Hidup Matiku, Kemuliaan Cahaya!
Dan ia berjalan ke selatan, arah dermaga, naik ke atas sampan
dengan sekarung puisi, dikayuhnya sampan dengan hati dingin
membelah selat, : “Akan kularungkan semua dusta, luka, derita,
sumpah serapah, kenangan jingga, juga segala yang bernama
keburukan!”, maka ia lemparkan satu demi satu buku puisi itu
ke dalam ombak menggila, sampan terlambung-lambung, setelah
buku puisi habis ditelan mulut laut, sampan berbalik ke dermaga
: “Akan kutulis puisi lagi, puisi-puisi yang suci, yang bisa
memadamkan api, yang bisa menggelorakan laut penuh kasih!”
Ia meninggalkan dermaga, berjalan lurus melewati kota, ke dusun
naik ke bukit anggrek putih dan mulai merangkai kata-kata
: “h-i-d-u-p-m-a-t-i-k-u-,-k-e-m-u-l-i-a-a-n-c-a-h-a-y-a!”
- Iklan -
Pagi memecah, matahari menguapkan bening embun dari daun-daun,
rumput perdu, dan kelopak anggrek yang berpendar serupa kristal
: “Aku tidaklah memetik anggrek putih ini kalau ada yang harus terluka
kalau ada yang tidak rela, sebab membuat luka pada apapun, sipapun
sama dengan menggoreskan sembilu pada kulit dan daging sendiri!”
Jerit burung kutilang dari pohon angsana di kejauhan memecah sunyi
ia sungguh terkesima, tiba-tiba serombongan kupu-kupu bersayap pelangi
berputar-putar di atas kepala, membentuk konfigurasi hati yang menyala
lalu, kupu-kupu itu, ya Tuhan, kupu-kupu itu merangsek masuk
ke dalam kepala, ke dalam rongga dada, tubuh gemetar bermandikan
keringat dingin, cukup lama ia merasa ada sesuatu yang hilang dari
kedalaman jiwa, sesuatu yang entah— sukar sekali untuk dikatakan
atau dilukiskan, apalagi selama kupu-kupu itu bergerilya dalam kepala
dan rongga dada, hanya jemariMu begitu lembut mengelus jiwanya
tak ada desis suara apapun, hingga berhari-hari kemudian, begitu kupu-kupu
bersayap pelangi itu keluar dari kepala dan rongga dada, ia terjungkal lemas
di atas sajadah, : “Kuserahkan hidup matiku hanya pada kemuliaan cahaya!”
o, tidak ia sadari air matanya berguguran, o, berguguran tak henti-henti.
Jaspinka, 2020
Celeng Igir Baritan
Diiringi nyanyian kutilang langkah kecilmu mendaki
jalan setapak ke Igir Baritan, segalanya menyenangkan
pohon-pohon menghijau, embun mulai menguap
diterpa matahari. : “Kebahagiaan serupa apa kaurindukan?”
kaucabut dua batang singkong, di gubuk kecil kaubakar
singkong, kaumakan perlahan, lalu kauminum air kelapa
hijau muda, o, alangkah menggetarkan
hari-harimu adalah keringat yang menetes
kauteruka tanah, kautanam segala yang menghasilkan
pohon pisang, nanas, salak, kapolaga, cabe,
terong, ketimum, kemukus, mrica, angsana, besiar
engkau tersenyum dengan jantung hati berdebar
Tetapi pagi ini jantungmu bagai terbakar, hidup serasa
tidak berguna, di hadapanmu; pohon-pohon singkong
tercerabut berserakan, hanya menyisakan batang dan daun
sementara singkong yang beberapa hari lagi siap panen
ludes dijarah celeng, Gusti Pangerang!
: “Cobaan apa tengah ditimpakan kepada Inyong
petani kecil itu?”
embun telah dengan begitu cepat diterpa matahari
Igir Baritan senyap, hanya sesekali pekik kutilang
di kejauhan, dan engkau, ou melangkah sempoyongan
ke arah Utara, tapi tiba-tiba hatimu bagai diiris-
iris sembilu, Gusti Pangeran! Ratusan tanaman badhul
yang menjadi harapan, musnah dijarah maling
tak sebatang pun tersisa!
tubuhmu gemetar, tatapanmu nanar. Ciah!
Jaspinka, 2020
Di Jembatan Rel Kereta yang Membentang
di Atas Sungai Serayu
Di jembatan rel kereta yang membentang
di atas sungai Serayu, tubuh ringkihmu berjalan perlahan
dengan tatapan kosong, kedua tanganmu mendekap foto
seorang penyair berpigura ke dalam dada yang tipis
“Ini jiwa sarat luka karena tipu rayu segera kularung
ke deras sungai!”
Matahari senja jatuh di atas bukit
angin merendah berdesir ngilu
Di kejauhan dari selatan, kereta berderu mendekati
jembatan itu, hati-jiwamu menjeritkan luka
yang tak pernah mengering
: “Selamat tinggal penyair dan dunia puisi!”
