Oleh: Imam Syafi’i
Bicara soal pendidikan di Indonesia, itu berarti kita harus mundur satu abad lebih kebelakang. Pendidikan di Indonesia tentu tidak bisa lepas dari pengaruh yang muncul akibat politik etis yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Politik Etis (Eties Politiek) atau politik balas budi, sebenarnyamerupakan respon kebijakan pemerintah Belanda terhadap kritikan kaum humanis atas pelaksanaan sistem tanam paksa (Cultulstelsel).
Pelaksanaan Politik Etis diawali dari kecaman sekaligus kritik golongan Humanis dan Intelektual Belanda, juga beberapa politikus terhadap politik tanam paksa yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van Den Bosch. Pelopor Politik Etis adalah Pieter Broshooft (wartawan koran De Locomotief) dan Conrad Theodore Van Deventer (Politikus). Sebenarnya, pelopor politik etis bukan hanya kedua orang tersebut. Masih banyak tokoh-tokoh lain yang berperan di dalamnya. Tapi, kedua orang itu sampai saat ini dinilai sebagai inisiator pelaksanaan Politik Etis.
Latar belakang munculnya kritik dari kedua orang tersebut adalah kebijakan tanam paksa yang sukses memakmurkan negeri Belanda dengan kekayaan yang melimpah, tapi disisi lain membuat rakyat Hindia Belanda dalam keadaan terpuruk dan dihantui kemiskinan serta kelaparan selama bertahun-tahun. Van Deventer berpendapat bahwa setiap kemakmuran yang dinikmati oleh rakyat Belanda adalah hasil jerih payah rakyat jajahan yang dipaksa untuk menanam komoditas ekspor bagi pemerintah kolonial. Setiap fasilitas yang ada di negeri Belanda dibangun dari darah, pengorbanan, dan penderitaan rakyat jajahan. Maka, sudah seharusnya pemerintah Belanda lebih memerhatikan nasib rakyat jajahannya. Pemerintah Belanda punya hutang kehormatan kepada rakyat jajahan atas semua kemakmuran yang telah diterima. Jika pemerintah Belanda masih memiliki kehormatan, maka hutang itu harus dibayarkan dalam bentuk perhatian yang lebih kepada rakyat jajahannya. Begitulah sederhananya alasan dibalik pemberlakuan Politik Etis.
- Iklan -
Selain karena politik tanam paksa, latar belakang lain lahirnya Politik Etis adalah penerapan ekonomi liberal yang diterapkan di Hindia Belanda pasca politik tanam paksa dihapuskan pada 1863. Setelah politik tanam paksa resmi dihentikan, maka mengalirlah modal-modal swasta ke Hindia Belanda sebagai imbas penerapan politik liberal. Perkebunan-perkebunan swasta milik orang Belanda bertebaran di seantero negeri. Seperti perkebunan tembakau di Deli, dan perkebunan kopi di Parahayangan. Bersamaan makin merebaknya perkebunan-perkebunan di Hindia Belanda, berdirilah puluhan pabrik-pabrik yang mengolah komoditas-komoditas tersebut. Penerapan politik liberal juga tidak spontan menjadikan rakyat Hindia Belanda hidup layak, apalagi berkecukupan. Penerapan politik ini sebenarnya tidak lebih dari memindahkan penjajahan dari negara ke swasta. Adanya Koelie Ordonantie atau Sistem aturan cipta kerja pada masa itu hanya menguntungkan pihak swasta, tapi menyiksa para kuli (pekerja) dengan upah yang amat rendah. Sistem ini hanya bertujuan melegalkan Ponale Sanctie atau hukuman pelanggaran kerja bagi rakyat bumiputera, yang lagi-lagi menguntungkan pihak swasta.
