Oleh Hamidulloh Ibda
Ditetapkannya Jumat sebagai “Hari Minum Kopi” bagi warga Temanggung menjadi aroma baru untuk meneguhkan bahwa selain Kota Tembakau, Temanggung adalah “kota kopi”. Bukan tanpa alasan, Bupati Temanggung Muhammad Al Khadziq, melalui Surat Edaran Bupati Nomor 500/513/IX/2019 menetapkan hari Jumat sebagai Hari Minum Kopi yang tertanggal 19 September 2019 ini menunjukkan pemerintah semakin berpihak pada petani, penjual, dan pebisnis kopi.
Surat edaran itu dikeluarkan bersamaan dengan pembukaan Festival Kopi Temanggung ke-5 bertajuk “Karena Kopi Aku Kembali”. Surat itu tidak sekadar teks mati, namun menggerakkan potensi lokal karena dikirimkan kepada kepala badan/dinas kantor, instansi vertikal, camat, kepala desa/kelurahan, pimpinan BUMN/BUMD, pimpinan perbankan dan perusahaan swasta di Temanggung. Artinya, Pemkab Temanggung semakin gandem dalam mengangkat potensi lokal dan mengedukasi masyarakat untuk mencintai produk pribumi.
Masyarakat dari berbagai profesi dan usia tampaknya harus bergegas memahami secara mendasar, bahwa kopi harus dijadikan “minuman di negeri sendiri”. Kopi bukan alkohol, tidak memabukkan, namun kopi menjadi sumber inspirasi bagi penikmat, dan sumber rezeki bagi petani. Kopi dari berbagai sudut pandang memiliki berbagai filosofi yang tak pernah selesai dituliskan. Baik dari sisi ekonomi, edukasi, filsafat, hingga bahasa dan budaya.
- Iklan -
Temanggung Kota Kopi
Selain tembakau, Temanggung merupakan daerah dengan penghasil kopi yang tinggi dari daerah-daerah lain di Jawa Tengah dan umumnya di Indonesia. Ada beberapa alasan mendasar mengapa Temanggung laik dinobatkan atau dideklarasikan sebagai kota kopi. Pertama, selain dari segi kuantitas, kopi Temanggung secara kualitas sangat bergengsi di kancah internasional. Kopi arabika Temanggung telah diakui dunia, karena mengungguli kualitas kopi Meksiko dan Cina. Saat ini kopi robusta Temanggung juga unggul di tingkat nasional karena mengalahkan kintamani dan gayo dari Aceh.
Kedua, banyaknya lahan kopi di tiap kecamatan yang melahirkan cita rasa sendiri dari daerah tersebut. Khususnya kopi-kopi unggulan yang berasal dari lereng Gunung Sindoro, Sumbing dan Prau. Data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Temanggung (2017) menyebut luas areal tanam kopi arabika di Temanggung sekitar 1.800 hektare. Sedangkan luas tanam kopi Robusta mencapai 11.000 hektare. Adapun produktivitas kopi rata-rata 5 ton per hektare.
Data Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) sampai Mei 2019 menyebut hasil panen kopi di Indonesia dapat mencapai 11,5 juta kantong, atau 690.000 metrik ton sampai Juli 2019. Jumlah itu tercatat bertambah lebih dari lima persen dibandingkan dengan tahun 2018 berdasarkan data Departemen Pertanian Amerika Serikat (AS). Data itu dihitung sejak panen yaitu bulan April sampai Juni dan Juli 2019.
Di Temanggung sendiri, Bidang Perkebunan, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan, Kabupaten Temanggung menyebut tahun 2019 ini ada peningkatan produktivitas kopi karena pengaruh cuaca. Tahun 2018, hasil panen kopi hanya sekitar 7 sampai 9 kuintal per hektar. Tahun ini, peningkatannya, sekitar 3 sampai 5 kuintal kopi gelondong basah per hektar (Magelangekspres.com, 19/4/2019).
Sekarang tinggal dikalikan saja, jika lahan di temanggung puluhan hektare, tentu tiap tahun ada puluhan ton kopi dari Temanggung. Dengan luas lahan yang melimpah, dari tahun ke tahun jumlah panen kopi di Temanggung selalu naik tinggi. Hal itu tentu memberi sumbangsih besar pada ekspor kopi di skala nasional.
Ketiga, kopi Temanggung baik jenis robusta, arabika, dan lainnya menggondol sejumlah kejuaraan di berbagai perhelatan nasional maupun internasional. Seperti kopi robusta Temanggung Juara 1 Kontes Kopi Spesialti Indonesia ke-9 pada 19 Oktober 2017 di Grand Sahid Jakarta, juara ajang Speciality Coffee Association of America (SCAA) pada 14-17 April 2016 di Atlanta, Georgia, Juara I dan II Kontes Kopi Spesialti Indonesia ke 10 di Jogjakarta, pada proses penjurian final yang bertempat di Filosofi Kopi Jogjakarta pada 17-19 Oktober 2018, dan sederat kejuaraan lain di tingkat lokal maupun nasional.
