Cerpen Ubaidillah
Baik, mari mulai cerita ini dengan satu pengakuan singkat: aku benci dikekang. Pemikiran itu sudah ada dalam diriku sejak aku kecil, saat Bapak menceritakan sejarah kemerdekaan Indonesia padaku.
“Kamu tahu, Indonesia ini merdeka setelah perjuangan yang lama sekali. Ada banyak pahlawan yang berjasa pada negeri ini. Cut Nyak Dien, Kapitan Pattimura, Pangeran Diponegoro, dan masih banyak lagi. Tanpa perjuangan gigih mereka, mustahil Indonesia bisa segagah sekarang,”
Bapak pandai bercerita. Lelaki ini sanggup berkisah sejarah berjam-jam, dan aku akan terlena dibelai tangan kokohnya. Saat anak-anak seumuranku tahu legenda putri salju dan tujuh kurcaci, aku dikenalkan Bapak dengan Tan Malaka. Saat anak-anak di kelasku asik membahas film kartun yang telah mereka tonton, aku dan Bapak menonton film Istirahatlah -Kata, dan dibuat terkagum-kagum pada puisi tokoh utamanya.
- Iklan -
“Asal kamu tahu, Nak, Wiji Thukul ini tokoh asli. Dia salah satu penyair yang berani menulis puisi-puisi kritik pada pemerintah,”
“Tapi puisinya bagus, ya, Pak?”
Bapak tersenyum kecil. “Bagus, karena membela kita yang rakyat biasa. Tapi bagi pemerintah, puisi ini beserta penciptanya wajib diberangus. Tonton saja sampai akhir, nanti kamu tahu,”
Aku menurut, dan tidak sabar menanti akhir. Usai film itu, aku berteriak keras-keras.
“Kenapa Wiji Thukul bisa hilang? Lalu apa dia masih hidup atau sudah mati? Kalau mati dikubur di mana?”
“Kita semua tidak tahu, Feri. Sampai sekarang tidak ada kabar tentangnya,”
Bapak menepuk-nepuk pundakku, menyuruhku duduk kembali. “Begitulah nasib pemberani, Nak. Bahkan Nabi Muhammad pernah dilempari batu karena mendakwahkan Islam,”
“Oh iya, waktu beliau hijrah ke Thaif itu, bukan?”
“Nah, tumben kamu ingat. Bahkan Nabi Muhammad pun pernah menerima konsekuensi karena keberaniannya, apalagi orang biasa seperti kita. Tapi, setelah itu mereka dikenang, Nak. Wiji Thukul dijadikan simbol perlawanan, Nabi Muhammad menjadi panutan umat Islam.”
“Oh, jadi kamu pikir kamu ini pemberani? Kamu ingin dikenang, begitu?” Kang Faruq di hadapanku langsung memotong tak sabar. Matanya nyalang menatapku, membuatku merasa lebih kecil dari ukuran sebenarnya. Tangannya yang besar mengetuk-ngetuk meja kantor pesantren, tepat di depanku. Hanya dibutuhkan secuil keinginan baginya untuk mengubah ketukan itu menjadi tinju dan melayangkannya padaku. Tapi alih-alih melakukannya, ia justru tertawa sinis.
“Cerita-cerita bapakmu bagus, Fer. Kaulah yang salah menangkap maksudnya,”
“Lo, tidak bisa begitu, Kang. Mungkin justru sampean yang salah memahaminya,”
“Lalu bagaimana? Memangnya kau mau menggunakan masa lalu untuk membenarkan pelanggaranmu yang masih hangat ini? Melanggar tetaplah melanggar, Fer!”
“Bukan begitu, Kang. Begini, aku merasa akhir-akhir ini pesantren sudah terlalu ketat pada santri. Tidak ada kebebasan sama sekali. Izin keluar sebentar saja susah, mau pulang harus melewati prosedur yang ruwet, birokrasi sekali! Ibarat pemerintahan, sistem pemerintahan ini sudah tidak efektif, Mas! Kolot, konvensional, perlu diperbarui!”
Kang Faruq tertawa lagi mendengarku. “Nyatanya, meski dengan sistem yang ruwet, peminatnya tetap membludak, bukan? Setiap Jumat selalu ada wali santri yang pulang, dan santri-santri tetap berdesakan mengantri izin keluar. Bagaimana kalau izin keluar dan pulang dipermudah? Bisa jadi minggu depan pesantren ini sepi, penghuninya keluar semua. Paham?”
