Oleh: Slamet Makhsun*
Judul Buku: Poligami, Sebuah Kajian Kritis Kontemporer Seorang Kyai
Penulis: KH Husein Muhammad
Penerbit: IRCiSoD
Cetakan: Pertama, November 2020
Tebal Buku: 126 Halaman
Ketika disebutkan kata poligami, maka akan ada banyak pihak yang saling berseteru. Pasalnya, poligami merupakan isu yang paling krusial bagi relasi antara laki-laki dengan perempuan, terlebih bagi yang beragama Islam. Hal itu dikarenakan menyangkut hak yang diterima maupun kewajiban yang harus dijalankan oleh setiap pasangan, sehingga ke depannya bisa benar-benar harmonis dan tidak ada pertikaian.
Poligami, ialah sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria untuk beristri lebih dari satu dalam kurun waktu yang bersamaan. Agama Islam membolehkannya, namun dengan syarat-syarat tertentu dan dibatasi dengan jumlah maksimal empat Istri bagi suami yang mau berpoligami. Hal itu cukup jelas disebutkan dalam Al-Quran, Surah An-Nisa ayat 2 dan tiga dengan redaksi yang agak panjang.
- Iklan -
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka. dan janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya, tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih baik dekat bagi kamu untuk tidak berbuat aniaya.”
Ayat di atas, menjadi argumentasi dasar bagi pihak-pihak yang menghendaki dan membolehkan poligami. ‘Jika Al-Quran saja membolehkan poligami, mengapa tidak?’ itulah jawaban bagi mereka jika ditanya soal poligami. Nampaknya, ayat tersebut ditafsirkan secara leterlek. Padahal, jika secara menyeluruh dilihat dari konteks dan asbabun nuzul turunnya ayat, akan muncul penafsiran yang justru menghendaki agar tidak berpoligami.
Mengutip dari bukunya KH Husein Muhammad, ayat di atas turun berkaitan dengan kasus seorang laki-laki yang menjadi wali dari anak yatim yang kaya. Ia ingin mengawininya demi memperoleh kekayaan, dan juga memperlakukan anak yatim tersebut dengan tidak wajar. Sementara itu, si anak yatim tidak menyukainya.
Praktik pengasuhan anak yatim pada zaman itu, cenderung tidak adil. Para wali dari anak yatim, sering kali memberikan hak-hak sosial dan ekonomi kepada anak yatimnya secara tidak proporsional. Di samping itu, mereka juga sering menikahi anak-anak yatim perempuan di bawah asuhannya dengan tidak memberikan mahar, atau jika memberi mahar, tetapi tidak wajar. Oleh karena itu, sebagai solusinya, Al-Quran menurunkan ayat yang membolehkan para wali untuk menikahi perempuan selain dari anak-anak yatim sebanyak dua, tiga, atau empat.
Semua orang paham, bahwa semua ucapan, isyarat, atau perbuatan Nabi, menjadi sunnah yang apabila ditiru, maka akan mendapatkan pahala. Tersebab Nabi SAW sendiri juga melakukan poligami, kemudian hal itu dijadikan oleh beberapa pihak sebagai dasar legitimasi bahwa poligami adalah sunnah rasul. Namun, pihak yang kontra dengan poligami, mengatakan bahwa hal itu adalah kekhususan bagi beliau. Nabi melakukan demikian, karena ada alasan yang mendesaknya.
Bila dilihat, Nabi menikahi beberapa perempuan karena berkaitan dengan kedudukannya sebagai kepala negara sekaligus pemimpin keagamaan. Beliau menikahi Saudah binti Zam’ah karena ingin melindunginya. Saudah sendiri adalah seorang janda yang ikut hijrah ke Madinah. Ia mendapat tekanan yang keras dari keluarganya, Bani Abdu Syams, yang juga menjadi musuh Nabi.
Juwairiyah binti Al-Harits dinikahi oleh Nabi, karena ia adalah seorang mukmin, dan termasuk anak dari salah satu tokoh Bani Mustahglik. Ayah dan sukunya dikenal sebagai partner orang musyrik yang berjuang keras dalam melawan Nabi di Perang Uhud. Setelah Juwairiyah resmi menjadi istri Nabi, maka berbondong-bondong orang dari Bani Mustaghlik masuk Islam. Hal itu juga berlaku bagi istri-istri Nabi lainnya, yakni Nabi berpoligami dengan alasan untuk menjaga keamanan dan kelancaran dakwah umat Islam.
Ada juga pihak yang beralasan melakukan poligami, karena untuk menghindari perzinaan. Jika memang demikian, maka alasannya tidaklah logis. Nabi melakukan poligami setelah Khadijah wafat, sebagai bukti kesetiaan Nabi terhadap istri pertamanya. Ketika melakukan poligami, usia Nabi waktu itu telah mencapai 53 tahun, yang dalam artian, usia seperti itu bukanlah fase-fase ketika seorang laki-laki bergejolak kuat dengan nafsu seksualnya.
Simpulannya, untuk menghindari perzinaan, satu istri sudahlah cukup. Satu perempuan dengan perempuan lainnya, hakikatnya sama ketika untuk pemenuhan libido seksual seorang laki-laki. Hasrat seksual, pada dasarnya selalu menuntut ketidakpuasan, meski sudah dipenuhi dengan empat perempuan sekalipun.
Buku ini, berisikan telaah penulis yang kritis tentang poligami. Dengan argumen dalil yang dikaji secara mendalam dan rasional, menghasilkan pandangan-pandangan baru tentang poligami yang bisa diterima akal.
*Slamet Makhsun lahir tanggal 31 Mei 2001. Alumni PP Muntasyirul Ulum asuhan Kyai Ali Affandi ini memiliki hobi ngopi dan membaca buku. Dia juga aktif menjadi pegiat literasi di Garawiksa Institute dan anggota aktif di IPNU kecamatan Parakan kabupaten Temanggung. Kini menempuh pendidikan di Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga.