Judul: Kisah Nyeleneh Para Kekasih Allah
Penulis : Mukhammad Lutfi
ISBN: 978-623-94916-6-6
Cetakan : I, April 2021
Tebal: 13 x 19 cm, xviii + 196 Halaman
Diterbitkan: Alif.id
Peresensi: Muhammad Zulfan Masandi
Dalam pembukaan pengajian Kitab Syiyarus Salafis Salihin (kitab tentang biografi ulama salaf), KH. Musthofa Bisri atau Gus Mus mengatakan, “membicarakan orang-orang saleh itu mampu menurunkan rahmatnya Allah Swt”. Selaras dengan apa yang dikatakan oleh kyai asal Rembang, Jawa Tengah itu, penulis menukil maqolah yang pernah disampaikan oleh Sufyan bin Uyainah, “bahwa setiap ingatan kita tentang orang-orang saleh, dimungkinkan rahmat Allah turun menyertainya.” Maqolah itu pula yang penulis gunakan untuk mengawali kata pengantar dalam bukunya.
Bagi para pemegang syariah “garis lurus”, tindak-tanduk para kekasih Allah (waliyullah) sering kali hanya mengundang tanda tanya, bahkan tak jarang dihukumi “menyimpang”. Namun bagi para ahi hikmah, perilaku “nyeleneh” adalah tanda kekusasaan Allah yang penuh hikmah dan mutiara. Buku Kisah Nyeleneh Para Kekasih Allah adalah buku pertama Mukhammad Lutfi yang baru terbit kisaran bulan April 2021. Buku setebal 196 terbitan Alif.Id ini berisi 50 kisah pelaku sufi yang –menurut orang awam- bisa dibilang aneh.
Lima puluh kisah para sufi dalam buku ini merupakan hasil adaptasi atau terjemah dari kitab-kitab yang menggambarkan laku hidup para kekasih Allah atau waliullah yang bersumber pada tiga kitab utama, yaitu Kitab Hilyatul Auliya’ karya Abu Nu’aim al-Asfahani (w. 430 H), Tadzkiratul Auliya’ karya Fariduddin al-‘Attar (w. 627 H), dan Thabaqatus Sufiyah karya Abu Abdurrahman al-Sulami (w. 412 H).
- Iklan -
Latar belakang penyusunan buku ini, dipaparkan oleh penulis pada awal-awal buku, tepatnya di bagian kata pengantar. Pada bulan Ramadan 1441 H (2020), penulis diminta (dalam buku menggunakan kata “diprovokasi”) Hamzah Sahal, founder Alif.Id untuk menulis di rubrik “sajian khusus” selama bulan Ramadan di Alif.Id. Setelah sepakat, penulis yang awalnya hanya sanggup menyusun tiga hingga empat kisah tentang sufi ini melanjutkan proyeknya itu hingga Desember 2020. Sampai akhirnya 50 kisah terkumpul dan dibukukan.
Saya akan mengambilkan beberapa contoh kisah dalam buku ini. Kisah kesebelas, Ibrahim bin ‘Adham, Menjadi Petani Gandum saat Ramadan. Dikisahkan, Ibrahim bin ‘Adham adalah sufi yang pekerja keras lagi wira’i (menjaga diri dari perkara yang haram atau pun tidak jelas kehalalalnnya).
Bahkan demi menjaga perutnnya dari barang-barang syubhat, ia sempat makan tanah selama 20 hari.
Dikisahkan pula bahwa Ibrahim bin ‘Adham pernah selama sebulan penuh, siangnya ia mengarit gandum, sedangkan malamnya sibuk beribadah. Selama sebulan juga, ia tidak pernah tidur baik siang atau pun malam.
Pada kisah yang lain, suatu ketika di bulan Ramadan ada seseorang yang mengajak Ibrahim bin ‘Adham untuk melaksanakan puasa ‘asyru al-awakhir, 10 hari terakhir bulan Ramadan di Madinah dengan harapan mendapatkan lailatul qadar. Namun ajakan itu ditolak mentah-mentah oleh Ibrahim bin ‘Adham. Ia pun lantas menyarankan orang yang mengajaknya ke Madinah tadi untuk mengurungkan niatnya. “Kamu tidak usah ke Madinah, tetaplah di sini bertani gandum dan beramallah dengan sungguh-sungguh, niscaya kau akan bertemu dengan lailatul qadar setiap malam.”
Begitulah kiranya sedikit kisah ihwal Ibrahim bin ‘Adham, seolah ia mengajarkan kepada kita bahwa laku sufi tak hanya bisa ditempuh melalui ibadah-ibadah saja, melainkan bekerja sungguh-sungguh juga berpotensi mendapatkan ridho-Nya, syukur-syukur bisa wusul kepada-Nya. (Hal. 41).
Contoh lain, dalam kisah ketiga belas, Sari al-Saqati, Mengucap Hamdalah di Waktu yang Salah. Dikisahkan Sari al-Saqati adalah pedagang di suatu pasar yang tidak rakus dalam mengambil untung. Ia dikenal sufi yang men-dawam-kan atau melanggengkan zikir “alhamdulillah”.
