Cerpen Ubaidillah
Pesantren ini ternyata lebih ruwet dari yang kubayangkan. Ia bukan sekadar tempat menetap dan menimba ilmu bagi sekumpulan manusia. Ada cerita magis yang tersembunyi, rahasia yang ditutupi, tragedi yang dibungkam rintihnya, dan hukum yang amburadul. Dan jangan lupa biang keladi di balik semua itu. Ya, siapa lagi kalau bukan santri-santrinya. Merekalah yang membuat semua hal sederhana menjadi rumit seperti alur cerita sinetron. Tapi, meski semua itu sudah cukup memabukkan, ada satu hal yang sudah ruwet, menjengkelkan pula. Mari kita menyebutnya: celoteh ibu-ibu.
Aku mungkin sudah profesional sebagai pendosa. Tapi sebagai pengurus pesantren, aku masih amat hijau. Aku baru dilantik satu bulan lalu, dan sudah disodori tanggung jawab merawat seratusan santri tingkat akhir yang kelakuannya liar. Agar tidak terkesan bahwa pernyataanku ini melebih-lebihkan, mari kuceritakan pengalamanku mengurus mereka selama satu bulan ini.
Minggu pertama, hari pertama, aku memperkenalkan diri. Aku menyampaikan pentingnya taat pada peraturan pesantren dan menuruti perintah guru, atau dalam bahasa pesantren, sam’an wa thoatan. Kebanyakan dari mereka mengangguk-angguk, entah mendengarkan entah mengantuk. Tapi dilihat dari sikap mereka, kelihatannya kepengurusanku ini akan mudah. Esoknya, siapa sangka keamanan memergoki tiga anak merokok dalam kamar saat tengah malam. Mereka dicukur gundul dan dihukum membaca Al-quran sambil berdiri di lapangan selama tiga jam. Anehnya, mereka hanya tampak susah saat dihukum saja. Usai hukuman, usai pula penyesalan mereka.
- Iklan -
Minggu kedua, beberapa anak rewel padaku minta pulang.
“Aku sakit, Mas. Badanku gatal-gatal dan sebagian sudah bernanah. Ya Allah, cobaan apalagi ini?”
“Itu namanya gudiken, sudah normal di kalangan santri,” Jawabku menjelaskan.
“Tapi ini beda, Mas! Nanahnya berwarna putih!”
Kutinju pundak anak itu. Memangnya ada nanah berwarna merah muda?
“Aku demam dan batuk-batuk, Mas. Sudah berobat ke klinik pesantren tapi obat mereka sama sekali tidak menyembuhkan. Mungkin karena memberinya tidak ikhlas,” keluh Faris, santri yang cukup pintar di asrama.
“Itu bukan karena tidak ikhlas, tapi karena kamu meminumnya dengan keyakinan bahwa obat itulah yang menyembuhkanmu, bukan Allah,”
“Ya sudah, berarti aku akan yakin bahwa Allah yang menyembuhkanku di rumah nanti,”
“Lo, kenapa tidak di sini saja kalau yakin?”
“Hmm. Karena pesantren ini tidak meyakinkan,”
Lalu Faris sudah lari menghindar sambil tertawa-tawa sebelum sempat kuberi tinju. Memang bila dibanding anak-anak lain, kecerdasan Faris lebih unggul, jadi cara dia mengkritik pesantren ini sedikit lebih berkelas. Faris juga rajin menghapal nazam, tipikal anak pesantren yang sudah mendapat hidayah.
“Aku mencret-mencret, Mas. Sudah tiga hari. Jujur, kalau tidak sakit sebenarnya aku lebih suka di pesantren, Mas,”
“Sungguh-sungguh sakit?” selidikku.
“Asli, Mas. Kalau Mas tidak percaya boleh ikut aku ke toilet besok setelah Subuh. Aku bisa membuktikannya.”
Dibutuhkan kesabaran ekstra untuk menjawab rengekan itu satu per satu—apalagi meladeni mereka yang tidak sakit tapi memaksakan diri untuk sakit agar bisa pulang. Aku hanya akan mengizinkan santri yang sakit pulang bila sakitnya sudah sedemikian jelas, dan ia tampak menderita karenanya. Bila ada yang mengaku sakit padaku tapi masih bisa cengengesan, berarti ia belum menderita. Haram baginya dibuatkan surat pulang.
