Oleh Isbedy Stiawan ZS
Perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain sudah dilakukan manusia beribu-ribu tahun lampau. Atau berpindah dari satu kota menuju lain kota. Apakah ia sekadar singgah ataukah menetap. Kebiasaan perjalanan ini kemudian dikenal dengan wisata, liburan, ataupun lebih lama lagi yang disebut perpindahan suatu kelompok (entitas) dari suatu daerah (negara) ke daerah (negara) yang baru; transmigrami, migrasi, atau perantauan.
Apabila menetap hanya beberapa hari, seminggu, atau sebulan, biasa disebut jalan-jalan. Wisata. Untuk menikmati situasi lain dan berbeda dari biasanya dilihat di tempat sebelumnya. Dalam menikmati itu, orang akan mengatakan refressing; terutama menikmati kota-kota tujuan wisata. Baik di dalam negeri ataupun luar negeri.
- Iklan -
Turis. Jalan-jalan untuk berlibur. Wisata. Pakansi. Traveling, sering disebut pada masa modern ini. Sudah terjadi sejak beribu-ribu tahun lalu. Perpindahan umat Islam dari Mekah dan menetap Madinah, yang kemudian dikenal hijrah, merupakan perpindahan besar-besaran umat manusia. Kemudian perjalanan yang dilakukan Marco Polo ke berbagai benua, konon adalah orang pertama mendokumentasikan penjelajahan secara kengkap.
Lalu pada era kolonial; masyarakat Jawa yang dipindahkan ke pulau-pulau (daerah) lain yang masih sedikit penduduknya, lalu kita kenal dengan kolinisasi. Pada masa Soeharto, kolonisasi atau pemindahan penduduk dijadikan suatu program besar dan berkesnimabungan. Itulah yang dinamai transmigrasi.
Ternyata urbanisasi di zaman modern terus berlangsung. Manusia bukan lagi hanya pindah untuk menetap, bisa pula belajar dan bekerja. Tetapi, tradisi “berjalan” ini sudah melekat dalam diri umat manusia. Rasa-rasanya kita merasa belum sah menjadi warga dunia jika belum melakukan perjalanan ke kota jika warga desa. Atau tidak ke kota-kota besar sebagai pusat pariwisata jika ia memiliki kemampuan financsal. Bahkan menjalani ibadah haji ke Tanah Suci, Mekah, bagi yang mampu, juga terselip wisata (ruhani). Sebab, selain menjalani rukun Islam kelima, pada saat ibadah haji itu juga ada rangkaian mengunjungi tempat-tempat sejarah Islam di Mekah. Begitu pun bagi umat non-Islam, misalnya ke Roma, Yerussalem, dan sebagainya.
Dalam perjalanan tersebut, banyak pengalaman dan peristiwa yang bisa diperoleh. Baik itu menjadi ilmu pengetahuan ataupun memperbanyak pengalaman serta memperkuat keimanan. Manusia selalu berharap dalam suatu perjalanan (wisata) itu, keriangan dan kepuasan yang bisa dibawa pulang. Pengalaman yang empirik ataupun spiritual dalam perjalanan jadi “pengukuh” kemanusian. Setidaknya, ada cerita bawah kita pernah mengunjungi kota “A” di negara “B” misalnya, dan apa-apa saja pengaaman yang didapat. Kalau memungkinkan ditulis, minimal terdokumentasi dalam gambar-gambar (foto) yang dialbumkan.
Bagi Marco Polo, hasil perjalanannya ke berbagai benua menggunakan kapal menyusuri jalur sutera ke daratan Cina dan mengunjungi Kubilai Khan, ia dokumentasikan dalam bentuk tulisan berupa buku berjudul Il Milione. Sebuah data traveling skaligus sebuah peta jalur perjalanan.
Tetapi, bagi penyair, ada cerita lain. Moment poetick itu amatlah mahal. Karena itu, sayang untuk tidak “diabadikan” dalam karya puisinya. Sastrawan yang “berbeda” dari manusia pada umumnya, seperti dikatakan Budi Darma; hendaknya memunyai kebiasaan berjalan-jalan. Karena dalam perjalanan itu, menurut Budi Darma sebagaimana dikatakannya lewat pesan pendek pada saya, banyak pengalaman yang didapat. Sastrawan juga harusnya terbiasa berdialog – dengan siapa saja – karena dari dialog itu akan banyak tabungan gagasan (ide).
