Oleh Wahid Kurniawan
Postingan itu menyentak saya di suatu siang. Setelah makan, seperti biasa, saya mengecek ponsel dan mengintip linimasa media sosial. Di tengah menggulirkan layar, postingan itu pun muncul di salah satu grup kepenulisan yang saya ikuti. Kurang lebih, itu berisi curhatan penulis yang dahulu, waktu menerbitkan novelnya, hanya beroleh seorang pembeli yang tertarik dengan novelnya. Hal inilah yang menyentak diri saya: Bagaimana itu bisa terjadi? Apa yang dilakukan penerbit dan penulis? Bagaimana proses promosinya? Sederet pertanyaan serupa pun muncul belakangan. Perhatian saya terserap secara penuh. Saya heran, sebab itu adalah kasus paling parah menyangkut penjualan karya seseorang. Pun, saya kasian, sebab jerih payah menulis yang mesti mendedikasikan banyak hal, malah tak diganjar dengan hasil yang setimpal.
Dari situ, saya jadi merenungkan beberapa hal yang selama ini menggelisahkan saya. Kegelisahan tersebut jelas berkaitan dengan proses seseorang yang menerbitkan karyanya menjadi buku. Kita tahu, saat ini, menerbitkan buku tak sesulit beberapa tahun yang lalu. Selain keberadaan penerbit indie yang kian menjamur, adanya media sosial pun turut memengaruhi gairah seseorang yang ingin melihat karyanya dicetak dan menemui pembacanya. Ini memang bukan hal yang mengherankan. Sebab diakui atau tidak, menerbitkan karya secara cetak masih memiliki sisi spesialnya tersendiri. Bila sudah menjadi buku, itu artinya kita bisa memegangnya, menghidu aromanya, memajangnya di rak, dan, yang paling mengesankan, itu menjadi kebanggaan tersendiri.
Sayangnya, semakin ke sini, semua itu tampak seperti ilusi yang membius banyak orang. Ilusi macam apa? Pertama-tama, mari kita luruskan pembahasan ini, sebab koridor yang saya maksudkan adalah problema yang menjangkiti kalangan penerbit indie.
- Iklan -
Begini, ilusi itu menjelma semacam iming-iming, “Hei, kami bisa menerbitkan karyamu, dan peluang menjadi penulis besar ada di depan mata. Bagaimana? Kamu tertarik?” Ya, ilusi yang saya maksud adalah keberadaan paket “Terbit gratis”, baik yang bersyarat atau tidak, yang tampak menggiurkan. Oh, tidak, saya bukannya skeptis dengan penawaran tersebut, atau mengamini bahwa semua paket “Terbit Gratis” menjebak kita bila tidak dengan bijak dalam memandangnya. Tidak sedikit penerbit baik yang menawarkan jasa tersebut, dan tak sedikit penulis yang terbantu dalam proses kepenulisannya. Namun, bagaimana dengan yang “Buruk”? Entah itu buruk dalam hal kualitas penerbit, ketidakjelasan perencanaan penjualan, relasi penerbit dan ketidaktahuan seorang penulis mengenai promosi karya yang baik, atau bahkan, perpaduan dari ketiganya. Kita patut menduga, penulis yang saya lihat postingannya itu, mengalami satu atau beberapa hal yang saya sebutkan ini.
Baiklah, kualitas penerbit dan pengetahuan penulis soal branding diri atau branding karya memang hal yang berbeda. Kita bisa menyebut, sekian penulis di masa lalu bisa tetap sukses tanpa direpotkan urusan promosi dan penjualan karyanya. Ia tinggal menulis yang baik, mengajukannya kepada penerbit, dan bila penerbit setuju untuk menerbitkan, maka urusan tetek-bengek penerbitan dilimpahkan kepada penerbit.
Lain lagi dengan sekarang, keaktifan penulis di media sosial, bagi beberapa penerbit, jadi patokan kuat untuk melirik si penulis. Media sosial menjadi ladang mencari calon penulis, jembatan antara karya dan pembaca, dan interaksi di antara tiga pihak ini: Penerbit, penulis, dan pembaca. Saking pentingnya peran media sosialnya, maka tak perlu heran, kalau ada yang mensyaratkan jumlah followers media sosial bila ingin mengajukan naskah.
Ya, yang saya maksud adalah penerbit mayor. Mereka perlu melakukan itu untuk membaca sebesar apa pasar yang akan menyerap karya si penulis, apalagi bila ia penulis yang masih terhitung baru.
Lalu, bagaimana dengan penerbit indie? Nah, di jalur ini, justru peran penulis dalam memaksimalkan media sosialnya jadi sesuatu yang menentukan. Bersama penerbit, ia mesti berjuang sama kerasnya dalam menggiatkan promosi demi menambahnya jumlah eksampler buku yang terjual.
Sayangnya, kesialan bisa sekali terjadi seperti kasus penulis yang saya sebut-sebut tadi. Misalnya, ia berangkat dari penulis di sebuah platform digital, dengan sekian pembaca yang berlangganan ceritanya. Sehari-harinya, ia hanya fokus dengan pembaca yang senantiasa menantikan kelanjutan ceritanya tiap minggu. Katakanlah, ia tak begitu aktif dalam membangun branding diri atau si karya di media sosial. Ia sama sekali abai soal hal tersebut. Lalu suatu hari, bisa jadi, seorang yang mengaku dari pihak sebuah penerbit indie mengajukan pinangan atas karyanya tadi. Mereka ingin menerbitkan karya si penulis dengan jalur “Terbit gratis”. Senang atas tawaran tersebut, ia pun menyetujuinya tanpa lebih dulu mengorek informasi tentang penerbit yang mengontaknya, maka terbentuklah kata sepakat di antara keduanya.
Usut punya usut, penerbit tersebut rupanya belum memiliki nama dalam hal kualitas, entah itu soal kejelasan perencanaan perusahaan, ataupun pengetahuan soal menjadi penerbit yang baik. Begitu menerbitkan karya penulis sial tadi, mereka sekadar promosi standar di media sosial yang pengikutnya pun tak banyak-banyak amat. Saya membayangkan, setelah sebulan, dua bulan, hingga entah keberapa bulan, buku tadi hanya terjual beberapa eksampler saja. Itu pun teman atau kerabat si penulis yang merasa bangga orang terdekatnya sudah menelurkan karya dalam bentuk buku. Setelahnya, seiring waktu berjalan, linimasa media sosial pun menelannya, hingga hanya terlihat ketika seseorang penasaran soal profil si penulis atau si penerbit, dan mendapati foto buku tersebut di salah satu album foto mereka.
Sejarah yang saya gambarkan tadi memang belum valid. Tapi bisa saya katakan, itu bukan sekali atau dua kali terjadi. Sebagaimana banyak penulis atau buku bagus yang lahir, pun sebaliknya, tak sedikit penulis atau buku yang bernasib malang. Ia pernah terlihat di suatu masa, tapi kenyataan lantas dengan kejam melesakkannya dengan dalam sampai tak kentara lagi. Industri ini tentu bukan bisnis yang selamanya ramah, bahkan ia bisa jadi sedemikian mengerikannya, untuk itu, perlu persiapan yang tak main-main bila ingin memasukinya. Salah satunya, ya, pintar-pintar dalam memilih penerbit, sehingga kita bisa memaksimalkan potensi karya yang ingin kita jual ke khalayak umum. Begitu.
-Penulis adalah penikmat buku. Mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia.