Oleh Setyaningsih
Judul: Momong: Seni Mendidik Anak
Penulis: Arif Saifudin Yudhistira
Penerbit Perisai Pena
Cetak: Pertama, Februari 2021
Tebal: xx+92 halaman
ISBN: 978-623-96440-0-0
Tentang jalinan pengasuhan, saya mengingat kisah ini. Ibu kepiting dan anak kepiting berjalan di pesisir pantai. Percakapan menggembirakan tiba-tiba digantikan protes ibu kepiting yang kecewa dengan cara anak berjalan. Ibu kepiting ingin anak berjalan ke depan seperti hewan lain, bukannya berjalan mundur. Anak kepiting agak kaget dan menjawab, “Tetapi Ibu, aku belajar berjalan dari Ibu. Aku berjalan seperti engkau sendiri. Jika Ibu menginginkan aku berjalan ke depan, Ibu sendiri harus berjalan ke depan” (50 Cerita Bijak diceritakan kembali oleh Cosmas Fernandes, 1996).
Sering, tidak mudah menerima kebenaran yang diucapkan oleh kejujuran anak. Dari orangtua, seorang anak melihat, menduplikasi, mengafirmasi tindakan dan sikap. Sebaliknya, seseorang tidak merasa terlalu perlu belajar menjadi orangtua, menjadikan anak yang melahirkannya sebagai orangtua sebagai sumber pengajaran. Dalam status sebagai guru sekaligus bapak, Arif Saifudin Yudhistira menulis buku pengasuhan Momong: Seni Mendidik Anak (2021). Ia menjadikan pengalaman biografis keseharian sebagai pijakan menuliskan perkembangan dan pertumbuhan anak. Arif menulis, “dari pengalaman yang saya temui, masih saja orangtua memudahkan urusan pengasuhan anak […] Memberikan kebutuhan pokok lahirian dan batiniah anak kita adalah hal pokok dalam pengasuhan. Selain itu, pengasuhan anak kita juga tidak terlepas dari persoalan pendidikan orangtua mereka.”
- Iklan -
Esai-esai Momong bisa dianggap terbagi dalam dua hal: peristiwa biologis dan peristiwa pengasuhan. Memijak ruang keluarga sebagai tempat belajar paling utama ke ruang-ruang di sekitar anak, seperti sekolah dan ruang (publik) terbuka, untuk merawat kebutuhan lahir dan batin. Di esai “Aspek Jasmani Anak-anak Kita” misalnya, Arif menulis, “dalam masa-masa mendatang, halaman bermain yang luas akan menjadi krisis bersama karena persoalan ruang belajar yang makin menyempit.” Masalah teknis gedung, luas tanah, biaya pembangunan, pembelian cat, atau pembuatan gambar di dinding lebih rumit daripada pengajaran atau rencana pendidikan .
Dulu, gagasan tentang alam bukanlah sesuatu yang diciptakan atau ada setelah anak-anak. Namun, alam ruang yang telah ada (didiami) anak-anak. Ki Hadjar Dewantara (Pendidikan, 1962¬) ketika merancang pendidikan usia di bawah tujuh tahun atau Taman Indria, pembebasan gerak dan bermain bersifat kultural. Di sekolah, anak tidak terkungkung dalam ruang untuk bergerak. Setiap peristiwa adalah belajar merasa, mengenali sekitar, berteman, mengolah batin dan raga. Keseharian disokong oleh alam sangat bertaut dengan lahir batin anak, “Bagaimana mereka bermain-main dengan anak-anaknja, membuat barang-barang dari kaju, bidji-bidji jang bermatjam-matjam, tangkai padi, gelagah, djanur, daun-pisang dan mending, lidi, rumput dll.sebagainja. Bagaimana para ibu-ibu menuntun adak-anaknja bernjanji dan menari (walaupun hanja menggerak-gerakkan tangan dengan wirama), melagukan teka-teki dengan lagu Potjung, menggambar ditanah, meniru gambar batik atau gambar wajang, mengutas bunga melati, menur, mawar, kantil dll. kembang setaman.”
Ruang-ruang rumah hampir selalu dirancang untuk orang dewasa. Ada tata aturan berlaku di setiap ruang. Anak mendapatkan kamar sendiri ketika memasuki usia remaja. Di sana ada keleluasaan, tapi tetap ada intervensi dari orangtua. Avianti Armand (2017) membabarkan mengatakan sebagus apa pun ruang didesain, ia tetaplah imitasi yang lemah dari alam. Sebaliknya Avianti mengatakan, “seburuk apa pun, alam adalah role model ruang terbaik untuk perkembangan anak.”
Di kampung sore, waktu makan bagi anak bisa menjadi semacam piknik atau pelepasan. Sambil mendulang, anak-anak bersepeda, jalan-jalan, berlari, atau berkumpul dengan bocah sebaya. Atau di akhir pekan, keluarga memilih mengajak anak piknik ke sawah atau tempat-tempat yang masih memiliki pepohonan. Inilah waktu singkat dan ruang tetap saja terbatas, mereka menemukan dunia di luar rumah (ruang) dewasa seperti dimaksudkan Arif dalam esai “Kebutuhan Ruang Terbuka Anak”.
Sejak tahun 70-an, semakin banyak buku pengasuhan-psikologi anak diterbitkan, terutama dalam semangat pencarian identitas nasional. Salah satu buku dieditori oleh Kartini Kartono (CV Rajawali, 1985) menghimpun tulisan dari para psikolog, pemerhati anak, akademisi, dari persoalan moral, berbahasa, rumah sebagai ruang belajar, pendidikan seks, sampai pergaulan remaja. Pendidik dan penulis masalah pendidikan, Soepartinah Pakasi, menulis satu buku utuh berjudul Anak dan Pekembangannya: Pendekatan Psiko-Pedagogis terhadap Generasi Muda (Gramedia, 1981). Buku membentang dari pendidikan taman kanak-kanak, perkembangan jiwa anak, prestasi di sekolah, dan pembacaan masa remaja. Sejak penemuan masa kanak dan penegasan ilmu psikologi (anak), masa kanak menjadi begitu krusial untuk dibabarkan.
Momong: Seni Mendidik Anak menjadi lanjutan referensi kecil pengasuhan. Penulis memang belum banyak mengambil contoh peristiwa yang didetailkan secara naratif. Argumentasi lebih dibabarkan dalam bentuk penjelasan dan langkah-langkah. Namun keputusan menuliskan dan membagikan pengalaman diri sebagai laki-laki dan bapak, pengasuhan secara otoritatif tidak dibebankan kepada perempuan atau ibu.
-Setyaningsih, Esais dan penulis Kitab Cerita (2019)