Oleh Hilal Mulki Putra
Beberapa waktu yang lalu kita digegerkan dengan seorang muallaf yang digelari ustaz yang berbicara dengan lantang bahwasannya ia telah menabrak seekor anjing dengan sengaja karena dianggap hewan tersebut adalah hewan yang najis. Masih dengan orang yang sama saat ustaz muallaf tersebut saat akan mengisi sebuah tausyiah meminta kepada para panitia meminta untuk mengganti kursi yang berbentuk sofa karena dianggap sebagai kursi gereja kemudian diganti dengan kursi kayu yang dianggap sebagai kursi islami.
Dalam pandangan penulis sejak kapan kita diajarkan untuk berbuat angkara kepada sesama makhluk Tuhan, walaupun makhluk tersebut berupa anjing yang dihukumi sebagai hewan yang najis. Toh walaupun sebagai hewan yang najis, najis dari hewan tersebut dapat dihilangkan dengan cara disucikan bukan malah menabrak makhluk Allah dengan sengaja.
Yang kedua penulis berpandangan sejak kapan ada pengklasifikasian tempat duduk yang islami dengan dengan tempat duduk yang non-islami. bukankah selagi tempat duduk tersebut terbuat dari bahan yang suci bukan terbuat dari bahan yang najis masih tetap bisa digunakan.
- Iklan -
Seharusnya menjadi kabar bertambahnya ummat islam dengan para muallaf ini menjadi suatu kabar gembira sebagai sarana perwujudan keberhasilan syi’ar agama islam. Tetapi mengapa para muallaf ini dengan keterbatasan keilmuan syariat islam yang belum sesuai dengan ketentuan seorang guru, ustaz ataupun Kiai sudah diberikan tempat untuk ceramah hingga digelari ustaz kepada ummat islam yang kemungkinan besar pemahaman akan syariat islam juga masih dalam tahap belajar agama.
Kita sebut saja Yahya Waloni seorang yang dulu menjadi seorang pendeta dan kini digelari ustaz muallaf ini hanyalah mengisi ceramah yang tidak dengan menitikberatkan terhadap ajaran atau akhlak yang sesuai dengan syari’at-syari’at islam. Tetapi lebih menekankan kepada perbandingan agama yang ia peluk dahulu sebelum memutuskan untuk menjadi seorang muallaf. Bukankah hal tersebut malah akan menjadikan ujaran kebencian terhadap sesama ummat beragama.
Di samping fenomena ustaz muallaf, banyak pula orang-orang bahkan yang telah menjadi public figur yang menjadi pusat perhatian banyak manusia. Tetapi penulis merasakan mengapa para orang yang melakukan hijrah seperti hanya menitikberatkan perubahan hanya pada dandanannya seperti, celana cingkrang, jenggot, model fashion kerudung dang lain-lain. kemudian mulai ada dari mereka berceramah hanya dengan akal dan bahkan tingkat keilmuan mereka yang masih kurang dari pemahaman syari’at islam.
Dalam hadist dijelaskan yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud RA dari Rasullah SAW bersabda “Sebaik-baiknya manusia adalah yang hidup dizamanku. Kemudian orang setelahnya, Kemudian orang setelahnya” (H.R. Imam Bukhari).
Imam Syafi’i yang menjadi rujukan bermadzhab ummat islam di Indonesia juga memberikan anjuran bahwasannya “tiada ilmu tanpa sanad”.
Dari hadist dan maqalah yang telah disampaikan kita dapat memahami bahwasannya orang yang ingin belajar ilmu agama haruslah mempunyai sanad yang tersambung kepada Rasullullah SAW. Yang dapat kita mata rantaikan murid yang belajar kepada guru (kiai, syaikh ataupun ustaz), gurunya yang memiliki sanad hingga para ulama, ulama yang bersanad sampai kepada tabi’in dan para tabi’in inilah yang memperoleh sanad dari para sahabat dan para sahabat yang memeperoleh sanad keilmuan dari Rasulullah SAW dan Rasullullah SAW yang memperoleh sanad keilmuan dari Allah SWT dengan perantara Malaikat Jibril.
Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin telah mengatur dasar hukum ummat islam yang terdiri atas empat, yakni. Al-Qur’an, Al-Hadist, Ijma, dan Qiyas. Kesemuanya berjalan secara berurutan dan berkesinambungan dalam menentukan sebuah hokum yang berkaitan dengan syari’at islam yang tak hanya bisa di hukumi dengan akal dan logika semata tetapi juga harus memiliki dasar atau dalil yang jelas dalam mengeluarkan hujjah dalam bidang agama.
Hal ini seharusnya menjadi perhatian khusus kepada MUI ( Majelis Ulama Indonesia), Kementrian Agama (Kemenag), pihak ulama’, dan ummat islam di Indonesia agar lebih dapat menertibkan orang yang digelari atau menggelari diri mereka dengan sebutan ustaz seperti Yahya Waloni dan para orang yang baru permulaannya mengenal hijrah agar mengetahui keterbatasan mereka seputar pemahaman agama islam yang masih kurang dan belum memungkinkan mengeluarkan hujjah kepada ummat muslim terlebih ummat muslim yang masih juga belajar.
Dalam pandangan penulis sendiri perlunya lembaga keagamaan yang memang menjadi fasilitas yang dapat membina ummat islam dari lahir maupun ummat islam yang menjadi seorang muallaf. Penulis menuliskan opini atau narasi demikian bukan untuk menyebarkan ujaran kebencian kepada para muallaf ataupun kepada para orang-orang terkhusus public figure yang hijrah tersebut. Tetapi dari sinilah kita dapat mengetahui sejauh mana pentingnya memilih guru yang memiliki sanad ilmu yang jelas dari para ulama’ yang shohih yang sanad keilmuannya sampai kepada Rasulullah SAW. Sebagai ummat yang baik juga melihat fenomena tersebut haruslah menjadi perhatian segenap pihak agar merangkul mereka kembali ke ajaran islam sesuai dengan islam yang menjadi rahmatan lil ‘alamin rahmat bagi seluruh alam.
Sebenarnya proses dakwah islam dapat dilakukan dengan banyak cara sesuai dengan kadar kemampuannya. Bisa dilakukan dengan cara melakukan kebaikan kepada sesama manusia ataupun dengan sesama makhluk hidup ciptaan Allah SWT.
Tetapi dalam dakwah islam dengan cara pemberian tausyiah tentang syari’at agama harusnya menyadari dahulu wawasan keilmuan syari’at islamnyaterlebih dahulu. Dimana guru agama, yang disebut dengan ulama, ustaz ataupun kiai yang baik sebelum mengajarkan dan menafsirkan ayat Al-Qur’an ataupun hadist dan menghukumi sesuatu dalam syariat islam haruslah menguasi berbagai macam bidang ilmu diantaranya. Seperti nahwu, shorof serta balaghoh dan lain-lain, yang didukung dengan sifat adil, amanah serta dan telah mengamalkan kandungan Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.
Islam merupakan agama yang ramah kepada sesama pemeluk agama yang sama ataupun beda agama. Rasullullah SAW dan ulama ahlu Sunnah waljama’ah pun telah memberikan bagaimana cara memilih guru yang benar dan jelas sanadnya sesuai dengan yang dijelaskan dalam kitab-kitab hadist serta kitab-kitab ulama’ yang memang mu’tabar.
-Penulis adalah Mahasiswa INISNU Temanggung