Oleh Hamidulloh Ibda
Saat menjadi peserta delegasi dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) ke-VIII di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur pada 2-5 Maret 2021, ada penjelasan menarik yang perlu saya kaji. Ya, penjelasan itu tentang radikal dan radikalisme yang disampaikan Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol R Ahmad Nurwakhid, S.E, M.M., dalam forum penutupan Rakernas tersebut.
Memang, kalau ngomong pengertian, makna, definisi, arti, bergantung menggunakan kacamata apa. Bisa bahasa, istilah, pendapat pakar, atau pendapat di dalam literatur. Soal radikal juga banyak definisi.
Radikal menurut KBBI V versi daring pun beragam. Mulai dari secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip), amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan) dan maju dalam berpikir atau bertindak. Dalam filsafat, radikal dalam konteks berpikir dan mendapatkan kebenaran sangat diutamakan. Artinya pengarusutamaan radikal dalam filsafat menjadi sebuah keniscayaan. Tanpa ada radikalisasi dalam mendapatkan kebenaran, maka sebuah ilmu pengetahuan akan stagnan bahkan mengalami kemunduran.
- Iklan -
Radikal dalam konteks filsafat, metode berpikir, dan telaah penelitian tentu berbeda dengan pengertian radikal yang berkembang saat ini. Selain sudah ada labelisasi buruk dan bertentangan dasar negara; Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945, radikal sudah ditolak secara kelembagaan dan menjadi sebuah semboyan.
Munculnya manifesto “Menolak Segala Bentuk Radikalisme”, “Antiradikalisme” semakin melabeli bahwa kata “radikal” itu buruk. Padahal orang yang memahami filsafat tentu akan tertawa melihat pengertian yang salah tersebut. Maka dari itu, butuh pelurusan makna bahwa radikal berpikir dan radikal terorisme itu berbeda.
Ahmad Nurwakhid di atas sebenarnya sudah mencoba meluruskan perbedaan antara radikal berpikir dan radikal terorisme. Salah satu ciri radikal terorisme baginya adalah sensitif. Artinya, sensitif itu ibarat api yang mudah menjalar membakar benda di sekitarnya. Selain sensitif, temperamen juga menjadi ciri orang yang cenderung radikal terorisme. Apalagi dengan orang nonmuslim, kafir, pasti mudah dikafir-kafirkan. Inilah indikator orang yang sudah terpapar radikal terorisme yang jelas berbeda dengan radikal berpikir.
Ciri lain menurut Nurwakhid, bahwa orang yang radikal terorisme juga memiliki karakteristik indisipliner dalam urusan kenegaraan. Selain indisipliner, mereka juga insubordinasi, melawan pimpinan. Sudah indisipliner, melawan pimpinan pula.
Orang yang bercorak radikal terorisme juga militan, namun tidak mau ditangkap ketika mereka indisipliner atau terbukti bersalah. Corak lain yang dapat dideteksi adalah adanya falsifikasi atau pemalsuan agama yang dijadikan sebagai kedok, topeng, atau tameng mereka.
Indikator terorisme memang cenderung bertopeng agama. Terorisme itu tindakannya. Radikalisme itu fahamnya atau fase menuju terorisme. Semua teroris pasti bersifat intoleran. Tapi tidak semua radikalisme itu menuju terorisme. Tapi kalau terorisme itu pasti radikal. Inilah pendapat Nurwakhid yang masih saya ingat dan tulis dalam tulisan ini.
Perlu dipahami juga bahwa radikal terorisme itu ada di semua agama, tidak mengarah kepada satu agama tertentu, utamanya Islam yang selama ini menjadi “korban”. Penegasan ini perlu ditekankan karena terorisme bukan pada agama tertentu dan itu ada di setiap jiwa manusia. Jadi jelas Islam bukanlah sumber terorisme
Nurwakhid juga menegaskan bahwa hakikatnya terorisme itu extraordinary crime dan dapat dilakukan siapa saja. Bukan mengerucut pada agama tertentu. Kebetulan saja di Indonesia mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Padahal tidak demikian. Karena terorisme dapat terjadi di mana saja dan di mana saja.
Ketika demikian, bagaimana solusinya? Pertama, mengubah paradigma bahwa radikal itu tidak selamanya buruk. Kedua, perlu pemahaman dan pembedaan antara radikal berpikir dan radikal terorisme.
Ketiga, khusus untuk radikal terorisme yang sudah mengakar menjadi sebuah ideologi, perlu pendekatan khusus untuk menghilangkannya. Sebab, ideologi radikal itu bisa hilang kalau tergantikan dengan ideologi lain selain ideologinya. Kalau tidak seperti itu ya susah hilang.
Keempat, perlunya penguatan tasawuf, baik akhlaki atau tasawuf batiniyah. Sebab, menurut pengalaman Nurwakhid, ideologi yang dapat menghilangkan ideologi teror itu tasawuf, bukan sekadar syariat saja. Dalam berislam tidak boleh parsial dan harus lengkap. Mengaplikasikan enam rukun iman, lima rukun Islam dan juga ihsan. Untuk menjadi muslim yang kaffah, paham tasawuf dan beragama tidak sekadar syariat saja, diperlukan mendalami agama lewat perantara kiai atau guru yang jelas.
Kelima, perlunya sanad keilmuan dan guru atau kiai yang jelas. Bukan hanya guru syariat tapi juga guru dalam tasawuf. Misal ada muallaf, kita lihat ustaznya. Kalau ustaznya radikal ya ia jadi radikal. Kalau ustaznya intoleran maka ya jadi intoleran. Kalau ustaznya rahmatallillamin ya ia jadi rahtamallillamin atau moderat.
Saya kira demikian sedikit rangkuman dari pidato Nurwakhid yang sedikit saya tambahkan beberapa pendapat. Tentu ini menjadi hal baru bagi yang sudah terpapar radikal terorisme. Namun menjadi barang lama bagi pencinta filsafat. Lalu, kita ini termasuk radikal berpikir, radikal terorisme, atau keduanya?
-Penulis adalah Ketua Bidang Media Massa, Hukum dan Humas Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah.