Cerpen Elin Khanin
Bulan suci Ramadan hampir tiba. Saatnya para santri kelas 3 Aliyah menentukan di mana mereka akan mengikuti posonan. Maksudnya posonan adalah hanya nyantri selama bulan Ramadan. Meskipun sudah nyantri di suatu pesantren, para santri diperbolehkan mengikuti posonan ke dalem para kiai yang mengajar di Madrasah Manba’ul Ulum—untuk mendapatkan bekal lebih sebelum kelulusan.
Aku dan teman-teman sekelas memilih untuk posonan di dalem Abah Fatah, pengampu tafsir di Madrasah kami.
Satu hari sebelum keberangkatan, aku pun mempersiapkan diri. Membawa baju dan perlengkapan lain yang akan aku bawa selama posonan. Tak lupa, aku juga harus memperoleh izin dari pengasuh pesantren di mana aku nyantri dan menghafal Al-Qur’an sebelum berangkat posonan.
- Iklan -
***
“Nggak terasa ya, udah mau lulus aja,” ucap Zahra saat kami tengah sibuk menata barang bawaan di kamar sesampainya di dalem Abah Fatah
“Huhuhu, iya nih. Setelah lulus ngapain ya? Kuliah apa nikah?” timpal Fitri.
Aku hanya geleng-geleng kepala mendengar obrolan mereka sambil memindah baju dari tas besar ke lemari yang sudah disediakan Abah Fatah.
“Kalau Ima pasti habis lulus langsung nikah,” celetuk Nada padaku.
“Lha kok bisa?” bantahku.
“Iya-lah. Cewek ayu kayak kamu mana bisa jomlo lama-lama.”
Teman-teman yang lain serempak mengangguk membenarkan kalimat Nada.
Ah, aku jadi teringat Bapak dan Ibu di kampung. Mereka yang hanya seorang petani dengan sepetak sawah mana bisa membiayaiku kuliah. Cita-cita setinggi langit, jika materi tak mendukung, aku harus apa.
“Nduk, Hajah Maimunah, bos terasi di kampung kita nembung ke Ibuk, minta kamu jadi menantunya. Apa kamu setuju?” tanya Ibu suatu hari dengan wajah sendu dan dilema.
Beliau pasti tahu anaknya Hajah Maimunah itu seperti apa. Layaknya anak muda zaman sekarang; suka keluyuran dan ugal-ugalan.
Untung saja ada Bu Nyai Kampung yang sangat disegani di desa kami dengan senang hati mau membantu kami menolak lamaran itu.
Setelah itu, lamaran lain datang bertubi-tubi karena tahu aku sebentar lagi lulus Aliyah. Bagaimana pun aku pribadi memiliki kriteria calon suami—yaitu pria saleh dan pintar mengaji. Dan sayang sekali, selama ini yang datang untuk melamar hanya mengunggulkan hal bersifat duniawi.
Kini aku disergap resah. Setelah lulus nanti aku tak boleh lagi pilih-pilih. Ibu dan Bapak akan terus mendesakku agar segera menikah karena anak sulungnya ini harus segera mentas. Jadi berkurang bebannya mengurus empat putra putrinya. Ya, ketiga adikku masih kecil-kecil dan aku harus tahu diri untuk tidak menuntut agar bisa kuliah.
Hanya ada dua jalan, kerja keras agar bisa kuliah atau … menikah.
***
Jadi, waktu posonan ini tak akan aku sia-siakan. Masa-masa indah ini akan segera berakhir. Jadi akan aku isi waktu yang tak tersisa banyak ini dengan menyerap ilmu sebanyak-banyaknya dan menuntaskan hafalan Al-Qur’an. Beruntung sekali aku menemukan tempat posonan tanpa harus mengeluarkan biaya banyak karena Abah Fatah menganjurkan untuk membayar seikhlasnya. Sungguh beliau benar-benar seorang kiai yang zuhud dan wara’.
Abah Fatah sendiri belum memiliki pondok pesantren. Beliau adalah kiai kampung yang khidmat kepada masyarakat dengan menyelenggarakan ngaji bagi para santri kalong yang sudah berusia lanjut setiap hari Selasa sore dan menampung santri posonan setiap bulan Ramadan. Selain mengajar di madrasah dan mengisi pengaosan di rumah, beliau juga sering diundang ceramah-ceramah.
Beliau termasuk salah satu kiai sepuh yang sangat disegani di Madrasah Manba’ul Ulum tempatku menimba ilmu. Gaya mengajarnya asyik dan tidak membosankan. Selalu diselingi dengan guyonan di tengah-tengah pelajaran.
Selain supel dan humoris, beliau adalah orang yang sangat alim. Badannya gagah dan wajahnya kharismatik. Aku yakin waktu muda, beliau merupakan sosok lelaki idaman. Garis ketampanan masih tergurat jelas di wajahnya yang meski sudah berusia lanjut.
Itulah mengapa putra sulung beliau, Gus Kafi berwajah rupawan. Gurat ketampanan Abah Fatah rupanya nitis padanya. Tak heran dari awal puasa Ramadan, ia selalu menjadi topik utama perbincangan di kamar.
Tak terasa sudah dua minggu kami menjadi santri posonan. Entah bagaimana awalnya dan siapa yang memulainya, aku sering dibuat bahan candaan teman-teman, dijodoh-jodohkan dengan Gus Kafi. Mungkin saja karena Abah Fatah sering memintaku memimpin membaca asmaul husna di awal pengajian. Karena tahu aku juga seorang santri tahfiz, beliau memintaku mengisi waktu luang untuk khataman Al-Qur’an bil-gaib.
“Cieee, Ima … Gus Kafi lagi bersih-bersih kamar, tuh. Sana bantuin!” canda Hanik ketika kami sibuk mempersiapkan menu buka puasa di ruang tengah. Dari arah kamar Gus Kafi, memang terdengar bunyi-bunyian semacam kasur sedang dipukul-pukul.
“Nggak usah dibantuin. Kan Tuan Putri Syaima tinggal disuruh masuk kalau sudah bersih,” timpal Nada dan disusul gelak tawa di antara kami.
“Ssst … Jangan ngomong sembarangan. Nanti kalau Abah Fatah dengar gimana?” sahutku khawatir. Tapi mereka tetap saja melancarkan gosip yang tak jelas sumber dan ujungnya ini.
Sampai suatu ketika lampu-lampu di musala tempat kami biasa mengaji bermasalah. Aku yang tak tahu-menahu soal dilarang terlebih dahulu masuk ruangan luas itu, dengan santainya menuju ke dalam musala hendak meletakkan mushaf di lemari kaca dekat pintu. Lalu sebuah suara mengagetkanku. Membuatku terpaku.
“Lampu yang mana lagi yang mati?”
Spontan aku mendongak dan kudapati Gus Kafi sedang berdiri di tangga lipat dekat pintu di mana aku berdiri.
Sejenak aku tercenung dan sedikit grogi. Lalu dengan asal aku menunjuk lampu neon yang terletak di sebelah kepala Gus Kafi. Betapa malunya aku ketika tahu lampu itu sudah menyala.
“Oh, berarti sudah tidak ada lagi lampu yang rusak, Gus,” ucapku kikuk.
Aku meringis dan Gus Kafi tersenyum geli. Kami sempat sama-sama tersenyum canggung sebelum menundukkan pandangan. Aku segera keluar musala dengan membawa letupan-letupan dalam dada yang entah apa namanya. Rasanya jantungku siap meledak.
***
Sejak hari itu, setiap pengaosan kitab Bajuri yang dipimpin Gus Kafi, jantungku serasa berlompatan. Apalagi ketika ia ngimami jamaah Subuh dengan suara merdunya membuat imajinasiku mengembara kemana-mana; berkhayal jika hanya akulah makmumnya. Astaghfirullah, maafkan hamba yang kesulitan untuk khusyuk jika salat berada tepat di belakangnya, Ya Allah. Parfumnya yang harum menguar di seluruh penjuru ruangan dan memenuhi indra penciuman. Membuat hatiku menggeletar.