“Kalau begitu kenapa tidak pakai sistem bergilir? Seperti pergantian petugas piket pesantren? Kan bisa diberi kuota. Contoh, maksimal santri keluar lima puluh, diberi waktu maksimal satu jam. Nanti kalau para santri itu sudah kembali, bergantian santri yang di dalam keluar.”
“Kenapa jadi prosedurmu yang ruwet? Birokrasi sekali!” Kang Faruq tertawa keras. “Lain kali biasakan kalau omong itu dipikir dulu, Fer! Beruntung aku sedang baik hati. Kalau tidak sudah kubuat hitam matamu itu!”
Aku menunduk, geram bukan main. Apa-apaan ini?! Dia mengancam atau bagaimana?!
“Langsung saja, Fer, kenapa kau melanggar peraturan itu? Ceritakan kejadiannya saja, aku tak perlu mendengar masa kecilmu!” Kang Faruq terkekeh, tapi sejenak kemudian ia sudah menatapku tajam. Aku menatapnya balik. Siapa takut?
“Ayo bicaralah!” hardiknya. “Mulutmu kaku? Mau kubukakan? Sini, tanganku sudah siap!”
“Oke, oke. Aku akan cerita.”
Dengan harga diri yang runtuh, terpaksa kuceritakan bagaimana aku bisa sampai di kantor terkutuk ini.
***
Hari Jumat di pagi yang masih muda. Sinar matahari menyelusup malas dari celah-celah pepohonan pesantren, menerpa santri-santri yang bercengkerama. Sejak masuk pesantren, siklus akhir pekanku bergeser dari hari Minggu ke hari Jumat. Kata Faza, teman baruku yang berasal dari sekitar Blitar sini, kebanyakan pesantren lain juga menerapkan hari Jumat untuk hari libur.
“Tapi pesantren lain tidak segila pesantren kita, Fer,” Faza mendengus. “Bayangkan, Jumat lalu aku ingin beli sandal di toko baju Barokah tidak boleh. Jumat ini juga aku mau izin sekadar beli makan juga tidak boleh. Maunya keamanan itu apa? Haruskah aku sekarat dulu biar boleh keluar pesantren?”
Aku mengangguk-angguk, tapi kemudian mengernyitkan dahi. “Tapi, kalau sekadar beli sandal dan makanan, bukankah di koperasi pesantren ada? Kenapa harus jauh-jauh?”
Faza mendengus lagi. “Rugi kuadrat, Fer! Sudah mahal, jelek, umum, gampang hilang pula! Aku ingin beli sandal di toko baju Barokah karena murah, dan ingin punya sandal yang beda dari kebanyakan santri. Jadi kalau yang ada memakainya tanpa seizinku gampang kentara, bisalah langsung diajak gelut,”
“Penyakit anak pencak silatmu kumat lagi, ya. Tidak semua hal bisa selesai dengan jotos-jotosan,”
“Bukan begitu, Fer. Aku kasihan saja. Bagaimana kalau tidak kujotos saat di dunia, kelak saat di akhirat mereka dijotos Malaikat Malik dan terjatuh ke neraka?”
Aku terkekeh. “Wah, tumben jawabanmu masuk akal. Tapi mau bagaimana lagi, kau sudah izin dan tidak boleh.”
“Iya, tapi itu dari keamanan. Pagar belakang pesantren masih bisa dipanjat, bukan?”
“Lo, bukankah itu melanggar aturan?”
“Lo, kalau aturan ditaati terus, lalu keamanan kita biarkan menganggur, buat apa keamanan ada? Ya kasihan, Fer. Keamanan juga butuh pekerjaan supaya mereka kelihatan sibuk. Masa kau tidak kasihan? Jangan keluar dengan keinginan main-main saja, tapi niatilah memberi keamanan itu pekerjaan. Ingat, baik-tidaknya suatu hal itu diawali dengan niat, Fer!”
Aku terbungkuk-bungkuk memegangi perut karena tertawa. “Iya, tapi itu kalau ketahuan. Kalau tidak ketahuan?”
“Ya sudah. Rambut kita aman dari mesin cukur, dan kita bisa mengulanginya lagi minggu depan sampai ketahuan. Bukankah sepandai-pandainya bajing melompat ia akan jatuh juga?”
Aku geleng-geleng kepala. “Edan!”
