Judul: Sekolah Harmoni: Restorasi Pendidikan Moderasi Pesantren
Penulis: Prof. Dr. Syamsul Ma’arif, M.Ag.
ISBN: 978-623-6769-31-7
Cetakan: I, November 2020
- Iklan -
Tebal: 14 x 20 cm, xviii + 206 Halaman
Diterbitkan: CV. Pilar Nusantara & BNPT
Harga: Rp 97.000,-
Peresensi: Hamidulloh Ibda
Membaca buku karya Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah Prof Syamsul Maarif M.Ag ini membuka banyak pikiran dan tesis baru. Setidaknya kita dapat menemukan beberapa novelty (kebaruan) ide maupun strategi dalam mencegah sekaligus kontra narasi terhadap ekstremisme, radikalisme, dan terorisme. Kehadiran buku ini penting untuk dikembangkan lembaga pendidikan yang terbukti baru-baru ini dimasuki kelompok radikal.
Gerakan ekstremisme telah berkecambah di semua lini kehidupan dan menyasar semua kelompok masyarakat. Bahkan sekarang fakta membuktikan adanya gerakan-gerakan ekstremisme dan radikalisme masuk di sekolah. Terorisme sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar biasa), kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan lintas negara yang bermotif ideologi dan politik sangat jauh dengan nilai-nilai agama manapun. Masyarakat termasuk generasi muda banyak yang terpesona dengan propaganda mereka dan akhirnya masuk pada pusaran ekstremisme serta terjerumus pada tindakan-tindakan tidak beradab dan inkonstitusional (hlm. xii-xiii).
Di sisi lain, geliat gerakan NKRI bersyariah begitu kencang, tema-tema serupa seperti hijrah, bunga bank riba, berjihad, mendirikan khilafah dan berbagai macam asesoris syar’i lainnya menyeruak di mana-mana. Sebuah pemaknaan yang ahistoris, take for granted, dan tercerabut dari arti substantif (hlm. 171). Untuk itu dibutuhkan pendekatan yang harmoni, berbasis moderasi, kearifan lokal, tidak lain dan tidak bukan adalah melalui pendidikan.
Dibutuhkan solusi jangka panjang melalui pendekatan pendidikan yang mewujudkan harmoni. Salah satu model pendidikan yang berpegang teguh pada moderasi beragama yang paripurna yang ditulis Dekan FPK UIN Walisongo ini adalah pesantren. Mengapa pesantren? Bagi penulis, pesantren menjadi model paripurna yang dapat dijadikan kiblat penanaman moderasi beragama pada generasi bangsa yang taat konstitusi, nasionalis sekaligus taat beragama.
Para guru sekolah, madrasah, dan kiai di pesantren perlu menumbuhkan sikap moderatisme agama untuk mampu menghormati nilai-nilai kebudayaan yang berkembang. Tujuannya menumbuhkan sikap kerukunan dan toleransi pada diri anak serta mampu menghormati keanekaragaman agama dan budaya masyarakat (local culture). Dalam konteks Indonesia, anak-anak perlu didorong kesadarannya bisa menerima Pancasila sebagai Philosophisce Grondlang (dasar Filsafat Negara) dan philosophical consensus dari kesepakatan luhur darai para pendiri bangsa yang berasal dari berbagai golongan dan perbedaan (hlm. xiii).
Bagaimana caranya? Penulis buku ini menawarkan sejumlah solusi yang dapat diadopsi dari pesantren. Pertama, semua guru di sekolah/madrasah perlu merevitaliasi sistem pendidikannya. Penulis pada halaman xiii menyebut tujuan pendidikan harus membentuk karakter baik pada peserta didik, melestarikan nilai-nilai luhur budaya Nusantara, menanamkan sikap mencintai NKRI (hubbu al-wathan mina al-iman), dan menumbuhkan semangat bela negara.
Solusi kedua, desain kurikulum yang dikembangkan harus memberi peluang bagi perkembangan peserta didik dalam semua. Solusi ketiga, proses belajar harus dipandang sebagai profesi interaktif di mana guru, ustaz, dan kiai memfasilitasi suatu lingkungan belajar yang memungkinkan anak belajar interaksi aktif pada masyarakat majemuk.
Pendidikan agama perlu memberikan pemahaman pentingnya setiap komunitas yang memiliki perbedaaan agama, keimanan, dan kebudayaan bisa saling membuka diri, inklusif, saling menghormati, menyayangi, dan membantu satu kelompok dengan lainnya. Pendidikan seperti ini akan sangat efektif meleburkan batas-batas primordialisme dan fanatisme yang selama ini menjadi akar konflik, kekerasan, kebencian, dan saling mencurigai menuju persaudaraan dan persahabatan sejati (hlm. xiv).
Sekolah maupun madrasah bahkan perguruan tinggi perlu meniru konsep pendidikan moderasi beragama yang dilakukan pesantren sejak dulu. Setidaknya, ada beberapa hal yang dapat dikembangkan oleh lembaga pendidikan formal dari pesantren. Pertama, aspek pembelajaran di pesantren yang mengacu pada akhlak, tidak sekadar pengetahuan kognitif saja. Penulis menyebut paradigma keilmuan yang ada di lembaga pendidikan saat ini cenderung kebarat-baratan yang menyeret para pelajar kepada gelombang sekularisme dan liberalisme.
Pendidikan yang cenderung kebarat-baratan dan menimbulkan sejumlah masalah, perlu diintegrasikan dengan modal sosial-kuktural dan spiritual yang dimilikinya sehingga dalam menghadapi gempuran globalisasi tetap menjaga kontinuitas, survivalitas, dan tetap berpegang pada local genius (hlm. 177).
Kedua, aspek keteladanan pada sosok kiai. Pada halaman 175, penulis menegaskan bahwa kiai yang ada di pesantren, sebut saja KH. Wahid Hasyim dan lainnya, dalam sejarahnya dulu turut mendirikan bangsa dan merumuskan Pancasila. Mengapa para kiai pesantren menerima Pancasila? Generasi muda sekarang perlu mengetahui agar tidak bingung, terombang-ambing, dan tergoda sedikitpun rayuan para “penjual agama” yang mengerek bendara khilafah akhir-akhir ini.
Alasan kuat kenapa para kiai menerima Pancasila sebagai dasar dalam berbangsa dan bernegara ini, di antaranya dilandasi pertimbangan kaidah ushul fiqih darul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih. Dengan melihat realitas kemajemukan Indonesia, maka ideologi Pancasila merupakan solusi terbaik agar tetap dalam kondisi perdamaian dalam perbedaan (unity in diversity).
Dalam buku ini, dijelaskan local genius pesantren perlu dikembangkan di sekolah dan madrasah. Lembaga pendidikan perlu belajar dari local genius pesantren. Pesantren juga mengajarkan untuk merawat tradisi dan kemajemukan NKRI. Pada puncaknya, lahirlah generasi setia Pancasila dan cinta negara. Salah satu cara sederhananya dengan meneladani kiai pesantren yang berpuncak pada “legowo menerima Pancasila”.
Paradigma pesantren al-muhafadzatu ‘ala qadim al-shalih wa al-akhdu bi al-jadidi alashlah, masih relevan diimplementasikan. Sehingga perkembangan zaman adalah sebuah keniscayaan yang harus dibaca secara kritis dan mencoba mendialogkan dengan kepentingan agama. Dari situ, kita dapat mencari jalan tengah antara tradisionalis dan modernis, antara konservatif dan progresif, dan antara tekstualis dan kontekstualis.
Untuk mewujudkan mimpi itu, Prof Syamsul dalam buku ini menegaskan perlunya kebijakan pemerintah dan usaha berbagai usaha sekolah, madrasah, dan pesantren serta organisasi masyarakat bahkan tokoh-tokoh agama dalam memutus mata rantai ekstrimisme di Indonesia (hlm.xii). Salah satu langkah riilnya adalah dengan mengadopsi model pendidikan pesantren yang komitmen menerapkan moderasi beragama. (*)
– Peresensi adalah Wakil Ketua 1 Bidang Akademik dan Kemahasiswaan STAINU Temanggung, Kabid Media Massa, Hukum, dan Humas FKPT Jawa Tengah.