Gus Kafi … bagaimana ini? Aku telah jatuh hati.
***
Ada pertemuan maka ada perpisahan, entah cepat atau lambat. Dengan berlinang air mata, kami mengaminkan doa khataman posonan yang dipimpin oleh Abah Fatah.
Sore ini juga kami harus pamit dengan Abah Fatah beserta keluarga. Ada rasa nyeri menjalar di hati. Rupanya ledekan dan gurauan teman-teman menyisakan perasaan lancang di hatiku untuk Gus Kafi.
Hari demi hari kulalui dengan rasa tak bertepi. Bayang wajah Gus Kafi terus saja menari-nari. Untung saja aku bisa menuntaskan hafalan Al-Qur’an dan syarat kelulusan dengan baik, meski perasaan cinta kepada Gus Kafi mengusik hari demi hari. Aku lulus dari pondok pesantren dan Madrasah Manba’ul Ulum dengan nilai mumtaz. Sungguh bahagiaku tak terperi.
Sampai di hari kelulusan, seorang gadis remaja berseragam yang sama denganku menghampiri. Dia adalah Ning Zakia, anak kedua Abah Fatah yang juga adik kelasku.
“Mbak Ima, selamat ya sudah diwisuda,” ucapnya dengan wajah semringah.
“Terimakasih, Ning.”
“Oh ya, nanti sore bisa kan Mbak ke rumah?”
“Ada apa ya, Ning ?”
“Ya nanti tahu sendiri. Ini amanah dari Abah.”
Setelah mengatakan itu, Ning Zakia berlari begitu saja. Meninggalkanku yang masih terbengong-bengong. Hingga sepulang dari madrasah, bergumpal-gumpal tanya terus saja berjejalan di kepala. Ada apa gerangan Abah Fatah memintaku ke dalemnya.
Kuminta Nada menemaniku ke rumah beliau dengan naik sebuah bus jurusan Juwana-Tayu. Sampai di Margoyoso, hatiku semakin berdebar-debar tak menentu. Dengan mengucap salam aku dan Nada masuk ke dalem Abah Fatah. Kedatangan kami disambut dengan semringah.
Beberapa saat kemudian setelah ngobrol dan berbasa basi ….
“Sini, Im!” pinta Abah Fatah agar aku mengikutinya ke musala.
Kutinggalkan Nada sendirian di ruang tamu. Dia pun melayangkan tatapan nakal padaku yang sudah berwajah merah sambil bilang, “Cie … Cie …,” dengan suara lirih.
“Kamu sudah ada calon, Im?” tanya Abah Fatah setelah kami duduk berhadapan di musala.
“De-dereng, Bah,” jawabku dengan suara bergetar.
“Kalau orang yang disuka?”
Kali ini aku hanya menjawab dengan senyuman. Tak mungkin aku menjawab telah mencintai putra beliau, Gus Kafi.
“Sudah ramai gitu kok sama teman-temanmu. Kamu kan sering diledek sama anakku.”
Deg. Hatiku seketika berdesir dan wajahku memanas. Apa maksud Abah Fatah ini?
“Ni-niku … cuma guyonan, Bah,” ucapku malu.
“Oh guyonan to? Gimana kalau guyonannya jadi serius?”
Ha?! Spontan aku mendongakkan wajah, lalu menunduk lagi. Canggung menatap wajah Abah Fatah yang begitu tegas dan karismatik itu sedang tersenyum. Ya Allah, apa makna senyuman Abah Fatah ini?
“Eeem … Heee ….”
“Mau kan jadi mantuku?”
Seketika letupan dahsyat menghantam dadaku. Apa aku sedang bermimpi? Kalau ini mimpi kenapa kakiku yang kesemutan ini sangat nyeri dan sulit berpindah posisi?