Suatu ketika kebakaran besar terjadi di pasar Baghdad, tempat ia berdagang. Api yang begitu besar berhasil melahap banyak lapak para pedagang di pasar itu. Di tengah para pedagang yang bingung dan bersedih akibat musibah itu, Sari al-Saqati malah berkata, “Alhamdulillah, mulai sekarang aku bebas dari harta bendaku.”
Namun, tak begitu lama, Sari al-Saqati menyadari kalau ucapan alhamdulillah-nya di tengah kesedihan para pedagang yang belum siap kehilangan harta bendanya itu kurang tepat. Ia pun dihingapi rasa sesal yang amat mendalam atas ucapan alhamdulillah-nya itu.
Ternyata nasib baik berpihak pada Sari al-Saqati. Lapaknya selamat dari santapan si jago merah. Ia pun menyedekahkan semua yang ada di lapaknya itu kepada fakir miskin, termasuk rekan-rekannya sesama pedagang. Ini ia lakukan untuk menebus kesalahannya yang telah ia lakukan ketika terjadi kebakaran tadi.
Sejak itu hingga kurun waktu tiga puluh tahun berikutnya, Sari al-Saqati yang merasa bersalah dan menyesal telah mengucapkan hamdalah di tengah musibah yang dialami rekan-rekan berdagangnya, berganti mengistikamahkan terus-menerus zikir istighfar, astaghfirullahal’adzim.
Dari kisah ini bisa dipahami bahwa tidak semua pelaku sufi hanya melulu melakukan uzlah atau menyendiri dan fokus ibadah mahdhah saja. Akan tetapi juga bisa kita dapatkan dengan ibadah sosial, dengan sesama manusia. Seperti kisah barusan, Sari al-Saqati senantiasa berzikir kepada Allah meskipun sedang berdagang. Ia pun juga tidak besar kepala. Ia memahami akan perasaan saudaranya yang terkena musibah, membantu mereka, mengakui kesalahannya serta bertekad memperbaiki kesalahannya. (Hal. 48).
Adapun kisah yang menurut saya paling nyeleneh dalam buku ini adalah kisah ketujuh belas, Abu ‘Abdillah al-Jalla, Minta Dihibahkan untuk Allah. Suatu ketika Abu ‘Abdillah al-Jalla berkata kepada ibu bapaknya, “Aku ingin ibu dan bapak menghibahkanku kepada Allah.” Pinta Abu ‘Abdillah al-Jalla kepada kedua orang tuanya. Mendengar permintaa sang anak, akhirnya ibu dan bapak Abu ‘Abdillah al-Jalla mengiyakan permintaan itu. “Baiklah mulai sekarang kami menghibahkanmu kepada Allah,” ucap kedua orang tua Abu ‘Abdillah al-Jalla.
Abu ‘Abdillah al-Jalla lantas memohon izin untuk mengembara. Ia pun bergelut dalam dunia sufi dan sibuk dalam ketaatan dan mujahadah. Entah berapa lama ia mengembara, tidak disebutkan. Singkat cerita, di malam hari ia kembali ke rumah orang tuanya, malam itu hujan mengguyur begitu lebatnya. Abu ‘Abdillah al-Jalla lalu mengetuk pintu. Dari dalam terdengar, “Siapa itu?” tanya orang tua Abu ‘Abdillah al-Jalla. “Aku anak kalian,” jawabnya.
Mendengar jawaban itu, kedua orang tuanya lantas berkata, “Dulu kami mempunyai anak, namun telah kami hibahkan kepada Allah, dan kami adalah orang Arab yang tidak bakal mengambil kembali sesuatu yang telah kami hibahkan.” Kedua orang tua Abu ‘Abdillah al-Jalla pun tidak membukakan pintu rumah. (Hal. 61).
Secara keseluruhan, buku ini sangat meanrik untuk dibaca. Dalam setiap kisahnya, penulis tidak secara langsung mengajak pembacanya menikmati menu utama yang disajikan dalam buku ini, akan tetapi menyuguhkan hidangan pembuka terlebih dahulu berupa pengenalan tokoh yang akan dibahas, entah berupa daftar riwayat hidup, asal-usul penamaan, hingga sifat kesufian khas yang dimiliki. Ini menjadi daya tarik sendiri bagi buku ini dibandingkan karya-karya sejenisnya. Penulis mampu menyesuaikan materi yang ia sampaikan dengan tradisi bercerita yang populer. Ia memilih kisah-kisah yang paling dekat kemungkinannya terjadi pada zaman kita sekarang alias relevan dengan kehidupan kita sehari-hari.
Bahasa yang digunakan juga mudah dipahami dan tidak bertele-tele. Selain itu, kisah-kisah yang disajikan relatif pendek, namun tanpa mengurangi fokus utama kisah yang sedang diutarakan. Penulis juga tidak lupa mengutip beberapa quotes bernafas sufi yang lahir dari tokoh-tokoh yang sedang dibahas. Kelebihan-kelebihan buku ini membuat pembaca tidak mudah bosan ketika membacanya, bahkan bisa digunakan sebagai pelipur atau kegiatan selingan di tengah kesibukan pribadi, karena seperti yang disampaikan penulis dalam akhir kalimat kata pengantarnya, penulis berharap buku ini bisa memberikan inspirasi bagi pembaca sekalian, kalau pun tidak, ya minimal terhibur.