Siapa sangka sikapku ini membuat mereka memberontak. Sebagian dari mereka pulang dengan melompati pagar belakang pesantren. Beruntungnya—atau sial bagi mereka—keamanan berhasil menangkap basah mereka saat hendak mencegat bus. Malam itu juga mereka digiring ke kantor pesantren untuk disidang.
“Mengapa pulang lewat pagar belakang?” tanya Iman—ketua pengurus keamanan.
“Sakit, Mas,”
“Wah, sakit, tapi bisa lompat dari pagar belakang yang tingginya dua meter lebih? Hebat, ya,”
“Biasa saja, Mas,” ujar santri itu merendah.
Akhirnya ia digundul dan disuruh membaca Al-quran selama 3 jam.
Minggu ketiga, alat-alat kebersihan di asrama rusak. Gagang sapu dan pel patah, pengki kayu terbelah jadi dua, kemoceng lenyap entah ke mana. Baiklah, dari kas asrama kubelikan mereka beragam alat-alat kebersihan, yang harganya mahal sekalian, biar awet. Tidak lupa, sebelum kuserahkan, kuberi mereka semacam briefing kecil-kecilan.
“Jadi, cara penggunaan sapu ini diayunkan ke lantai yang kotor, pelan-pelan saja. Kemudian, arahkan sampah-sampah itu ke dalam pengki, setelah itu angkat dan buang ke keranjang sampah. Mudah, kan? Nah, kalau penggunaan kemoceng..,” panjang kali lebar aku menjelaskan. “Paham, kan?”
Sebanyak seratus santri mengangguk, entah paham atau mengantuk. Tak ada yang mengira kalau minggu berikutnya dua gagang sapu sudah patah lagi, dan satu ember pecah jadi tiga. Di minggu ini jugalah, minggu keempat, aku berkenalan dengan celoteh ibu-ibu. Apa yang terbetik di benakmu saat pertama kali berkenalan dengan orang asing? Tentu kau akan tersenyum ramah, bukan? Kau akan menyebut nama dan asal, lalu tertawa kecil pada cerita-cerita yang ia buat. Tapi perkenalanku dengan ibu-ibu ini lebih mirip seperti pertemuan antara pendosa dan malaikat penghitung amal. Mereka akan menanyakan bagaimana hapalan nazam anak-anaknya, bagaimana kebersihan kamar anak-anaknya, bagaimana makan anak-anaknya. Kupikir awalnya hanya perlu menjawab iya dan selesai urusan.
Ternyata tidak semudah itu. Mereka meminta bukti berupa foto.
Awal-awal aku menurut, sesempat mungkin kupotret dan kulaporkan kegiatan anak-anak lewat grup WhatsApp. Malaikat-malaikat itu senang sekali, akhirnya bisa menyaksikan buah hati mereka beraktivitas di pesantren. Mereka memujiku dengan beragam pujian, dan menyampaikan terima kasih berkali-kali. Sehari aku tidak mengunggah foto, mereka akan bertanya dengan nada menagih. Entah kenapa sejak itu aku berpikir bahwa foto-foto yang kukirim seperti narkoba bagi mereka. Menyenangkan, tapi berbahaya—karena secara tidak langsung itu membuat mereka ketagihan. Akhirnya, setelah mempertimbangkan banyak hal, kuputuskan untuk tidak melaporkan kegiatan terlalu sering di grup WhatsApp. Setiap pertanyaan yang bernada meminta foto tidak kutanggapi, sampai akhirnya tidak ada yang bertanya lagi.
Di bulan kedua menjadi pengurus dari santri-santri yang ajaib, aku juga ikut mengalami hal yang ajaib. Tak ada angin tak ada hujan, seorang ustaz pesantren yang sudah senior tiba-tiba menghubungiku. Ustaz Haqqi namanya. Beliau bertanya apakah aku punya nomor WhatsApp selain yang kupakai selama ini. Karena memang punya dua nomor WhatsApp, satu untuk komunikasi dengan teman-teman dan satu untuk bisnis. Aku mengiyakan.
