Matahari Dari Alis Matamu
seekor burung keluar
cukup lama di belantara
hujan menerbangkannya
sampai di halamanku ini
kicaunya amat kuhapal
jemarinya yang membekas
di pintu rumahku, mengabarkan
datangnya karena rindu
apakah akan menetap di bubungan
ingin melabuhkan sayapnya
yang letih?
- Iklan -
atau hanya ingin pergi dari
hutanhutan, setelah tahu
di sini percintaan bagaikan
menghirup kopi waktu pagi
matahari bercahaya dari alis mata
Cerita Yang Tak Kuberi Judul
masih ingat di mana kusimpan
anak kunci saat aku pamit dan
kau hanya berdiri di balik pintu
matamu lurus ke luar, kosong
langit kala itu hitam. aku ingin
mengatakan di mana anak
kunci kuletakkan, tapi hujan
datang tibatiba dan aku tidak
ingin ditelikung hunjaman air
aku menghindar basah
sedang kau tak mau bersedih
“anak perempuan tak harus
akrab dengan air mata,”
katamu
“lanang pantang berduka
untuk cinta sekalipun!”
ingin kubalas dengan kata itu
tapi aku tidak mampu sendiri
mencar alamat, menyusuri liku
jalan samar tak beralamat
050121
Masih Ada Mimpi
masih ada mimpiku
ketika terbangun
dan matahari
menagih pulang:
tadi aku daki gunung
ribuan lembar kertas
melayang. kuburu karena
kukira adalah puisipuisi
yang sudah jadi
untuk maharku padamu,
kekasih, yang kupilih
dari banyak kuntum bunga
taman yang dulu menerima
sepasang kekasih selepas
penciptaan,
aku menunggumu di sini pula
dengan puisipuisi dari mimpi
yang kubawa kini
duh, aku…
Sehabis Pertikaian
sehabis pertikaian itu,
kekasih,
kita lanjutkan percintaan
: demikian sememangnya,
ada tanding siaplah bersanding
di kuade yang indah kita duduk
— hanya berdua — seperti ratu
dan raja, menunggu tamu
serta hulubalang. mereka
bercerita tentang perkelahian,
kelahiran, juga pelukan mesra
di sini tiada pertikaian abadi
perebutan kursi berabadabad
tiada caci hingga dalam mimpi
tiada tafsir yang gundah
jika pun kita di istana ini
sebab takdir mengantar
jika pun kita terlunta
karena salah menduga
lalu kita ambil dan memakan
lalu dikurung seribu setan
ah!
Penjaga Pintu
betapa kutahu
catatanmu
hanya kenangan
betapa kumaklumi
kenanganmu
cuma ingatan
sesaat
lalu sekarat
di akar rumput
adakah maut?
catatanmu
hanya yang kau ingat
terlalu dekat
dari urat lehermu
yang jauh,
tak berdegup
yang jauh,
bagai sauh:
mencari labuh
diam kau di situ
yang datang kau tunggu
untuk buka tutup pintu
selebihnya
derap langkah
*Isbedy Stiawan ZS, lahir di Tanjungkarang, Lampung, dan sampai kini masih menetap di kota kelahirannya. Ia menulis puisi, cerpen, dan esai juga karya jurnalistik. Dipublisakan di pelbagai media massa terbitan Jakarta dan daerah, seperti Kompas, Republika, Jawa Pos, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Lampung Post, Media Indonesia, Tanjungpinang Pos, dan lain-lain.
Buku puisinya, Kini Aku Sudah Jadi Batu! masuk 5 besar Badan Pengembangan Bahasa Kemendikbud RI (2020), Tausiyah Ibu masuk 25 nomine Sayembara Buku Puisi 2020 Yayasan Hari Puisi Indonesia, dan Belok Kiri Jalan Terus ke Kota Tua dinobatkan sebagai 10 buku puisi pilihan Tempo (2020)