Oleh Hamidulloh Ibda
“Mohon izin, melaporkan hasil rapat kemarin waktu di Pemkab bersama Pak Bupati,” tulis salah satu anggota grup WA yang saya ikuti.
Di grup ini aneka ragam manusia dengan berbagai jabatan, umur dan strata sosial yang berbeda. Ternyata, mohon izin menjadi salah satu ciri khas gaya komunikasi yang menarik. Kalau bahasa teman-teman saya, mohon izin ini menjadi distingsi gaya komunikasi yang laik diteliti. Minimal dikaji.
Tak hanya di grup WA. Beberapa kali mengikuti acara seminar pun sama. “Mohon izin, saya mewakili Pak Bupati dalam seminar ini, dan saya akan membacakan naskah pidato yang sudah disiapkan.”
- Iklan -
Dalam hati saya berkelakar “mbok angger ngomong wae. Ndadak mohon izin barang leh”. Sebab, pikir saya, ini kan kelasnya pejabat yang saya kira lebih tinggi posisinya daripada audiens. Namun mengapa perlu izin?
Saat mengikuti webinar penulisanbuku juga sama.
Assalamu’alaikum. Mohon izin bertanya, untuk output penelitian sebaiknya berupa buku referensi atau buku ajar. Bagaimana mengimplementasikan buku referensi hasil penelitian dalam proses pendidikan karena setiap mata kuliah sudah mempunyai CPL masing-masing (atau buku kita arahkan sesuai CPL matakuliah) terimakasih atas masukannya. Wassalamu’alaikum.
Minggu-minggu ini pun saya mengamati kata-kata tersebut “mak sliwer” bertebaran. Saya dan sahabat-sahabat dosen dan mahasiswa harus riwa-riwi ke Polres karena ada sinergi penelitian tentang survei. Hampir semuanya ada frasa mohon izin. Khususnya dari bawahan kepada atasannya. “Mohon izin, Ndan, melaporkan surat dari lembaga……”
Batin saya “mohon izin maneh…..” Nah ini fenomena bahasa yang menarik. Beberapa masyarakat bahasa dari berbagai unsur budaya yang berbeda memilih frasa ini sebagai gaya komunikasi.
Di berbagai forum dan grup WA yang saya ikuti juga senada. Hampir semua mohon izin meski konteksnya berbeda-beda. Apakah mohon izin ini memang menjadi diksi yang pas, frasa yang bernas, atau memang memiliki tujuan antara penulis dengan pembaca, penutur dengan mitratutur, atau ada maksud lain? Bagaimana kira-kira maknanya?
Yang jelas, frasa “mohon izin” memiliki varian makna yang majemuk. Pengamatan saya tentang mohon memiliki beberapa varian makna. Dari aspek bahasa, izin intinya pernyataan mengabulkan (tidak melarang dan sebagainya) atau persetujuan membolehkan.
Dari aspek sosiolingustik, mohon izin diungkapkan di berbagai ranah masyarakat bahasa tertentu yang memiliki tujuan tertentu. Namun dalam tulisan ini saya membatasi mohon izin dalam aspek sosilinguistik. Sebab, saya lebih menekankan pada aspek gaya bahasanya saja.
Stilistika “Mohon Izin”
Dalam linguistik, stilistika memiliki makna beragam. Kushartanti, dkk, ed (2009: 232) menyebut stilistika merupakan ilmu gaya bahasa. Stilistika adalah cabang ilmu linguistik yang memfokuskan diri pada analisis gaya bahasa. Stilistika sendiri diambil dari kata dalam bahasa Inggris yakni style atau gaya dalam bahasa Indonesia.
Verdonk (2002:4) memaknai stilistika sebagai studi tentang gaya, sebagai analisis ekspresi yang khas dalam bahasa untuk mendeskripsikan tujuan dan efek tertentu. Bahasa dalam karya sastra adalah bahasa yang khas sehingga berbeda dari bahasa dalam karya-karya nonsastra.
Namun apakah stilistika sekadar dalam karya sastra. Tentu tidak. Saya tidak mau mendikotomisasi atau mengapling stilistika sekadar mengkaji gaya bahasa sastra saja. Maka saya sepakat dengan objek stilistika pada karya sastra dan linguistik.
Menurut Trask (1999: 297-298), terdapat jurang yang tidak terjembatani antara ilmu linguistik dan susastra. Kedua bidang ilmu itu saling “cuek bebek”, tidak mau saling memerhatikan. Padahal bagi saya, ada pesenyawaan yang sama antara karya sastra dan bahasa linguistik biasa.
Soal stilistika, Kridalaksana (1997: 12) membagi linguistik menjadi dua bidang besar, yaitu mikrolinguistik dan makrolinguistik. Mikrolinguistik intinya bidang linguistik yang memelajari bahasa dari dalamnya, atau dengan kata lain memelajari struktur bahasa itu sendiri. Makrolinguistik lebih pada bidang linguistik yang mengkaji bahasa dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar bahasa, termasuk di dalamnya bidang interdisiplin dan bidang terapan.
Maka sudah jelas, beberapa penulis memandang stilistika bisa dijadikan metode mengkaji gaya bahasa linguistik dan tidak sekadar gaya bahasa sastra.
Jika saya amati, gaya bahasa mohon izin itu varian. Pertama, mohon izin untuk menghaluskan makna kepada mitratutur atau pembaca. Misalnya “mohon izin, melaporkan hasil audit keuangan”. Intinya mau marah. Namun, ketika diawali dengan “mohon izin” akan menghaluskan bahasa itu meski tujuannya memarahi atau mengevaluasi.
Kedua, mohon izin digunakan sebagai prakata awal dalam sebuah komunikasi dengan gaya “merendah” atau bertujuan pada aspek “sopan”. Tentu akan berbeda suatu komunikasi diawali dengan mohon izin atau tidak. Misalnya secara langsung “Ini data mahasiswa bermasalah karena tulisannya plagiat”. Meski yang mengatakan itu kaprodi, dekan, bahkan rektor yang posisinya di atas mahasiswa tidak ada masalah. Namun ketika diawali dengan mohon izin akan terlihat sopan meski dengan bawahan. Contohnya “mohon ini data mahasiswa bermasalah karena tulisannya plagiat”.
Ketiga, gaya bahasa mohon izin sekadar basa-basi. Apapun kalimatnya yang jelas penggunaan mohon izin hanya sekadar basa-basi saja. Tanpa maksud menghaluskan atau mengarah pada kesopanan.
Keempat, gaya bahasa mohon izin sebagai bentuk hormat kepada atasan. Hal ini sangat sering terjadi pada komunitas atau pekerjaan tertentu. Misalnya seorang polisi dengan atasannya. “Izin melaporkan, Ndan. Ada dua ratus narapidana sudah tervaksin.”
Kelima, mohon izin diucapkan karena kepentingan lobi, merayu atau meminta namun akan terkesan halus ketika menggunakan frasa mohon izin. Misalnya “mohon izin, Pak, apakah boleh kami menggunakan gedung bawah untuk senam besuk pagi”.
Ketika hanya diucapkan “apakah boleh kami menggunakan gedung bawah untuk senam besuk pagi” tentu rasanya beda. Maka penggunaan mohon izin ini memang banyak digunakan untuk diplomasi maupun lobi.
Berbagai gaya bahasa pada frasa mohon izin di atas tentu tidak berlaku di suatu masyarakat bahasa yang majemuk. Bergantung objek mitratutur, kondisi sosial, psilologis, hingga ruang dan waktu yang beragam. Sebab, tidak semua orang dapat menerima frasa mohon izin dari orang yang mengucapkan atau penutur kepada mitratutur.
Masalahnya, mohon izin ini menurut saya keluar dari makna awalnya yaitu hanya memohon, menghaluskan, dan merendah saja. Namun sudah bergeser pada basa-basi bahkan lobi atau sekadar satire. Sebab, mohon itu berbeda dengan kata maaf, afwan, atau nyuwun sewu. Pasti berbeda!
Lalu, Anda termasuk bergaya yang mana? Memohon, menghaluskan, merendah, atau malau guyonan? Ya, mohon izin!
–Penulis adalah dosen Bahasa Indonesia MI/SD, Pembelajaran Sastra Anak STAINU Temanggung, mahasiswa Program Doktor UNY.