“Saya minta nomormu yang untuk bisnis itu, ya. Saya mau tunjukkan kamu sesuatu,”
Jujur, selain kepentingan bisnis aku tak pernah membagikan nomorku yang ini pada orang-orang. Tapi karena yang meminta ini Ustaz Haqqi, dengan sungkan bercampur was-was akhirnya kuberikan.
Lima menit kemudian, nomor bisnisku itu masuk ke dalam grup WhatsApp bertajuk “Celoteh Ibu-Ibu”. Ustaz Haqqi yang memasukkanku. Beliau juga yang menyapaku lebih awal.
“Selamat datang di grup gibah ini, Bu Nikmah,” tulisnya. Tidak lama kemudian ada tanggapan.
“Bu Nikmah? Ada santri baru lagi, ya?” balas seorang tak lama setelah itu.
“Iya, Bu. Namanya Akbar. Bu Nikmah ini ibunya,” balas Ustaz Haqqi.
Kemudian grup menjadi ramai oleh tanggapan. Sebagian kecil perkenalan, sebagian besar tentangku.
“Salam kenal, Bu Nikmah. Bagaimana, Bu, sudah bertemu Kang Fuad? Dia menggemaskan, bukan? Hehehe,”
“Owalah, Kang Fuad yang super sibuk itu, ya?”
“Bukan super sibuk, Bu. Tapi super menyibukkan diri! Hehehe..,”
“Ibu-ibu, Kang Fuad itu bukannya sibuk atau menyibukkan diri, ya. Kang Fuad memang sudah tidak bisa lagi kita harapkan. Berharap Kang Fuad becus mengurus anak-anak kita, ibarat mengharapkan tukang besi bisa membuat kue yang enak,”
“Gosong, dong, Bu! Hehehe..,”
“Tidak hanya gosong, Bu. Sudah gosong, sangit pula!”
“Hehehe..,”
“Cobalah bertemu Kang Fuad sekali, Bu Nikmah. Dijamin kapok! Hehehe,”
“Hus, jangan ditulis di sini, Bu. Tidak enak dibaca Ustaz Haqqi. Hehehe,”
Aku hanya tersenyum kecil membaca tulisan ibu-ibu itu—meski, tentu saja, ada bagian dalam hatiku yang perih bak diiris sembilu. Aku memancing mereka untuk bicara lebih banyak.
“Saya belum bertemu dia, Ibu-ibu. Memang Kang Fuad itu seperti apa, ya? Untuk pegangan kalau saya bertemu dengannya,” tulisku di grup.
Dan gibah pun berlanjut, lancar sekali.
“Oh, orangnya seperti manusia biasa, kok, Bu. Bedanya, manusia biasa organnya lengkap. Kalau Kang Fuad, semua lengkap, kurang hati tok. Hehehe,”
“Oh ya, dan jangan lupakan kalau dia cuek setengah mati, Bu. Masa kemarin saya tanya kondisi anak saya yang sakit, dia hanya menjawab pendek-pendek. Tempo hari saya juga hendak membawa pulang anak saya karena ada reuni keluarga, pesan saya tidak kunjung dibalas. Padahal statusnya online, lho! Sebel saya!”
“Itu belum seberapa, Bu. Bayangkan, minggu lalu saya datang langsung ke pesantren untuk mengizinkan anak saya pulang. Acaranya bahkan lebih penting, Bu, anak dari kakak kandung saya menikah. Setelah bertemu, Kang Fuad setengah bercanda setengah meledek bilang,
‘Memang kalau anak Ibu ini tidak pulang, pernikahannya batal?’
Saya hanya ikut tertawa, meski hati saya jengkel luar biasa. Untung akhirnya anak saya diizinkan pulang. Coba kalau tidak diizinkan, sudah mencak-mencak saya,”
“Oh, jadi Kang Fuad itu pengurus yang ketat, ya? Bukannya malah bagus?” tulisku lagi.
“Lho, Bu Nikmah jangan langsung menyimpulkan begitu sebelum bertemu. Tidak semua yang ketat itu bagus, lho, Bu. Baju-baju ketat dalam Islam, kan, dilarang. Hehehe..,”
Aku tidak bisa menahan tawaku. Ibu-ibu ini sungguh menghibur.
“Iya, Bu. Benar sekali. Ibu harus bertemu dahulu, Kang Fuad itu…, bagaimana, ya, uniklah orangnya.”
