan datang justru lebih buruk dari sekarang. Tapi saya berharap semoga dengan adanya kemajuan teknologi ini anak pelajar bisa paham dan memahami kiat-kiat belajar versi baru. Entah dengan cara baca buku via android atau mengasah otak lewat mendengar konten-konten dari influencer para milenial terkemuka. Atau apa lah semacamnya yang dikira tidak Cuma bermanfaat bagi dirinya tapi juga bermanfaat bagi orang lain.
Penulis esai ini selalu beranggapan bahwa kita ini kudu mampu naik ke tingkat yang lebih tinggi untuk mencapai sesuatu. Saya yakin bisa asal kita mau berubah dan mau beradaptasi secepat laju kuda berlari. Pembaca sekalian bisa telaah kutipan ini, “berpikirlah dahulu sebelum bertindak, bukan bertindak lalu berpikir. Kita boleh bertindak semampunya. Tapi jangan pernah mau kita dipaksa apa lagi terbawa arus untuk bertindak terhadap hal-hal yang tak berguna” saya rasa sangat aktual sekali untuk pembaca. Apa bila esai ini bermanfaat saya doakan semoga pembaca sadar akan eksitensialtanya yang kemudian kita aplikasikan jadi pembelajaran. Kita ambil jadi inspirasi menarik untuk nantinya disampaikan di hadapan publik.
Sumenep, 29-30 Juni 2021
-Saiful Bahri, kelahiran Sumenep-Madura, O5 Februari 1995. Ia mengabdi di Madrasah Al-Huda. Selain menulis, ia juga seorang aktivis di kajian sastra Komunitas Literasi Semenjak. Ada pula Fok@da (Forum komunikasi alumni Al-Huda), Organisasi Pemuda Purnama. Lesbumi PAC NU GAPURA. Pendidik setia di komunitas (Literasi Kamis Sore). Serta aktif di organisasi PR GP Ansor Gapura Timur dan Karang Taruna Tunas Widya. Disela-sela kesibukannya ia belajar menulis Puisi, Cerpen, Cernak, Ertikel, Esai, Resensi Opini, dll. Tulisannya pernah dimuat di koran Lokal maupun koran Nasional, seperti: Jawa Pos (pro-kontra), Republika (Puisi 2018), Riau Pos (2017), Bangka Pos (2017), Palembang Ekspres (2017), Radar Madura (2017-2018), Radar Surabaya (2017), Radar Jember (2017), Radar Banyuwangi (2017), Radar Bojonegoro (2017), Kedaulatan Rakyat Jogjakarta (2017), Solo Pos (2017-2018), Malang Voice (2017), Majalah Simalaba (2017), Analisa Medan (2018), Radar Cirebon (2018), Kabar Madura (2018), Jurnal Asia-Medan (2018), Banjarmasin Pos (2018), Budaya Fajar-Makassar (2018-2019), Radar Pagi (2018), Dinamikanews (2018), Denpost Bali (2018), Redaksi Apajake (2018-2019), Catatan Pringadi (2019), Jejak Publisher (2019), Ideide.id (2019), Iqra.id (2019), Magrib.id (2020), Majalah Pewara Dinamika Jogja (2019), Koran Cakra Bangsa (2019) Media Semesta Seni (2020), dan baru-baru ini tulisannya dimuat di website maarifnujateng.or.id (Agustus 2020). Puisinya juga masuk dalam antologi CTA Creation (2017). Antologi Senyuman Lembah Ijen-Banyuwangi (2018). Antologi kumpulan karya anak bangsa: Sepasang Camar-Majalah Simalaba (2018). Antologi puisi Perempuan (2018). Juara satu lomba cipta puisi bertema Hari Raya di media FAM Indonesia (2018). Antologi HPI Riau: Kunanti di Kampar Kiri (2018). Antologi Puisi Masa Lalu (2018). Antologi Puisi Festival Sastra Internasional Gunung Bintan Jejak Hang Tuah (Jazirah I 2018). Antologi Puisi Internasional FSIGB (Jazirah II 2019). Antologi Banjar Baru Rainy Day’s (2018-2019). Antologi Puisi untuk Lombok-Redaksi Apajake (2018). Antologi Puisi Puisi Tasbih Cinta (FAM 2019). Antologi Puisi Menimang Putri Dewa (Tidar Media, 2019). Antologi Puisi Sejarah Lahirmu (2019). Antologi Puisi Arti Kehidupan FAM Indonesia (2019). Antologi Puisi Kelapa Sawit Apajake (2019). Antologi Sebuku Net Nissa Sabyan (2019). Sepuluh Puisi Terbaik Media Linea (2019). Juara II Cipta Puisi Nasional di Penerbit Mandiri Jaya Tulungagung (2019). Penulis Buku Puisi Terbit Gratis: Senandung Asmara dalam Jiwa (2018).