“Eeeng … anu … eeeng … Apa saya pantas?” tanyaku memberanikan diri. Bagaimana pun aku harus bisa menguasai keadaan. Belum tentu juga Abah Fatah memintaku menikah dengan Gus Kafi. Karena masih ada Gus Faisal, adik Gus Kafi.
“Ayo bareng-bareng pulang. Karena aku nggak tahu jalan menuju rumahmu.”
Ya Allah, ini bukan mimpi. Ini nyata. Gusti … rasanya hamba ingin pingsan begitu saja. Apalagi mendengar Abah memintaku langsung kepada orang tuaku ditemani Gus Kafi dan Bu Nyai Halimah. Bapak dan Ibu sampai terharu dan tergugu dalam bisu.
Dua bulan setelah acara lamaran itu, pernikahan benar-benar dilangsungkan. Gus Kafi yang tampan kini menjadi suamiku.
Jadi benar, ucapan adalah doa. Ucapan yang baik-baik tinggal diaminkan saja. Karena kita tak tahu doa mana yang akan dikabulkan oleh-Nya. Aku selalu mengamini dalam hati ketika teman-teman menjodoh-jodohkan aku dengan Gus Kafi. Termasuk ketika Nada dan Hanik menggodaku sewaktu Gus Kafi sedang membersihkan kamar. Mereka bilang Gus Kafi tengah menyiapkan kamar untukku.
Dan … ternyata kamar indah inilah yang selalu dibersihkan Gus Kafi seorang diri. Aku duduk di tepi ranjang bertabur bunga mawar dan melati. Jantungku serupa genderang perang ketika Gus Kafi menggenggam tangan ini.
“Ima … Syaima Ummu Sinan. Akhirnya kamu menjadi pemilik kamar ini.”
Aku terhenyak dan terkesima di satu waktu. Kami saling menatap penuh haru.
“Gus Kafi, akhirnya jenengan tidak hanya menjadi imam Subuhku tapi juga imam dunia akhiratku.”
Gus Kafi mengecup tanganku. Kurasakan jantungku semakin bertalu-talu.
“Aku dengar loh pas teman-temanmu menggodamu ketika aku bersih-bersih kamar waktu itu.”
“Haaa … tajam juga ya pendengaran jenengan,” ucapku sambil menutup wajah, malu.
“Waktu itu, aku benar-benar ingin tertawa tapi harus kutahan. Gemas juga ingin menculikmu masuk kamar. Tapi ingat, belum halal.”
“Astaghfirullah, Gus.”
“Hehehe.”
Ini orang malah cengengesan. Gusti ….
“Hal paling memalukan ketika posonan adalah ketemu jenengan di musala waktu benahi lampu dan bertanya lampu mana lagi yang masih mati. Eh, aku malah nunjuk lampu yang sudah jenengan benahi dan sudah menyala.”
“Waktu itu aku memang sengaja bertanya biar bisa ngobrol sama sampean.”
“Haaa ?”
Gus Kafi mendekatkan wajahnya. Napasnya terdengar memburu.
“Gus ….”
“Si-siapa yang membersihkan dan menghias kamar ini?” tanyaku sambil menahan grogi.
“Aku sendiri. Mulai besok kita.”
Gus Kafi melayangkan senyumannya yang memesona. Tak kusangka selama ini ia juga menyimpan perasaan yang sama. Dan perasaan cinta itu semakin membuncah, menggelora dan membara, lalu melebur dalam lautan asmara.
Ternyata benar kata Nada, setelah lulus Aliyah aku menikah, bukan kuliah. ***
*ELIN KHANIN, menulis beberapa cerpan. Tulisannya berlatar Pesantren dan genre komedi-romantis. Terbukti tulisannya mampu menghipnotis ribuan pembaca dan dibikin baper. Karya pertama Elin Khanin juga sudah best seller dengan judul “Cinta Sang Abdi Ndalem.” Silaturahmi dengan penulis bisa melalui Facebook Elin Khanin.