Tiba-tiba sebuah panggilan masuk. Ustaz Haqqi. “Halo, Ustaz?”
“Bagaimana, Kang? Sudah lihat-lihat grupnya?”
“Sudah, Ustaz,”
“Jangan diambil hati, ya. Yang jadi pengurus, kan, kamu. Yang lebih tahu kepengurusanmu ya kamu sendiri. Ibu-ibu itu hanya menilai yang terlihat saja,”
“Iya, Ustaz,”
“Saya memasukkanmu ke grup itu, supaya kamu tahu betapa mereka berharap banyak padamu. Asal kamu tahu saja, ada banyak cerita sebelum orang tua menaruh anaknya di sini. Sebelum memasuki gerbang pesantren, bisa jadi anak mereka mencuri ayam dan ketahuan warga. Bisa jadi mereka minum arak dan pulang saat masih mabuk. Bisa jadi mereka bermain wanita dan tertangkap basah saat hendak buka baju,”
Aku tertawa kecil. “Yang benar saja, Ustaz. Anak-anak yang saya urus ini masih kelas sembilan—”
“Lalu kenapa? Zaman sekarang, anak di bawah umur saja bisa jadi pelaku kejahatan, Kang. Masa kamu tidak pernah baca berita? Ada anak kecil menembak orang tuanya hanya karena tidak dibelikan mainan. Ada lelaki berumur dua belas tahun tapi sudah menusuk temannya sendiri hanya karena masalah sepele. Saya tidak bermaksud menakut-nakutimu, tapi inilah yang terjadi di luar sana, dan mungkin saja terjadi di pesantren kita.”
Aku terdiam sejenak. “Iya, Ustaz,”
Entah kenapa kata-kata Ustaz Haqqi mengusik pikiranku, sampai malam ini. Bukan bagian perbuatan anak kecil itu yang kupusingkan, tapi tentang betapa para ibu-ibu itu berharap banyak padaku. Mereka menitipkan putranya di pesantren dengan tujuan mulia. Ada masa depan dan harapan besar yang mereka pertaruhkan di sini. Dan karena yang mereka tahu sosok yang paling bertanggung jawab atas keseharian mereka hanya aku, maka jadilah mereka menyerbuku dengan beragam pernyataan dan pertanyaan. Sangat mungkin grup “Celoteh Ibu-Ibu” itu dibuat karena mereka butuh semacam samsak, tempat mereka bisa meninjuku lagi dan lagi, sepuas-puasnya, meski hanya dengan air mata dan kata-kata, karena tidak berani melayangkannya padaku secara langsung.
Pada akhirnya, terlepas dari betapa menjengkelkannya gibah mereka, aku menjadi tahu kalau santri memiliki arti yang jauh lebih luas dari yang kukira. Bisa saja seorang santri yang dalam pesantren ini lebih banyak tidurnya dibandingkan meleknya, telah ditunggu oleh madrasah diniah di desanya yang kekurangan tenaga. Bisa saja santri yang begitu pemalas di pesantren ini, tengah dinantikan oleh kedua orang tuanya yang masih awam soal agama. Aku menghela napas. Sepertinya baru sekarang aku benar-benar paham mengapa kiai bilang momong santri itu amanat yang mulia, namun juga berat di saat yang sama. Apa boleh buat, mulai hari ini aku harus lebih sungguh-sungguh membimbing para santri yang kelakuannya neko-neko itu. Mereka mungkin belum tahu betapa banyak harapan yang digantungkan pada mereka, tapi lambat laun, aku yakin mereka akan tahu dengan sendirinya. Aku hanya perlu berusaha semaksimal mungkin untuk menemani mereka. Itulah yang bisa kulakukan untuk membantu mereka.
***
Setelah tiga hari bergabung dengan grup yang semangat sekali menggosip tentangku itu, hari ini kuputuskan keluar dari grup. Tentu keputusan ini sudah kupikir masak-masak. Yang penting aku sudah tahu inti keluhan mereka dan berusaha mengevaluasi kinerjaku sendiri pelan-pelan. Toh, aku sudah tahu siapa saja yang paling gencar bicara tentangku di grup itu. Ada Bu Dea, Bu Ikma, dan Bu Putri. Kalau jemari mereka bertiga sudah menari di atas ponsel pintar masing-masing, grup akan gegap gempita. Gibah tentangku bisa amat lancar, seperti jalan bebas hambatan pada malam hari.
“Bu Dea, apa Ibu tahu bedanya Bu Dea dengan Kang Fuad?” tulis Bu Putri suatu hari.
“Apa itu, Bu Putri?”
“Kalau sampean, diejek sedikit lapor suami. Kalau Kang Fuad dihujat sedikit lapor Kiai. Hehehe,”
Lalu untuk lima menit selanjutnya grup dipenuhi emoticon tertawa sampai menangis, semetara aku yang membacanya hanya bisa meringis.
“Hehehe, Bu Putri bisa saja. Tapi Bu Putri sendiri apa sudah tahu ada bedanya Bu Putri dengan Kang Fuad?” Bu Ikma menanggapi.
“Aduh, kalau itu saya belum tahu. Memangnya apa, Bu Ikma?”
“Kalau Bu Putri makan sedikit tapi tidak gemuk-gemuk, kalau Kang Fuad makan sedikit langsung gemuk. Kenapa begitu, soalnya yang dimakan hati kita!”
“Hmm. Itu sebenarnya menjijikkan, Bu. Tidak lucu. Tapi bolehlah dihargai. Hahaha, ayo tertawa, ibu-ibu!”
Dan emoticon terbahak-bahak kembali mewarnai grup. Aku menghela napas. Kalau aku jadi samsak gantung, para ibu itu petinju, dan kata-kata mereka adalah bogem mentah, maka aku sudah jatuh dan remuk akibat tinjuan tiga ibu aktivis itu. Jadi sebelum aku terjatuh sendirian, lebih baik aku keluar, menghilang dari grup terkutuk itu, dan menjalani hidupku sebagaimana biasa. Dengan begitu mereka tetap bisa meninjuku berkali-kali, dan aku tak perlu lagi merasakan perihnya.
***
Bulan kedua menjadi pengurus, sebuah persoalan ajaib melanda asramaku. Kali ini aku geram bukan kepalang. Aku mungkin tidak begitu peduli dengan mereka, tapi pengurus mana yang tidak panas kupingnya mendengar santri yang ia urus kehilangan uang dengan nominal fantastis? Detik di mana aku selesai diceritakan bagaimana kejadiannya oleh seorang santri, detik itu pula aku bergerak, mengumpulkan anak-anak.
“Siapa yang ambil?” tanyaku tanpa basa-basi.
Seratus anak menatapku kebingungan.
“Siapa yang ambil uang Hadi?”
Kuperjelas pembahasan malam ini.
Seratus anak masih kebingungan. Mereka saling pandang, seperti ingin mencari tapi tak bisa, ingin menunjuk tapi tak kuasa.
“Baik,” ujarku tak sabar. “Mari buat singkat pertemuan ini. Kuhitung sampai sepuluh, kalau tidak ada yang mengaku juga, semua santri di asrama Umar Al-Faruq ini digundul dan disowankan ke Kiai!”
Seketika kamar tempat santri-santri ini duduk gaduh. Tentu banyak yang tidak terima, bagaimana bisa hanya satu yang mencuri, tapi semua dihukum? Tapi aku tidak lagi mendengarkan mereka.
“Sepuluh,” aku mulai menghitung.
“Mas, yang mencuri adalah Jati!”
“Enak saja, jaga omonganmu, Sam!”
“Mengaku saja, Jat!”
“Enak saja, aku hanya akan mengakui cintaku kalau sudah ada orang yang tepat!”
Kubanting tongkat yang kupegang keras-keras. “Sekali lagi ada yang bercanda, remuk mukanya!”
Anak-anak di hadapanku seketika menunduk. Kamar ini mendadak terasa lebih pengap. Cahaya perak bulan menyelusup dari celah-celah jendela, tapi tidak ada sepoi angin sejuk yang biasa menerpa tengkuk. Leherku berkeringat, tanganku juga.
Aku tersenyum, mari kita lihat sampai hitungan berapa pencuri ini sanggup mempertahankan rambut dan martabat teman-temannya.
“Sembilan!”
“Delapan!”
“Tujuh!”
“Mas, pelakunya adalah Aryo!”
Seorang santri menuding seseorang. Yang ditunjuk gelagapan.