Akhirnya kuputuskan ikut Faza memanjat dinding pesantren, sembunyi-sembunyi merebut kemerdekaan yang dirampas pesantren ini. Sore hari, saat langit tampak dibakar matahari sampai begitu merah, aku dan Faza bersiap-siap.
“Kita berangkat sebentar lagi. Sekarang bersiap-siaplah, kita bersembunyi di kamar mandi. Di sana sudah menunggu tiga temanku yang lain.”
Aku mengernyit. “Tiga temanmu yang lain?”
“Iya. Arif, Candra, dan Rian. Lebih afdal ramai-ramai, Fer. Bukankah kalau kita berjamaah pahala kita dilipatgandakan dua puluh tujuh derajat?”
Wah, logika anak ini sungguh unik. Aku mengiyakan saja. Kami segera pergi ke kamar saat azan Magrib berkumandang dari musala pesantren. Faza memimpin beberapa langkah di depanku. Ia berjalan dengan ketenangan yang mengagumkan. Bila berpapasan dengan pengurus pesantren, ia akan tersenyum kecil dan bilang hendak ke kamar mandi sebentar.
“Tenang adalah kunci, Fer,” ujarnya tanpa merasa perlu melihatku, “kalau sebelum keluar saja kau sudah gentar, bisa-bisa waktu memanjat pagar belakang kau kencing di sarung. Santailah,”
Di deret kamar mandi yang paling dalam, sudah bercokol kawan-kawan Faza. Dua bertubuh bongsor, seperti sudah bapak-bapak padahal masih pelajar, yang satunya kerdil, bahkan lebih pendek dari Faza yang tingginya sebahuku. Mereka menyambut kami dengan raut wajah yang was-was, lalu menghela napas.
“Lain kali kalau mau masuk itu ucapkan kode dulu, Za! Kukira tadi ada pengurus pesantren keliling,” omel si kerdil dengan suara yang berat. Ia lalu beralih padaku. Ditatapnya aku dari ujung kepala ke ujung kaki. “Bukannya kau anak guru, ya? Siapa namamu—Feri? Fera?”
“Feri,” aku menyodorkan tangan. Ia menyambutnya kaku, lalu berlanjut ke dua gembrot itu, yang sama kakunya. Si kerdil sudah kembali lagi pada Faza.
“Kau ini tolol atau bagaimana, Za?!” dampratnya dengan suara yang meski pelan, namun penuh penekanan. “Anak guru, kok, diajak beginian! Gila kau, ya?!”
“Aku sendiri yang ikut,” buru-buru aku menjelaskan. “Faza tidak ada hubungannya dengan keikutsertaanku. Ini murni keinginanku,”
“Biarkan sajalah, Rif,” Faza menengahi. “Kita, kan, sudah sepakat, bahwa nakal adalah hak segala bangsa. Ingat?”
Si kerdil yang rupanya bernama Arif itu membuang muka. “Ya sudah, terserah. Tapi ingat baik-baik. Nanti kalau ada salah satu dari kita yang kepergok keamanan, jangan sekali-kali menyebut nama satu sama lain. Bilang, aku mengerjakannya sendiri. Paham kau, bocah?”
“Feri, aku punya nama,” tekanku tersinggung.
“Iya, ya. Terserah,” ia mengibaskan tangan. Bersamaan dengan itu sayup-sayup terdengar ikamah dari musala pesantren.
“Ini waktunya,” ungkap Arif dengan senyum mengembang.
“Oh, jadi kita salat dulu?”
Semua yang ada di kamar mandi itu menatapku keheranan. Faza tertawa tanggung. “Kita langsung keluar, Fer. Kita salat di luar, lebih sejuk,” katanya.
“Za, uruslah bocah ini. Candra dan Rian, panggul aku. Ayo cepat, sebelum jamaah Magrib selesai dan kamar mandi ini ramai,”
Kemudian semua terjadi begitu saja. Kami mengendap-endap menuju pagar belakang pesantren. Arif dipanggul tubuh besar Candra dan Rian, lalu dengan lincah ia memanjat pagar itu. Kaki dan tangannya seperti punya perekat tak kasat mata, sehingga ia bisa begitu cepat berpindah-pindah. Bahkan perintang kawat-kawat berduri yang dipasang pihak pesantren di pucuk pagar sama sekali tak menyusahkannya. Tahu-tahu ia sudah mendarat di sisi luar pesantren dengan tubuh utuh tak tergores.
