Oleh Sam Edy Yuswanto
Ada satu anggota tubuh kita yang memiliki dampak luar biasa bila kita selalu berusaha menjaganya dengan baik. Anggota tubuh yang dimaksud ialah lidah. Meskipun lidah hanya sebentuk daging yang tak begitu besar, begitu lentur tanpa tulang, akan tetapi efeknya sangat berbahaya bila sudah mengeluarkan kata-kata yang membuat orang lain merasa sakit hati. Karenanya, menjaga lidah dari mengucapkan kalimat buruk adalah keniscayaan bagi setiap orang.
Menjaga lidah termasuk bagian dari ibadah. Atau dengan kata lain, termasuk ciri keimanan dan ketakwaan seorang hamba kepada Tuhannya. Islam mengajarkan kita agar selalu bertutur kata yang baik-baik saja. Seandainya belum mampu berkata-kata yang baik, lebih baik diam terlebih dahulu. Diam itu lebih baik dan utama daripada asal bicara tapi menimbulkan dampak negatif bagi orang lain.
Lebih-lebih ketika dalam keadaan sedang marah atau emosi, diam merupakan pilihan terbaik. Sebuah pilihan yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Demi menghindari ucapan buruk yang bisa saja meluncur dengan sangat deras dari mulut kita. Ucapan yang saya yakin kelak akan sangat kita sesali ketika emosi dan amarah di dalam jiwa telah surut.
- Iklan -
Seorang motivator muslim dunia, Dr. Muhammad al-Arifi dalam bukunya Nikmati Hidupmu pernah menjelaskan bahwa ketika dalam keadaan marah, Rasulullah saw. memerintahkan kita agar diam. Sebab, jika tidak bisa menjaga mulut, ia akan menjerumuskan pada kehancuran. Seseorang bisa mati karena tergelincir lidah, bukan mati karena tergelincir kaki.
Sementara itu, Teddi Prasetya Yuliawan dalam buku #NasihatDiri, untuk Para Pekerja juga berusaha menguraikan ayat Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah ayat 83 yang menjelaskan bahwa Allah telah menyerukan kepada para hamba-Nya agar mengucapkan kata-kata yang baik. Allah Swt. berfirman, “Dan ucapkanlah kata-kata yang baik pada manusia.” Mengapa kita harus mengucapkan kata-kata yang baik? Karena tak seorang pun yang tak tersentuh dengan kata-kata yang baik. Meski terhadap orang yang tak menyukai kita atau orang yang pernah menghina kita, kita tetap dianjurkan untuk berkata-kata yang baik. Sebab, bisa jadi kata-kata yang baik menjadi jalan hidayah bagi mereka. Kelembutan kata-kata bisa menyembuhkan batin yang luka dan gelisah.
Lidah yang senantiasa mengucapkan kata-kata baik kelak akan membuat orang-orang di sekitarnya merasa senang dan aman karenanya. Sebaliknya, lidah yang tak terjaga dari ucapan-ucapan yang buruk akan membuat orang lain merasa tersiksa, tersakiti, tersulut emosi, bahkan tak jarang menjadi cikal bakal permusuhan dan dendam di antara sesama. Sungguh begitu dahsyat efek yang akan ditimbulkan bila kita tidak mampu menjaga lidah.
Ada sebuah kisah menarik yang pernah dituturkan oleh Dr. Muhammad al-Arifi (2015) yang mengandung hikmah atau pelajaran berharga bahwa menyampaikan suatu kabar buruk dengan dua cara; cara yang baik dan tidak baik, sangat luar biasa dampaknya. Jadi, kisahnya begini; konon, seorang raja yang diagungkan bermimpi giginya rontok. Keesokan harinya ia memanggil seorang penafsir mimpi untuk menanyakan artinya. Wajah sang penafsir mimpi sontak berubah dan berkali-kali mengucapkan, “A’udzu bi Allah, a’udzu bi Allah…”.
“Ada apa dengan mimpiku?” tanya sang raja tak kuasa menyembunyikan rasa kagetnya. Si penafsir mimpi lantas berkata, “Sanak keluarga Anda akan meninggal dunia semua dan Anda akan hidup bertahun-tahun. Anda pun akan tinggal sendiri dalam istanamu.” Mendengar penuturan si penafsir mimpi, sang raja langsung marah dan melontarkan sumpah serapah. Saking marahnya, ia pun lantas menghukum si penafsir mimpi tersebut.
Merasa tak puas dengan tafsiran mimpi yang mengerikan itu, sang raja kemudian memanggil penafsir mimpi yang lain. Berbeda dengan penafsir mimpi pertama, justru penafsir mimpi kedua berwajah ceria usai mendengar mimpi sang raja. Senyumnya terlihat merekah. “Berbahagialah. Baik. Sungguh baik, wahai Raja,” ujarnya. “Apa arti mimpiku?” sang raja bertanya dengan penasaran.
Si penafsir mimpi kedua pun menjelaskan, “Mimpi Anda punya arti Anda panjang umur. Andalah orang terakhir yang akan meninggal dunia di antara keluargamu. Dan, Anda akan menjadi raja sepanjang umur.” Begitu mendengar penuturan si penafsir mimpi, sang raja pun tersenyum. Bahkan sang raja memberikan hadiah kepadanya. Ia merasa senang dengan penafsir mimpi yang kedua ketimbang penafsir mimpi yang pertama. Padahal bila direnungi, dua penafsiran itu tidaklah jauh berbeda. Hanya cara penyampaian (pemilihan kata-katanya) saja yang berbeda.
Kisah sang raja dan kedua penafsir mimpi tersebut dapat menjadi cerminan sekaligus pengingat bagi kita, bahwa ketika hendak berbicara dengan orang lain, berusahalah dengan kata-kata yang mampu mendamaikan dan membuat lega. Jangan sampai kata-kata yang kita lontarkan justru malah membuat orang lain ditikam rasa cemas, gelisah, marah, dan perasaan-perasaan negatif lainnya. Ketika suatu hari kita harus menyampaikan berita kurang baik kepada saudara atau teman misalnya, berpikir dan merenunglah sejenak untuk mencari kata-kata yang mampu menghibur dan mencerahkan. ***
*SAM EDY YUSWANTO, tulisannya (opini, resensi buku, cerpen, dll) tersebar di berbagai media, lokal hingga nasional, antara lain: Koran Sindo, Jawa Pos, Republika, Kompas Anak, Jateng Pos, Radar Banyumas, Merapi, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, dll.