Kereta memasuki jembatan rel itu, dan engkau ou
lihatlah, terjun ke deras Serayu, timbul tenggelam
serupa sebatang kayu, lalu lengang, hanya suara
kereta berderu ke utara menjauh— melewati jembatan rel
Engkau hanyut bersama seluruh mimpi mengikuti arus air
ke hilir hingga ke muara kasihNya.
Jaspinka, 2020
Kupu-kupu yang Mengisap Sari Edelweis
“Menjadikupu-kupu yang berhati karangadalahimpianpanjang
yangtidakmudahuntukdiwujudkan,” desis kepompong
yang meringkuk sunyi di ranting pohon yang mulai
meranggas di atas ketinggian bukit di tengahhutanbelantara
selebihnyahanyaangin yang menderu
danmenggugurkandedaunan
yangmengering di ranting-rantingsunyi
Dan sudah sangat lama aku menunggumu menjelma
seekor kupu-kupu yang terbang dengan sayap pelangi
mengitari taman bunga
di sekitar gubuk kecil di tengah hutan belantara
tetapi engkau masih saja kepompong
yang berkasih sunyi
merenda angan
“Setelah aku menjelma kupu-kupu
aku tidak akan mengisap sari bunga di taman
aku mau mengisap edelweis karang
agar hidupku kuat dan tabah
punya hati dan jiwa yang tegar
setia dan takluk pada keagungan Tuhan!”
Dan kepompong itu, lihatlah
perlahan bergerak-gerak retas
kupu-kupu akhirnya lahir
bersayap pelangi berhati-jiwa puisi
Aku mengikuti terbangnya kupu-kupu itu
dari bukit turun ke lembah ke laut
di sela-sela batu karang kupu-kupu itu
o, mengisap sari edelweis
Alangkah menakjubkan.
Jaspinka, 2020
Kereta Sunyi
Stasiun sungguh lengang
Tak ada senyum tak ada canda gelak tawa
Kipas angin di ruang tunggu tidak berputar
Berjam-jam nyaris tidak satu tangan-kata pun memelukku
Menyeretku ke jalur rel membentang di hadapan
Aku sedih hanya berteman deretan bangku kosong
Sesekali kesiur angin menebalkan duka
Di hadapanku jalur rel bagai termenung
Sebaris gerbong kereta serupa bukit batu berkilat
Diam membisu
Aku ingin mengayam kata-kata hingga
Tangan gemetaran berpeluh dingin
Aku tidak ingin gagal menjinakkan kata-kata
“Hendak ke mana engkau pergi?”
Aku pergi hanya menurutkan kata hati
Hanya karena harum puisi
Di dalam gerbong 2 Joglosemarkerto dingin
Kereta berpacu bagai tanpa hati
Bagai tanpa rentak puisi
Di kejauhan, petak-petak sawah
Bukit-bukit kecil dan langit yang cerah
Sedikit menghibur rindu dendamku
Pada harum puisi, pada segalanya yang
Bermuara di lorong sunyi
Kereta api bergerak bagai tanpa jiwa
Sebaris puisi menjaga kesendirianku dengan sukacita.
Jaspinka, 2020
*Eddy Pranata PNP—adalah Ketua Jaspinka (Jaringan Satra Pinggir Kali) Cirebah, Banyumas Barat, Indonesia. Puisinya “Bertandang ke Karang Anjog dan Dukuh Paruk” meraih juara 3 Lomba Cipta Pusi FB Hari Puisi Indonesia 2020.
Buku kumpulan puisi tunggalnya: Improvisasi Sunyi (1997), Sajak-sajak Perih Berhamburan di Udara (2012), Bila Jasadku Kaumasukkan ke Liang Kubur (2015), Ombak Menjilat Runcing Karang (2016), Abadi dalam Puisi (2017), JejakMatahariOmbakCahaya(2019).
Puisinya juga disiarkan di Majalah Sastra Horison, koran Jawa Pos, Media Indonesia, Indopos, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Medan Pos, Riau Pos, Tanjungpinang Pos, Haluan, Minggu Pagi, dll.
Puisinya juga terhimpun ke dalam antologi: Rantak-8 (1991), Sahayun (1994), Mimbar Penyair Abad 21(1996), Antologi Puisi Indonesia (1997), Puisi Sumatera Barat (1999), Bersepeda ke Bulan (2014), Patah Tumbuh Hilang Berganti (2015), Negeri Laut (2015), Matahari Cinta Samudera Kata (2016), Negeri Awan (2017), Seutas Tali Segelas Anggur (2017), Hikayat Secangkir Robusta (2017), Mengunyah Geram (2017), Negeri Bahari (2018), Kepada Hujan di Bulan Purnama (2018), Monolog di Penjara (2018), Kota Kata Kita (2019), Negeri Pesisiran (2019), Reruntuhan di Bukit Kapur (2019), Mata Air Hujan di Bulan Purnama (2020), Rantau (2020), Jazira 5 (2020), Semesta Jiwa (2020), Banjarbaru Rayn (2020).