Candra dan Rian menyusul. Mungkin karena berbadan besar keduanya lebih lambat dari Arif. Tapi mereka juga tak kalah hebat, mereka cekatan memanjat pagar dan meloncati kawat-kawat duri itu.
“Aduh, tanganku kena duri, cuk!” terdengar suara Rian menyumpah tertahan, entah tangannya hanya tergores atau sudah sobek dan berdarah-darah. Aku spontan mundur beberapa langkah. Pagar sepanjang tiga meter lebih di hadapanku ini seolah bisa menatap dan bicara padaku; kembalilah, anak baik-baik, ikut kegiatan pesantren sana!
“Santai, Fer. Terkena duri tidak akan membuatmu mati. Paling-paling kulitmu lecet sedikit, seperti tidak sengaja teriris silet. Tinggal beri obat merah dan dibungkus perban, selesai urusan,” Faza tersenyum. “Aku duluan, ya. Kau perhatikan baik-baik, biar tidak apes seperti Rian.”
Faza melangkah maju, melipat sarungnya sampai setinggi lutut. Sengaja benar ia melambatkan temponya memanjat agar aku bisa mempelajari gerakannya dengan saksama. Tangan dan kakinya kompak bekerja sama, luwes bak penari yang mengayunkan sampur di sela-sela pergelaran wayang. Ia melompati kawat-kawat duri dengan apik, dan mendarat dengan selamat.
“Giliranmu, Fer!” seru Faza. “Ayo cepat, jangan sampai kau baru setengah jalan tapi salat sudah selesai,”
Baik. Aku menghela napas. Bukan saatnya bagiku untuk takut. Kebebasan menanti di depan mata, hanya tinggal menirukan cara teman-teman baruku ini memanjat, aku bisa mencecap udara dunia luar. Mungkin setelah salat nanti aku akan mengobati rinduku pada rasa nasi goreng dan segelas es jeruk. Butir-butir nasinya yang merah menyala akan kukunyah perlahan karena aku ingin benar-benar menikmatinya sebelum masuk ke perut dan akhirnya menjadi tinja. Akan kuteguk es jeruk itu dengan segenap rasa haus, seolah sudah bertahun-tahun aku tidak minum. Setelah semua itu, akan kututup pemberontakan ini dengan mengisap rokok sebanyak yang kubisa. Sempurna.
“Hei, bocah! Kau jadi ikut tidak?!” bentak Arif tak sabar. “Ayo cepatlah!”
“I-Iya, iya. Jadi,”
Oke, baiklah. Ini saatnya. Aku mulai meniru gerakan Faza, menapaki bata demi bata yang bisa dipijak. Semua dalam kendali. Ternyata tidak sesulit yang kupikirkan. Tidak heran banyak santri yang memilih pagar ini untuk jalan pintas saat izin keamanan terlalu ketat. Tanganku meraih bata selanjutnya, satu per satu. Hati-hati dan sepenuh hati. Ada perasaan senang sekaligus tegang yang anehnya amat memikat, mungkin mirip sensasi bermain judi dengan taruhan hidup dan mati. Aku hendak mengambil ancang-ancang untuk melompati kawat-kawat duri itu saat tiba-tiba terdengar teriakan.
“Hei, Kang! Turun kau! Turun sekarang!”
Jantungku seperti mau copot. Sial! Aku tahu persis itu suara Kang Faruq, ketua keamanan pesantren yang pernah memukul santri yang pacaran sampai rusak mukanya. Meski dari kejauhan, teriakan itu jelas sekali, membuat Faza dan lainnya yang sudah berada di luar pesantren berlari lintang pukang, meninggalkanku di sini. Tanganku berkeringat dan gemetar. Ada pergulatan hebat di saraf-sarafnya, antara menuruti kata hati untuk lanjut melompat atau tunduk pada teriakan itu. Tapi aku tidak punya banyak waktu untuk berpikir!
“Turun kau! Sekarang!” ulangnya, dengan nada yang lebih tegas. Aku berdecak keras. Tangan dan kakiku mengkhianati tuannya dengan menuruni pagar pesantren, lalu dengan menyedihkan berjalan menghampiri Kang Faruq. Sial!
***
“Oh, begitu. Jadi benar, kau keluar sendirian?”
“Iya, Kang,”
“Kalau begitu, bisakah jelaskan padaku di mana Faza, Rian, Arif dan Candra? Barusan aku mengerahkan keamanan untuk mengabsen seluruh santri putra. Mereka berempat tidak ada di pesantren, tidak ada juga di daftar santri yang izin pulang,”
“Tidak tahu, Kang.”
“Jangan menutup-nutupi, Fer. Mana omong kosongmu soal kebebasan tadi? Kalau kau bisa bebas berkata jujur, kenapa kau tutup mulut?”
Aku menunduk. Tanganku mengepal kuat. “Tahu apa sampean soal kebebasan? Bukankah peraturan-peraturan serba mengekang di pesantren ini sampean yang buat? Semua tetek bengek pesantren ini seolah hanya milik keamanan saja!”
Kang Faruq terdiam. Aku sudah siap dihajar, tapi ia malah tertawa kecil. “Begini, ya, Feri. Coba kutanya satu hal. Kalau kau memang ahli sekali mengoceh tentang kebebasan, kenapa kau tak jadi ateis saja?”
Aku mengernyitkan dahi. “Kenapa ateis?”
“Ateis tidak bertuhan. Kau tidak perlu repot-repot salat lima waktu, tidak perlu berbakti pada dua orang tua, dan kau bisa hidup semau-maumu. Kau tidak perlu nyantri di pesantren ini, kau tidak harus menyembah siapa-siapa atau apa-apa. Kau bebas sebebas-bebasnya. Kenapa kau tidak jadi ateis saja?”
Aku termenung beberapa detik. Sungguh diluar dugaanku kalau sosok bertangan besi di depanku ini ternyata tidak hanya pintar dalam hal membuat muka orang lain benjut. Mungkin pengalaman menjadi pengurus pesantren bertahun-tahun di divisi yang sama membuatnya semakin paham beragam watak santri, termasuk seorang begundal tanggung sepertiku.
“Hei! Kau ini bisa menjawab, tidak?!” sentak Kang Faruq.
Aku terdiam, menunduk. Tidak, aku sama sekali tidak takut. Aku hanya bingung harus menjawab bagaimana. Aku memutar otak sejenak.
“Karena aku sudah ditakdirkan menjadi muslim,” jawabku sekenanya.
“Takdir ada dua macam, Nak. Yang bisa diubah dan yang pasti. Kau pasti mati, tapi kau bisa mati sebagai seorang muslim atau seorang ateis. Identitasmu itu termasuk yang bisa diubah, sama halnya dengan orang beragama Kristen yang memutuskan memeluk Islam, atau sebaliknya. Kalau ingin pindah, ya pindah saja. Gampang, kan?”
Aku mati kutu. Sungguh mati kutu. Sosok di depanku ini ternyata bisa membuatku merasa bodoh hanya dalam hitungan menit. Aku curiga dia sebenarnya hanya mengutip kata-kata dari buku atau film religi, tapi tetap saja aku tak bisa bicara—bahkan kata-kata telah ikut berkhianat meninggalkanku.
“Kebebasan yang selama ini kau ocehkan itu hanya omong kosong, Fer. Camkan itu! Kau cuma santri baru yang malas menaati peraturan pesantren, lalu menjadikan pengurus keamanan sepertiku sebagai kambing hitam. Iya, kan?”
Aku diam. Alih-alih membantah anggapan itu, aku justru bertanya pada diri sendiri: mungkinkah begitu?
“Sudah, sidang ini sudah jelas dari awal. Kau tertangkap basah saat hendak keluar pesantren. Ayo, kucukur gundul dulu, setelah itu berdiri di lapangan, baca Al-Qur’an selama tiga jam, dan besok mulai menyapu halaman pesantren selama satu minggu.”
Kang Faruq bangkit, menyambar mesin cukur yang sudah ia siapkan sejak menungguku di kantor pesantren ini. Ia menyalakan mesin itu dan dengan bahasa isyarat menyuruhku mendekat.
“Lepas bajumu. Sayang kalau kena rambutmu yang penuh kutu itu,”
Aku melepas kaosku. Dengan harga diri yang runtuh, kebodohan yang utuh, serta dada yang telanjang, aku mendekat. Mesin cukur itu mulai bergerak. Kulihat rambutku luruh perlahan seperti daun yang jatuh dari pepohonan. Dan Kang Faruq mestilah tangkas dalam hal cukur-mencukur—tak terhitung lagi berapa kepala yang telah ia atasi. Hanya butuh lima menit baginya untuk menghabisi rambut pendekku.
