ERU COKRO: RATU ADIL
/1/
dengan sesajen sekar tujuh warna, cok bakal, tumpeng tujuh rupa
kuikatkan mimpi sejarah dan ramalan penunggu kuncen sebagai harapan
dan peta primbon saat kalian harus mencari firdaus
yang di tanahnya tumbuh pepohonan berdaun emas serupa kerling bidadari
maka berjalanlah,
dari tempat ini kalian harus menapak serupa ikan yang meloncat kegirangan
sebelum menghanyutkan diri ke dalam derasnya kali
arus yang menghanyutkannya dari sebuah tepian ke batas yang lain
lihatlah, di tepian itu ada yang berkedip menyerupai kunang
menyerumu, “ayo ikuti lampuku.aku kutunjukkan istana tempatmu kelak berdiam dengan anak cucumu!”
: itukah altar itu?
/2/
perempuan itu berambut panjang terurai.telanjang dalam sepi.paras mukanya jelita. tak tua tak muda
:” telah kuronce seikat kembang dengan doa dan jampi-jampi”.
- Iklan -
kalian pun akan sibuk bertanya tentang asal-muasalnya
dengan cemas menerka perempuan itukah yang kelak menyusui sejarah
yang menudingkan segala kuasa ramalan : itulah ratumu !
perempuan itu tak pernah sudi menjawab
rambutnya berkibaran menjadi sarang meditasi
segala daun yang berguguran
:engkaukah ibu yang melahirkan para ratu?
perempuan itu cukup tersenyum dan menampung semua gerimis
angsa-angsa berenang di telapak tangannya bertelur emas di helai-helai rambutnya
/3/
di sebuah pagi sapi-sapi melenguh
burung-burung jalak turun dari gunung-gemunung
berkabar sebuah perahu menyusuri riak sungai
konon bertabur mata bintang-bintang
“demi masa, telah tibakah pewaris itu?”
perempuan jelita berparas tak tua tak muda dengan rambut terurai
tubuh telanjangnya menjemput pagi beranjak ke tepian sungai
sebuah perahu tertambat.seseorang tak laki-laki tak peremuan. mungkin siwa, wisnu atau mesiah
dan dua orang kembar sedang menuliskan kitab-kitab mantra dan menembangkan kidung
seseorang tak laki-laki tak perempuan di perahu itu menari dan bertanya
: “engkaukah ibuku yang mencatat ramalan-ramalan itu?”
perempuan jelita dangan rambut terurai itu menunjukkan jarinya
: “engkaulah pewaris itu. ratu yang dipingit oleh waktu!”
dua orang kembar di atas perahu menggumamkan mantera pangruwat driyu dan berkata
: “inilah saatnya matahari kembali menyinari bumi menyibak asap menguak kabut
saatnya awan menyusun pelangi dengan kerlip cahaya embun !
sejarah itu sampai, ramalan itu telah tiba!”
kabar itu berdengung seperti lebah.bergaung di gunung-gunung. bergema di pelosok hutan
didendangkan segenap burung dan satwa hingga di desa, sungai dan tebing-tebing
orang-orang berduyun-duyun menuju perahu. perempuan-perempuan menjinjing sinjang,
segenap lelaki melompat berlari, bocah-bocah menyimpan tangisnya menari berarak-arak
: “ramalan itu tiba.ramalan itu tiba.kitab-kitab itu telah menunjuk pewaris itu
Ratu Adil itu tiba dengan mantra dan wangi yang wingit. sejarah itu tiba!”
mereka pun berangkat.melajulah perahu susuri kali.susuri hutan.susuri desa dan kota
ribuan orang seperti kura-kura menggenangi jalan dan sungai.menunjuk arah mengarah peta
laju lajulah perahu.satu perahu diikuti sampan.dikutit rakit.seribu perahu.
seribu sampan.seribu rakit
nama itu diteriakan
: “Eru Cokro, Eru Cokro Sang pewaris. Ratu Adil penerang jagat pamekang bumi!”
kitab itu telah mencatatnya.kuasa ramalan itu menudingnya.