Keempat, munculnya banyak brand kopi lokal Temanggung. Pada 2017 ada 60 brand kopi Temanggung, sampai 2019 saya kira hampir ratusan brand lebih. Sebab, tiap petani memiliki ide dan geliat menjual kopi bubuk yang dipasarkan di mana saja.
Anak-anak muda, pelajar maupun mahasiswa juga bergeliat berbisnis kopi bubuk melalui media siber, media sosial maupun e-commerce dengan membuat akun sendiri. Harganya pun variatif, mulai dari Rp 10.000, Rp 20.000, hingga ratusan ribu. Geliat itu sudah kentara sejak Kopi Mukidi khas Temanggung viral di kancah nasional. Artinya, apa yang dilakukan Mukidi dan sahabat-sahabatnya perlu didukung untuk mendeklarasikan Temanggung sebagai kota kopi.
Kelima, banyaknya forum dan festival kopi skala lokal atau nasional yang didominasi kopi Temanggung menjadi bukti bahwa Temanggung memang surganya kopi. Dengan demikian, semakin jelas bahwa Temanggung laik menyandang sebagai “kota kopi”.
Forbes (2018) merekomendasikan enam kota di dunia yang memiliki kopi paling enak. Mulai dari Vienna Austria, Ho Chi Minh City Vietnam, Milan Italia, Sao Paulo Brazil, Istanbul Turki, Jakarta Indonesia, Seattle Washington AS. Harusnya, kopi Temanggung juga masuk di dalamnya, karena cita rasa dan kualitas kopi Temanggung sudah teruji. Jadi, sudah saatnya brand “Temanggung Kota Kopi” harus digelorakan.
Budaya Ngopi dan Literasi
Gagasan atau manifesto untuk mendeklarasikan Temanggung sebagai “kota kopi” perlu didukung semua elemen. Pemkab Temanggung telah menggelorakannya melalui penetapan Jumat sebagai Hari Minum Kopi yang intinya mengajak warga Temanggung mempromosikan sekaligus mencintai kopi Temanggung. Ketika warga Temanggung sudah mencintai dan mengonsumsi kopinya sendiri, otomatis tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat perkopian baik petani, perajin maupun pedagang kopi Temanggung tak lagi menjadi mimpi.
Dengan bergeliatnya budaya ngopi yang dipelopori Bupati Temanggung, harusnya diimbangi dengan budaya literasi. Kopi sebagai Sumber Daya Alam (SDA), literasi menjadi kunci majunya Sumber Daya Manusia (SDM). Untuk itu, kedua budaya ini dapat mendukung cita-cita menaikkan gengsi “kota kopi” di Temanggung.
Rumus majunya peradaban bangsa menurut World Economic Forum (2016) ditentukan tiga hal, yaitu kompetensi, karakter, dan literasi. Maka, di sini bisa ditambah menjadi empat pilar, yaitu kompetensi, karakter, literasi, dan kopi. Penguatan SDA kuat, sekaligus SDM juga kuat. Keduanya menjadi kunci memajukan Temanggung.
Ada beberapa formula dapat dilakukan. Pertama, penguatan SDM melalui literasi dengan memajukan potensi kopi. Adanya forum selapanan, tadarus ngopi, ngobrol pintar (ngopi) yang dilakukan para pebisnis, petani, maupun penikmati kopi harus diberi ruang agar mereka melahirkan ide-ide bernas untuk memajukan perkopian di Temanggung.
Kedua, perlu diperbanyak warkop, angkringan, kafe atau sejenisnya yang merakyat berbasis literasi. Artinya, budaya nongkrong, kongkow, harus diimbangi dengan membaca buku, diskusi, dan kegiatan lain yang memberi makanan intelektual pada otak. Sebab, dari kopi banyak ide-ide kreatif bermunculan dan hal ini sudah diakui di dunia akademik.
Ketiga, perlu adanya perlombaan literasi berbasis kopi atau perlombaan kopi berbasis literasi. Tujuannya jelas, ada data, informasi, sejarah, teori, konsep dan ide tentang kopi khas Temanggung yang menjadi khazanah kuliner yang tidak dimiliki daerah lain. Keempat, perlu kegiatan besar dengan konsep sederhana yang intinya mendeklarasikan diri untuk menjadikan “Temanggung Kota Kopi”.
Dengan demikian, Temanggung yang serba lengkap dengan berbagai keunggulan dan potensi kopi dapat menjadi argumentasi logis bahwa Temanggung memang kotanya kopi. Jika berbicara tembakau, Temanggung gudangnya. Jika berbicara kopi, Temanggung juga gudangnya. Maka, sudah saatnya kita gelorakan bahwa Temanggung adalah “kota kopi”. Jika tidak sekarang, njuk kapan lagi?
-Tulisan ini pernah dipublikasikan di Majalah Bhumi Phala Edisi November 2019.
Penulis adalah Penikmati kopi dan pengampu mata kuliah Teacherprenuership Dasar STAINU Temanggung