“Enak saja! Aku ini anak orang kaya! Mana ada ceritanya orang kaya mencuri uang?!”
“Ada. Koruptor itu, kan, terus mencuri walau sudah kaya! Nah, kau cita-citamu jadi politisi, kan? Mengaku saja kalau kau mau latihan korupsi!”
Aku hampir saja tertawa saat tiba-tiba seorang santri yang lain berdiri.
“Aku pelakunya, Mas,” katanya datar.
Semua mata seketika memandang ke sumber suara, lalu terkesima untuk beberapa saat. Aku sendiri tidak ingin mempercayai pendengaran dan penglihatanku.
“Faris?” spontan mulutku menyebut namanya. Mana mungkin anak ini mencuri? Tidak mungkin, dia pasti hanya ingin menyelamatkan kawan-kawannya. Faris ini anak baik!
“Tidak mungkin. Ayo yang mencuri segeralah mengaku! Jangan sampai Faris mengorbankan diri hanya karena sikap pengecut kalian!”
“Aku pelakunya, Mas. Aku mencuri uang Hadi saat jamaah salat Magrib tadi,”
“Tidak mungkin! Kamu anak baik, Ris!” Teriakku, entah marah pada siapa.
“Makanya aku mengaku, Mas. Aku jujur,” Faris tersenyum. Aku kehilangan kata-kata.
***
Faris memang pelakunya. Ia mencuri uang karena sejak kelas satu sanawiah, tiga tahun lalu, Hadi punya utang padanya, tapi tidak kunjung dibayar sampai sekarang, padahal kemarin Faris sedang butuh uang untuk membeli hadiah ulang tahun ibunya. Salah satu adat pesantren yang cukup manis adalah masalah uang yang tidak terlalu diambil pusing. Saking manisnya sampai membuat seseorang gemar menabung utang, bukannya uang.
Keputusanku dan keamanan, Faris tetap digundul. Tapi Faris tidak mengganti rugi karena ia mencuri jumlah uang pas dengan jumlah utang Hadi padanya tiga tahun lalu. Orang tua Faris dipanggil untuk menandatangani surat perjanjian. Dan betapa terkejut aku saat tahu bahwa orang tua Faris ternyata salah satu penghujatku di dunia maya.
“Apa kabar, Ustaz? Ya Allah, kok tampak kurusan saya lihat,” manis sekali ia menyapa.
“Hehe, alhamdulillah baik, Bu Ikma. Bagaimana, urusan Faris sudah beres?”
“Sudah, Ustaz. Sudah saya marahi, surat peringatannya juga sudah saya beri tanda tangan. Oh iya, Ustaz, saya boleh tanya sesuatu?”
“Tentu, Bu,”
“Kemarin apa ada santri baru di asrama? Namanya Akbar kalau tidak salah. Walinya bernama Bu Nikmah. Ustaz ingat?”
Aku menahan tawa. “Ah, iya, ingat, Bu. Ada apa?”
“Anaknya boyong, ya, Ustaz? Kok tempo hari Bu Nikmah masuk di grup perkumpulan ibu-ibu, jarang komentar, eh tiba-tiba keluar begitu saja. Apa Akbar ada masalah, Ustaz?”
“Oh, iya, Bu. Katanya ia tidak tahan dengan celoteh ibunya yang menuntut macam-macam. Ingin inilah, harus itulah. Maklumlah, Bu. Namanya juga celoteh ibu-ibu, banyak maunya. Mari, saya permisi,”
Kutinggalkan Bu Ikma yang terlihat memerah mukanya, entah dibakar sinar matahari atau rasa malu. Saat sudah cukup jauh, aku berhenti dan tertawa sekeras-kerasnya. Ha! Ha! Ha!
***
*UBAIDILLAH, lahir di Jember, 2 Agustus 2001. Beralamat di Desa Kayen Kidul, Kecamatan Kayen Kidul, Kabupaten Kediri. Ia telah menekuni dunia literasi sejak masih di bangku madrasah, dan telah menulis beberapa karya yang dimuat di majalah pesantrennya, Al-Fikrah. Dapat disapa di media sosial: Ubaidillah El-Qoyz (Facebook), atau elqoyz1 (Instagram), atau lewat email: elqoyz1@gmail.com