ngawi-tlatah ketonggo srigati
MALAM INI KUBENTANG KAIN KAFANKU, BUATMU TUHAN
saat bumi berpihak pada yang bernama senyap
lebih intim kukenal bau kekal tertiup dari arah mata angin tak terduga
menggendong sejarah pilu yang kelak dipahatkan pada batu nisanku
mengingatkan pada kepingan-kepingan waktu yang terpingkal-pingkal
malam ini, Tuhan, saat tak ada lagi yang mampu menjerat waktu
kubentang kain kafanku sebagai sajadah yang terhampar
pada garis khatulistiwa hingga ke pesisir cakrawala
buatku beringsut dan melata mencoba ciumi ujung terompahMu
ujung kain kafan lusuh itu akan kuikat dan kukibarkan
sebagai bendera dan panji-panji menyertaiku
saat harus melata mengingsut ke hadapanMu
dari arah sisi paling utara
Yaa, Allah, betapa kain kafan ini
melulur memanjang.penuh duri dan pecahan kaca
menoreh perih luka pada sepanjang tarikan nafas
memaksaku merintih di tiap inci demi inci
saat melata ke arah jejak terompah kakiMu
lihat ini, yaa Allah, saksikan telah kurambah bau kekalMu
memanggul sejarah yang tak mungkin kupungkiri
Yaa, Allah. Yaa Rahman, aku bukanlah Rabiah al Adawiyah
yang sanggup berpihak pada cinta hingga sanggup berdoa
:” jika aku menyembahMu sebab takut nerakaMu, maka bakarlah
aku dengan neraka itu. Dan jika aku aku menyembahMu karena sorga
maka haramkan sorga itu bagiku. Izinkan aku menyembahMu karena cinta”
aku juga bukan seorang Rummi, yaa Allah
yang selalu menari dalam irama isyq
yang mampu mengubah mati menjadi rindu
sebab cinta yang menggelora padaMu
aku pun bukan seorang Umar bin Khattab, ya Allah,
yang dengan pedangnya sanggup membelah matahari
saat kedhaliman jadi bumbu sehari-hari di bumi
aku bukan mereka, yaa Allah, tak sanggup seperti mereka
cuma sekedar seorang penyair yang selalu gagap mengulang kata-kata,
hanya seekor kepompong yang selalu tak pernah tuntas jadi kupu-kupu,
cuma sekedar musafir yang gagal mengingat alamat rumahnya kembali
lihat ini, yaa Allah
seorang penyair yang selalu berlari sembunyi pada sunyi
saat tak mampu menjawab teka-teki rahasia waktu,
selalu buta dan tuli mendengar tangis yang jadi orkesta di bumi,
bahkan di tanahnya sendiri bernama: indonesia
yang tak sanggup jadi pahlawan
selalu keliru menerjemahkan angin dan musim
bahkan gagal menerka guratan tangannya sendiri
penyair ini, yaa Allah,
adalah kuda beban yang bebal
selalu merasa renta seperti daun kering
diseret tiupan angin ke arah sungai-sungai
memaksanya berkaca di air menatap sekujur tubuh mukanya
penuh nanah luka berdebu
malam ini, Tuhan
saat bumi telah berpihak pada yang bernama senyap
saat begitu kukenal bau kekal bertiup dari arah mata angin tak terduga
saat tak ada lagi yang sanggup memikat waktu
kubentangkan kain kafan lusuhku ini dan kukibarkan
ssebagai bendera panjiku saat aku harus melata beringsut ke hadapanMu
dari arah paling utara.
SELEMBAR DAUN
Selembar daun itu melayang gugur
Kemana rebahnya?
Detik jam kabarkan keabadian yang beku
Kemana hati berpeluk saat waktu meniupkan kabut
hati yang luka tak mungkin lagi dilabuhkan
Laut selatan mendeburkan rindu
Selembar dau melayang gugur mungkin kelak rebah di pesisir basah
entah di ceruk tepian mana
Seseorang termangu di ujung rindu menyusun alinea-alinea
merangkum musim, sampan kertas dan dermaga-dermaga
dalam bait puisi yang hanya sempat dihanyutkan riak seribu laut.
Ngawi-pacitan-Wonogiri
PARANGKUSUMO
Debur ombak membawa bongkah kayu, pecahan dayung serta sobekan layar
bayang-bayang menjelang senja memotretmu
wajahmu ungu.rambutmu tergerai melambai pada angin
leher dadamu bertaburan butir-butir keringat seperti mutiara mengintip di balik kerang
di alis dan kelopak matamu kulihat bayang-bayang firdaus
malaikat dan peri yang menari tayub bedhaya
: engkaukah itu, nini? engkaukah itu, nimas?
Gelisah itu kekal seperti sejarah para perompak laut
pasir-pasir di pesisir mendaraskan wuyung asmaradhanamu
jejak-jejak katresnan yang wingit
ngawi-parangkusumo
EPIGRAM TENTANG MATI
Seseorang berjingkat menyelinap diam-diam dalam hitam
mengucap salam dan memberangus kata-kata
-ngawi di sebuah makam-
*TJAHJONO WIDARMANTO, Lahir di Ngawi, 18 April 1969. Meraih gelar sarjananya di IKIP Surabaya (sekarang UNESA) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, sedangkan studi Pascasarjananya di bidang Linguistik dan Kesusastraan diselesaikan pada tahun 2006, pernah studi di program doktoral Unesa.
Buku puisi terbarunya PERCAKAPAN TAN dan RIWAYAT KULDI PARA PEMUJA SAJAK (2016) menerima anugerah buku hari puisi Indonesia tahun 2016. Bukunya yang terbit terdahulu : PENGANTAR JURNALISTI;Panduan Penulis dan Jurnalis (2016), MARXISME DAN SUMBANGANNYA TERHADAP TEORI SASTRA: Menuju Pengantar Sosiologi Sastra (2014) dan SEJARAH YANG MERAMBAT DI TEMBOK-TEMBOK SEKOLAH (2014), MATA AIR DI KARANG RINDU (buku puisi, 2013) dan MASA DEPAN SASTRA: Mozaik Telaah dan Pengajaran Sastra (2013), DI PUSAT PUSARAN ANGIN (buku puisi, 1997), KUBUR PENYAIR (buku puisi:2002), KITAB KELAHIRAN (buku puisI, 2003), NASIONALISME SASTRA (bunga rampai esai, 2011),dan DRAMA: Pengantar & Penyutradaraannya (2012), UMAYI (buku puisi, 2012).