Karena itu semua, akhirnya Conrad Theodore Van Deventer (1857-1915) mengeluarkan kritik melalui artikelnya berjudul Een Ereschuld (Hutang Kehormatan) yang dimuat dalam majalah De Gids 1899. Dalam artikel itu menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 1867-1878, Belanda telah mengambil keuntungan sebesar 187 juta gulden. Keuntungan itu sudah seharusnya dikembalikan pada koloni karena pada dasarnya merupakan hutang kehormatan yang harus dibalas dengan kebijakan yang pro rakyat. Pada tanggal 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang saat itu baru naik tahta mengumumkan pidato politiknya pada pembukaan parlemen Belanda. Dia mengumumkan bahwa Pemerintah Belanda memiliki panggilan moral dan utang budi kepada bangsa pribumi di Hindia Belanda.
Pada pidatonya itu, Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral utang budi itu ke dalam kebijakan politik yang tertuang dalam program Trias Politika, yang meliputi, irigasi, emigrasi, dan edukasi.
Politik Etis & Penyimpangannya
Sederhananya, program irigasi (pengairan) merupakan program untuk melakukan perbaikan serta pembangunan irigasi dalam bidang pengairan demi keperluan pertanian dan perkebunan. Hal itu mulanya diterapkan dalam rangka menjaga ketahanan pangan dari gagal panen akibat cuaca buruk, sehingga mencegah kelaparan di Hindia Belanda. Dalam pelaksanaanya, Politik Etis yang saat itu mendapat dukungan dari kalangan kapitalis dan industrialis mengalami banyak penyimpangan. Irigasi lebih banyak dibangun untuk mengairi lahan-lahan subur milik perkebunan swasta. Hal ini mengakibatkan lahan-lahan pertanian milik rakyat pribumi tidak mendapatkan pengairan yang baik, sehingga sering gagal panen dan tanahnya menjadi kering dan tandus. Monopoli irigasi ini hampir berjalan sampai akhir masa pemerintahan Hindia Belanda.
Program emigrasi dapat diartikan sebagai proyek perbaikan dalam bidang kependudukan dengan memindahkan penduduk dari tempat yang padat (pulau Jawa) ke daerah yang penduduknya kurang. Tujuan awal program ini supaya rakyat pribumi dapat memanfaatkan lahan-lahan kosong dan potensial di wilayah lainnya, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup mereka. Kenyataanya, program ini hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan bagi perkebunan-perkebunan milik Belanda. Hal ini disebabkan adanya permintaan besar terhadap tenaga kerja di daerah perkebunan seperti perkebunan di Sumatera Utara, khususnya di Deli, Suriname, dan lain-lain. Karena emigrasi kebanyakan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja, maka tidak jarang banyak yang melarikan diri. Untuk mencegah hal ini, Pemerintah Hindia Belanda melahirkan Ponale Sanctie, yang di dalamnya memperbolehkan pihak pemilik (swasta) melalui polisi untuk menangkap kembali pekerja yang kabur dan memberikannya sangsi yang cukup berat.
Program edukasi atau mudahnya sistem pendidikan, bertujuan untuk meningkatkan sumber daya manusia di Hindia Belanda menjadi manusia terdidik dan berperadaban. Sejujurnya program ini memiliki tujuan amat mulia, yaitu untuk mengangkat rakyat pribumi dari kebodohan dan buta huruf yang melanda sebagian besar penduduk. Namun, dalam praktiknya program ini pun tak lepas dari penyimpangan. Program yang seharusnya diberikan kepada semua kalangan pribumi justru hanya diberikan kepada keluarga pejabat, para priyayi, dan orang-orang kaya dan terpandang. Sekolah-sekolah untuk pribumi biasa memang ada, tapi tetap saja, klasifikasi kelas I dan kelas II tetap berlaku. Selain itu, tujuan utama pendidikan ini sejatinya untuk mencetak tenaga-tenaga administrasi dan pegawai murah di pabrik-pabrik Hindia Belanda. Para pelajar dicetak dan didoktrin untuk menjadi pekerja. Pemerintah Belanda menciptakan sebuah pemahaman bahwa menjadi seorang pegawai jauh lebih terhormat dibandingkan mereka-mereka yang berwirasawasta, bertani, atau berdagang. Menjadi pegawai pabrik dan pemerintahan instansi merupakan sebuah prestasi pada masa itu. Kelak, pemahaman seperti inilah yang akhirnya membias kepada pemikiran sebagian besar pelajar di Indonesia.