Selesai dicukur gundul aku lekas berwudu, lalu mengambil Al-Qur’an di kamar. Tak kuhiraukan teman-teman yang menyapaku dan bertanya apa yang terjadi. Aku hanya ingin semua kesialan ini segera berakhir. Aku berdiri di lapangan pesantren, melakukan hukumanku. Toh, kelihatannya Faza dan gengnya itu akan menanggung hukuman yang sama denganku, sebab Kang Faruq telah mengabsen kehadiran santri di pesantren, dan mereka hilang tanpa keterangan.
Esoknya, dugaanku terbukti. Mereka kembali saat Subuh, dan paginya mereka mendapat panggilan keamanan. Hanya berjarak beberapa menit setelah panggilan itu melayang dari pengeras suara pesantren, Arif mendatangiku di kamar. Tubuh kecilnya itu mencak-mencak. “Kau menyebut namaku, ya?! Apa-apaan kau, bocah!”
“Apa gunanya juga aku menyebut namamu! Tidak bermanfaat!”
“Bilang apa kau?!”
Arif mendorongku kasar. Aku mungkin sudah mendorongnya balik kalau Faza tidak datang menengahi. “Sudah, Rif! Dia tidak ada hubungannya dengan pemanggilan kita. Kemarin malam Kang Faruq mengerahkan pengurus keamanan untuk mengabsen satu pesantren. Kita tidak ada. Itulah sebabnya kita dipanggil. Sekarang kita tinggal mengarang cerita yang menarik, berhubungan, dan masuk akal. Selesai urusan,”
“Tentu ada! Kang Faruq tidak akan mengadakan pengabsenan kalau bocah ini tidak ketahuan memanjat pagar belakang!”
Arif menatapku dengan napas memburu, seolah ingin memakanku bulat-bulat. Kemudian ia melangkah pergi.
“Bocah laknat!” rutuknya dengan muka merah padam.
“Jangan dipikirkan, Fer. Arif memang begitu orangnya. Besok-besok ia pasti sudah lupa masalah ini,” terang Faza. “Lagipula, berkatmu akhirnya keamanan tidak menganggur, kan?” selorohnya, yang ternyata berhasil memancing tawaku.
“Minggu depan kau mau coba lagi atau sudah?”
“Kau serius?” terkejut juga aku mendengar ajakannya.
“Kenapa tidak? Ibarat bajing, kemarin itu kau itu jatuh karena masih pertama kali loncat. Tanganmu masih kaku, hatimu masih ragu. Jadi santri nakal itu juga harus yakin, Fer!”
Aku ingin tertawa, tapi raut muka Faza menyiratkan kalau ia serius.
“Kemarin sebelum memanjat pagar, kau baca bismillah dulu atau tidak?”
Aku menggeleng. “Memang perlu? Kita, kan, sedang melanggar peraturan pesantren?”
“Nah, ini, makanya kubilang statusmu itu bajing junior. Masih perlu dibimbing,”
“Kalau aku junior, berarti statusmu bajing senior, ya?”
“Bukan, bajing senior itu Arif, Candra, dan Rian. Aku bukan bajing senior lagi, tapi sudah jadi bajingan,” Faza tersenyum bangga. “Bagaimana, tertarik mencoba lagi minggu depan?”
Aku berpikir sejenak. Wiji Thukul dikenang karena keberaniannya menentang pemerintahan yang lalim dengan kata-kata. Terdengar keren dan puitis. Aku? Kalaupun besok aku mencoba memanjat pagar itu lagi dan berhasil, mungkin aku akan dikenang sebagai santri mbeling yang melanggar aturan pesantren. Astagfirullah, terdengar norak dan konyol sekali! Aku spontan menggelengkan kepala.
“Tidak, aku di sini saja…,”
*UBAIDILLAH, lahir di Jember, 2 Agustus 2001. Beralamat di Desa Kayen Kidul, Kecamatan Kayen Kidul, Kabupaten Kediri, ia telah menekuni dunia literasi sejak masih di bangku madrasah, dan telah menulis beberapa karya yang dimuat di majalah pesantrennya, Al-Fikrah, di beberapa edisi; seperti Menari dalam Gelap, Lia oh Lia, Mahsa; Dua Pisang Susu, dan sebagainya. Dapat disapa di media sosial: Ubaidillah El-Qoyz (Facebook), atau elqoyz1 (Instagram), atau lewat email: elqoyz1@gmail.com