Judul : Wajah Islam Madura
Penulis : A. Dardiri Zubairi
Editor : Sofyan Rh. Zaid
Penerbit : Tare Books
- Iklan -
Cetak : Agustus, 2020
Tebal : 114 halaman
ISBN : 978-602-5819-74-2
Oleh : Muhammad Ghufron*
Raut wajah Islam Madura begitu lekat di buku tipis ini. Cerita empiris penulis ihwal narasi Islam di tanah kelahirannya terasa begitu sublim. Sekelumit pengisahan demi pengisahan menakik representasi adiluhung soal wacana kehidupan beragama di “Pulau Garam” itu. Mulai dari hal remeh temeh hingga dinamika sosio-kultural warganya.
Buku bukanlah kajian komprehensif yang berusaha menelaah tetek bengek sejarah panjang Islam Madura. Tetapi merupakan kumpulan esai yang terbagi dalam ber sub-sub tema. Mulai dari pesantren dan prinsip beragama orang Madura, wacana geografis soal agraria dan maritim, hakikat pendidikan karakter, relasi antara Islam Madura dengan NU, Politik, dan tradisi keagamaan.
Sub-sub tema memuat esai disajikan melalui bahasa ringan dan sederhana. Pembaca akan disuguhi ornamen khas seputar kehidupan masyarakat Madura yang berkelindan dengan dimensi vertikal (Ketuhanan) dan horizontalnya (kemasyarakatan). Hubungan antara yang transenden dan sesama.
Jamak diketahui bahwa Madura hingga kini masih tetap ajek menambatkan tradisi keberislaman sebagai elan vital bagi kehidupan warganya, khususnya NU. Tradisi ke NU- an menjadi laku wajib yang mesti dijaga. Mereka meyakini bahwa NU lebih dari sekadar organisasi keagamaan, tapi ia merupakan sebuah “Agama” yang mampu menjembatani orang Madura dengan Tuhannya.
Secara historis-genealogis, narasi ke NU-an di Madura merujuk pada peran penting Syaikhona Kholil Bangkalan. Dialah guru yang pertama kali memberi restu pada muridnya, Hasyim Asy’ari untuk mendirikan organisasi keagamaan Nahdhatul Ulama. Tanpa restu darinya, mustahil NU berdiri. Inilah yang disebut “Restu dari Langit” oleh Ach. Taufiqil Aziz dalam Dinamika NU Sumenep dalam Lintasan Masa.
Menurut Dardiri, dengan menyusupkan spirit ke- NU-an para muassis, khususnya Syaikhona Kholil, orang Madura akan tetap menjadikan NU sebagai “Agama”. Karena agama bagi orang Madura, maka ia senantiasa bergerak dalam dimensi tanggung jawab bersama untuk menjaganya dari gempuran radikalisme agama. Di sinilah perlu adanya upaya terpadu lahir dan batin sebagai penyangga kekukuhan berdirinya NU.
Upaya lahir berkait-kelindan dengan praksis ke NU-an yang mencakup tradisi, adab, orientasi politik, kultur, dan lembaga sosial kemasyarakatan. Sedang upaya batin mewujud pada fikrah NU. Sebuah cara berpikir berciri khas ke NU-an. Manifestasi penyatuan kedua upaya itu mampu melahirkan gagasan dan gerakan Islam Ramatan lil-Alamin yang sejuk dan guyub.
Corak keberislaman inilah yang masih bestari di Madura. Masyarakatnya masih tetap bersetia pada tradisi ajaran adiluhung Islam bernafaskan Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah. Dibahas dalam buku bagaimana orang Madura menjaga tradisi itu melalui sederet ritual keagamaan, perkumpulan, ihwal pesantren, pendidikan karakter, dan solidaritas kekeluargaan.
Ke semuanya terhubung menjadi sebuah mercusuar yang memancarkan narasi kearifan lokal. Di solidaritas kekeluargaan misalnya, bertamu bagi orang Madura berarti “berkeluarga”, meskipun yang dikunjungi hanya sebatas teman ataupun mitra kerja. Maka menyuguhi kopi dan kue kering merupakan suguhan wajib bertamu.
Begitu menyatunya kopi dalam tradisi Madura. Kopi, menurut Dardiri bahkan merasuk menjadi etika pergaulan, terutama dalam menerima tamu. Pembicaraan penting tidak akan dimulai jika suguhan kopi tak ada. Kopi menyatukan suasana sekaligus memperlancar detail agenda orang Madura. Maka problem etik kembali muncul jika tuan rumah tidak menyuguhkan kopi pada tamunya. (Hal-05).
Sepenggal ejawantah sebuah adab luhur Ukhuwah Islamiyah tercipta dari sini. Dari pertautan hidup dengan nilai-nilai Islam yang mengajarkan persaudaraan dan makna kekeluargaan yang begitu subtil. Dardiri memang mengulik hal trivial seputar dinamika Islam di sana. Ia berusaha memetik hikmah dari kedekatan pengalaman emosional bagaimana ajaran Islam terimplementasi secara baik dalam laku sehari-hari.