Imbas Dari Politik Etis Saat Ini
Satu-satunya program dari pelaksanaan Politik Etis yang memiliki pengaruh cukup besar bagi Indonesia adalah program edukasi (pendidikan). Program itu terbukti telah melahirkan kaum intelektual bumiputera, yang di kemudian hari menjadi bumerang bagi Pemerintah Hindia Belanda sendiri. Karena, dari merekalah tercetus ide-ide nasionalisasi, persatuan dan tekad yang kuat untuk merdeka. Di tangan merekalah akhirnya Indonesia mampu lepas dari belenggu penjajahan Belanda.
Program pendidikan di Hindia Belanda telah membuka mata rakyat pribumi terhadap dunia. Masuknya teknologi dan informasi ke Hindia Belanda memungkinkan rakyat dapat mengikuti peta perpolitikan global saat itu. berbagai pemikiran-pemikiran dan ide tentang nasionasilasi begitu deras membanjiri pemikiran kaum terdidik pribumi. Sederhananya, pendidikan telah sukses tidak hanya menghilangkan kebodohan dari pikiran rakyat, tapi juga berhasil mengentaskan mereka dari kolonialisme Belanda.
Sayangnya, beberapa pemahaman-pemahaman yang ditinggalkan Pemerintah Belanda masih tersisa dan menempel pada pendidikan kita. Orientasi bahwa sekolah ditujukan hanya untuk bekerja masih menjadi gejala umum yang melanda pikiran para pelajar kita. Pemahaman bahwa tingkat kesuksesan belajar diukur saat seorang pelajar menjadi pegawai negeri, pegawai pemerintahan, atau pegawai instansi masih menjadi paradigma umum di masyarakat.
“Sistem pendidikan di Indonesia, ditujukan untuk menciptakan pekerja, bukan menjadikan seorang pengusaha”.
Pernyataan tersebut bukan sekedar omong kosong semata, karena kenyataanya pendidikan kita masih mengadopsi doktrin lama era kolonial yang menempatkan pendidikan sebagai sarana bekerja dengan tujuan menjadi pegawai di instansi serta pabrik mereka. Standarisasi kurikulum pembelajaran merupakan bukti paling nyata bahwa pendidikan kita telah diseting untuk menjadikan setiap pelajar memiliki orientasi bekerja kepada orang lain.
Mental pencari kerja juga masih menjadi primadona sebagian pelajar di Indonesia. Mirisnya, kebanyakan pengusaha-pengusaha mikro di Indonesia justru berangkat dari latar belakang pendidikan kurang baik. Kebanyakan dari mereka justru memiliki strata pendidikan rendah. Mereka lebih memilih berdikari karena ketidakmampuan atas pendidikan. Sebaliknya, di sisi lain, para pelajar yang memiliki kualitas pendidikan baik dan kecerdasan di atas rata-rata justru memilih bekerja di instansi bergensi, seperti perusahaan BUMN, dinas-dinas, pemda, atau instansi bergengsi lainnya. Sejauh pengamatan saya, sangat sedikit kaum terdidik kita yang punya gairah menggebu-gebu untuk menjadi seorang pengusaha.
Kesimpulannya, empat dekade lebih program pendidikan ala Hindia Belanda diterapkan di Indonesia. Sudah tentu corak dan sistem pengajaran, termasuk pemahaman kepada pelajarnya masih tersisa dan menjadi doktrin tak kasat mata. Sudah menjadi kewajiban bagi kita semua untuk sedikit demi sedikit menghapus corak dan pemahaman “menjadi pekerja” ala Belanda. Kemajuan akan sulit tercipta selama kita hanya bermental pekerja, serta enggan menjadi seorang pengusaha.
-Imam Syafi’i saat ini sedang berjuang menyelesaikan program studi Pendidikan Bahasa Arab, fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) UIN SAIZU Purwokerto. Memulai belajar menulis sejak 2016, tapi baru mulai mengirimkan naskah-naskahnya pada awal 2021. Laki-laki yang memiliki hobi membaca, menulis, serta traveling itu bercita-cita menjadi seorang penulis yang rendah hati dan editor di salah satu penerbitan buku di Indonesia.