Oleh Bandung Mawardi
Wabah sering memunculkan catatan-catatan buruk. Lakon hidup berubah! Nasib gampang amburadul akibat sulit menanggungkan seribu perintah, gagal mengelak dari derita-derita. Di Indonesia, berita-berita membuat sedih, murung, menangis, dan pesimis bermunculan setiap hari.
Titipan-titipan pesan dan perintah agar kita berbahagia selalu ada tapi sulit dimengerti. Sekian hal tak lagi sederhana dan wajar. Berita-berita baik juga berdatangan mengajak kita terharu, bangga, dan tersipu malu. Wabah tak mutlak menghancurkan segala.
Pembaca “Jati Diri” di Jawa Pos, 8 Januari 2021 mungkin melongo. Pada masa orang-orang masih dianjurkan berada di rumah, catatan baik dimiliki Indonesia. Kita mau bertepuk tangan tapi masih malu. Simak saja: “Selama pandemi Covid-19 ini, aktivitas membaca masyarakat Indonesia tumbuh subur.
- Iklan -
Dalam hasil survei Digital Reader sejak pandemi mewabah seantero dunia pada 2020, orang di Indonesia memiliki jam membaca per minggu cukup tinggi. Yakni, 6 jam per minggu.” Di rumah, orang-orang membaca ketimbang dikutuk malas, bingung, dan jengkel. Bacaan demi bacaan dinikmati sambil teringat nasib masih belum terang. Situasi mengakibatkan orang-orang membaca mungkin dengan gairah, ketulusan, atau keisengan.
Selama membaca dengan situasi tak keruan, orang-orang sulit meniru ulah Matilda. Penggemar buku-buku garapan Roald Dahl lekas mesem. Novel berjudul Matilda mengumbar kelucuan, kepicikan, kegirangan, kerancuan, dan kehebohan gara-gara membaca buku. Matilda tak pernah mengalami episode hidup dalam wabah. Ia cuma menanggungkan “wabah” kebodohan, kemarahan, dan kebencian selama di rumah dan sekolah. Setiap hari, Matilda bergejolak untuk tabah, marah, senewen, murung, atau bingung. Peristiwa membaca buku itu momok bagi orang-orangdi rumah dan sekolah. Membaca mungkin dosa.
Novel itu berkelakar. Kita anggap menghibur dan memicu malu. Di rumah, Matilda, bocah perempuan menggandrungi buku, bernasib tak untung. Roald Dahl bercerita: “Matilda oleh ayah dan ibunya tidak dianggap sama sekali atau paling-paling dianggap seperti ketombe. Jadi, sebagai sesuatu yang hanya mengganggu saja.” Di rumah, Matilda suka membaca tapi mendapat “perintah” mendingan menonton televisi. Orangtua melihat ia membaca buku bukan dianggap kebaikan. Buku itu mengganggu! Matilda pernah minta dibelikan buku tapi tak dituruti. Pergilah ia ke perpustakaan umum di desa bermisi membaca serakah koleksi buku, menebus segala derita selama di rumah dan sekolah. Matilda hidup pada masa “wabah” kebodohan, kebencian, dan keonaran.
Kita mengandaikan Digital Reader mencatat data ada orang membaca Matilda meski edisi digital. Novel “salah” terbaca selama orang mendekam di rumah? Kita mungkin salah mengira bahwa data itu melulu membaca buku. Perhitungan terpenting adalah durasi membaca orang Indonesia bertambah, tak seperti tuduhan-tuduhan masa lalu. Tepuk tangan meragu atau tertunda atas pengumuman Digital Reader tentu berkaitan mutu: pilihan bacaan dan kesanggupan menemu makna. Berita baik adalah durasi membaca. Kita belum perlu terlalu menuntut ada peningkatan kebaikan-kebaikan. Di Jawa Pos, sekian kalimat tersaji bisa mengajak orang mengangguk: “Durasi per pekan masyarakat Indonesia dalam membaca buku selama pandemi ini lebih tinggi dari negeri-negeri yang sudah melahirkan pemenang Nobel Sastra. Di antaranya, Amerika Serikat (5 jam 42 menit), Spanyol (5 jam 48 menit), atau Argentina (5 jam 54 menit).”
Kita belum memastikan jumlah pembaca buku di Indonesia dalam durasi lama itu bocah, remaja, atau dewasa. Di rumah, bocah dan remaja “menderita” akibat tugas-tugas dari sekolah. Mereka mungkin masih sempat membaca buku tapi tak ada kepastian di setiap rumah ada koleksi buku. Mereka mungkin meminjam di perpustakaan atau menggunakan edisi digital. Kita belum pernah memiliki acara sensus penduduk dengan mencatat kepemilikan buku-buku di rumah, di luar buku pelajaran.
Pengandaian ada bocah atau remaja bergairah menikmati hari-hari di rumah dengan membaca novel Tintenherz (tiga jilid) gubahan Cornelia Funke. Buku tersedia dalam edisi terjemahan bahasa Indonesia, sejak 2009. Novel bergelimang (makna) buku. Pengembaraan di peradaban buku. Tokoh bocah dalam novel memiliki ketakjuban dalam keberlimpahan buku. Funke seperti membuat hari-hari dan dunia melulu buku. Ia pun membuat “katalog” kecil atas pembacaan buku-buku telah dianggap klasik, memberi pikat para pembaca buku anak, dari masa ke masa. Kutipan-kutipan bersifat “katalog” dipasang mengawali bab-bab. Siasat itu merangsang pembaca Tintenherz mencari dan bermaksud khatam buku-buku sastra anak termonder di seantero dunia.
Kutipan “meledek” terambil dari Moving a Library (Solomon Eagle). Kita mendapatkan lelucon: “Sejenis penyakit buku yang kejam dan parah menjangkiti jiwa manusia. Betapa hina, merasa terikat pada benda lemah yang terdiri atas kertas, tulisan yang tercetak, serta perasaan orang yang sudah mati. Bukankah lebih baik, lebih bermartabat, dan lebih perkasa jika kita tinggalkan saja sampah itu di tempatnya lalu melangkah memasuki dunia sebagai manusia super yang bebas, merdeka, dan tuna aksara?” Hasutan bermutu menantang keimanan umat pembaca buku.
Kita enggan terlalu curiga bahwa orang-orang Indonesia malas membaca buku atau berlagak sebagai pembaca buku dengan memamerkan foto diri dan buku di media sosial, dari hari ke hari. Kita memastikan ada orang tekun membaca buku meski tanpa mengumumkan dan berpotret. Orang itu memilih kecanduan buku atau hidup melulu buku ketimbang makin terpuruk dan merana. Kita tentu tak mendoakan mereka bakal menjadi tokoh-tokoh seperti dalam cerita berjudul Rumah Kertas gubahan Carlos Maria Dominguez. Pembaca dan pemilik buku tak usah sampai kutukan-kutukan dan sumpah serapah.
Tunggulah berita baik itu mendapat tanggapan pemerintah atau institusi-institusi keaksaraan! Pertambahan durasi membaca bagi orang Indonesia bisa dihormati dengan mengadakan lomba atau pendokumentasian. Kita mengusulkan ada lomba menulis resensi atau pengalaman membaca buku-buku selama wabah. Tulisan dan pindaian sampul buku bakal menjadi dokumentasi kolosal. Ikhtiar sederhana bisa berhadiah duit atau bingkisan buku. Kita mendingan melakukan itu ketimbang menunggu menjadi sasaran riset dari institusi atau sarjana asing bermisi mengabarkan Indonesia dan membaca buku. Begitu.