Implementasi itu telah menitahkan masyarakat Islam Madura bergerak membangun peradaban Islam di sana. Pesantren yang hingga kini tak terhitung jumlahnya merupakan ejawantah investasi peradaban itu dibentuk. Peradaban Islam yang kuat tentu disokong dengan pendidikan karakter yang kuat pula, tentu hal semacam ini hanya ditemukan di pesantren, kata Dardiri.
Sebelum orang tua memasrahkan anaknya ke pondok pesantren, mereka senantiasa ditempah dengan pengajaran dasar keislaman yang didapat di surau-surau. Di surau, mereka senantiasa diasah dan diasuh dengan pengajaran nilai keislaman, amsal praktik Ubudiyah, mendaras kitab klasik, dan Al-Quran.
Dedikasi tanpa pamrih seorang guru mengaji begitu melekat di setiap narasi penting pembentukan dasar karakter santri itu. Mereka lah orang satu-satunya yang sudi menyingkapkan aksara-aksara untuk mengeja firman-Nya. Selain itu, tempaan mental dari guru ngaji pada santrinya mewujud dalam rupa titah sehari-hari.
Selepas mengaji, para santri menimba air di sumur untuk keperluan mandi dan minum, menyapu halaman surau, dan keperluan lain. Inilah wujud dedikasi santri kampung pada kiainya. Realitas semacam ini di sisi lain masih ajek di Madura, namun seiring berjalannya waktu yang menampilkan ekspresi kehidupan modern dan pragmatis, secara perlahan ghirah mengabdi dan mengaji itu perlahan memudar.
Perubahan semacam ini terjadi di saat Suramadu menjembatani ragam masuknya budaya, ekonomi, dan pembangunan. Suramadu berandil besar dalam perubahan sosial masyarakat Madura. Ia, dalam pandangan Dardiri, telah menarik warga luar untuk melihat dan mengkaji lebih dalam ihwal Madura. Baik sosio-geografis maupun sosio-kulturalnya.
Bagi investor asing, pengkajian mendalam ihwal Madura telah memunculkan hasrat berinvestasi di sana. Tindakannya pun seolah membenarkan segala cara, memanipulasi warga sekitar dengan iming-iming uang yang menggiurkan untuk pembangunan tambak udang. Narasi tanah sangkol pun (Tanah Warisan) kian kehilangan kesakralannya.
Tanah Sangkol begitu dikeramatkan oleh orang Madura. Sebab tanah ini merupakan amanah dan pemberian dari leluhur yang mesti dirawat dan dijaga dengan baik. Dardiri yang juga pegiat isu agraria itu berusaha mengedukasi publik, terutama remaja dengan mendirikan sebuah komunitas yang B.A.T.A.N (Barisan Ajaga Tanah Ajaga Na’poto). Barisan Menjaga Tanah, Menjaga Anak cucu.
Selain masalah agraria, Dardiri juga mengulik sekelumit dinamika narasi orientasi politik orang Madura. Madura yang NU itu dalam pandangan Dardiri sudah sedari dulu memegang teguh prinsip berpolitik seorang kiai. Gelanggang perpolitikan kiai mengisi ruang dinamis orientasi masyarakat pedesaan dari pada masyarakat urban.
Politik kiai benar-benar tersublim di inti pergerakan politik masyarakat pedesaan. Bagi masyarakat pedesaan Madura, seorang kiai akan mampu mengubah dengan baik sisi berpolitik di tingkat regional maupun nasional. Visi dan misi mereka jelas berprinsip pada nilai-nilai keadaban Islam. Di saat seorang kiai mencalonkan diri di Pilkada, mereka tak segan akan menomor satukannya.
Esai yang terkumpul dalam buku merupakan hasil ejawantah panjang penulis bertaut dengan kehidupan sehari-hari dengan warga sekitar. Dardiri tak hanya mampu menjalin interaksi dengan baik, tapi juga melebur membaca realitas sosio-kultural warga Madura. Mulai dari etika keseharian, etos kerja, dan pertautan individu lainnya.
Pendekatan kajian sosiologi makro dan mikro tersaji melalui tulisan padat, singkat, dan kreatif. Selain mengulik perubahan sosial, dan fenomena sosialnya (Makro), Dardiri juga berusaha menilik cara berinteraksi masyarakat Madura (mikro) dalam bingkai keberislaman di sana.
Tentu ini bukan kajian historis yang komprehensif mendalam, tapi merupakan tulisan reflektif. Karena di dasarkan pada pembacaan mendalam seputar keseharian warga Madura dalam memanifestasikan nilai adiluhung keseharian Islam Rahmatan lil Al-Amin.
*Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Alumnus PP. Annuqayah Lubangsa, Sumenep Madura. Salah satu esainya “Hassan Shadily Menyingkap Misteri (Kata)” termaktub bersama dalam Seabad Hassan Shadily.