Hampir kebanyakan sastrawan — dalam hal ini penyair – lebih suka berjalan-jalan. Penyair bukan manusia rumahan (manusia kamar, meminjam istilah Seno Gumira Ajidarma), hanya berdiam di rumah lalu menulis karya sastra. Ia biasa melakukan perjalanan, mengobrol, dan atau sekadar duduk-duduk di kafe (kedai). Dalam perjalanan itu, sastrawan akan mengamati manusia di dekatnya. Termasuk mencermati sehelai daun jatuh, debu yang terbang atau diterbangkan kendaraan, dan seterusnya. Begitu pun, dalam perjalanan ke pantai misalnya, pengarang akan mengamati debur ombak, gerak hewan pantai, pasir-pasir yang gemirisik, dan sebagainya.
Tetapi apa yang diamati sastrawan tentang fakta-fakta itu akan berbeda yang diterima oleh manusia pada umumnya. Melalui sudut pandang berbeda, khas, dan unik, itulah yang membedakannya dengan manusia umumnya. Ada citraan, ada pandangan, dan ada pula filosofi tentang tangkapan dari peristiwa yang diterima. Tangkapan puitis dan prosais bagi penulis prosa.
Maka peristiwa hujan dan angin, juga laut, kabut, serta senja dan malam di tangan penyair menjadi lain jika kita mendengar dari cerita manusia biasa. Dalam imaji seninam, peristiwa-peristiwa itu menjadi fiksional. Kita tidaka bisa lagi berharap faktual dari peristiwa hujan dan angin, laut dank abut, mapun senja serta malam, sebagaimana diceritakan oleh bukan sastrawan (penyair).
Apatah lagi penyair terbiasa mengolah makna dari balik peristiwa menjadi karya yang imajinatif. Sebagai contoh terdekat, bagaimana Muhammad Yamin manakala mengkonsep “Soempah Pemoda” yang ternyata memiliki nilai futuristik. Sangat tepat jika Sutardji Calzoum Bachri menyebut teks “Soempah Pemoeda” sebagai puisi yang ditulis dengan “P” (capital): Puisi. Ia futuristik sekaligus universal. Pada 1928, Indonesia sebagai negara masih inabseintia; dan baru 17 tahun kemudian menjadi Indonesia. Teks “Soempah Pemoda” juga universal, tebukti sampai saat ini apa yang hendak dicapai tidak basi.
Peristiwa-peristiwa dalam perjalanan yang diolah penyair juga begitu. Ia bukan lagi peristiwa faktual, melainkan “suara lain” dari peristiwa. Atau peristiwa imajinasi penyair. Hujan yang dirasa penyair di dalam puisi, bukan lagi peristiwa biasa. Termasuk kabut, senja, malam, laut, dan seterusnya.
Itulah yang saya amati dari puisi-puisi Priska Putri Asmiranti dalam bukunya ini. Dia mengajak saya bermain dengan imajinasi yang selalu bergerak. Tidak statis. Peristiawa-peristiwa yang didapat dalam perjaanan, ia olah menjadi peristiwa imajinasi. Berkelindan. Kadang saling berbenturan. Bersama puisi-puisinya, saya dibawa ke pantai dan laut yang dalam imajinasi lain dari diri penyair. Bukan peristiwa faktual yang kita peroleh dari manuasia umum (awam). Misalnya, jika mendengar cerita dari seseorang tentang perjananannya, maka imajinasi kita adalah kegembiraan, kenyamanan, dan keindahan. Tetapi, pada puisi-puisi Priska, dalam situasi yang sama justru diperlihatkan yang berbeda.
Kecenderungan kontradiksi itu sangat terasa dalam kumpulan puisi Hipotesa ini. Saya memerhatikan adanya lompatan imajinasi yang cukup tajam jika dibanding dari buku puisi Priska terdahulu: Monolog di Tengah Salju (2019).
Bahwa puisi-puisi Priska lahir dari hasil pengamatan dalam perjalanan — tentu saja sebuah peristiwa, tetapi, apakah setiap (dalam) perjalanan tersebut selalu dia dapatkan keindahan dan kebahagiaan? Tenryata tidak. Ada banyak dari suatu perjalanan justru menjadi pengalaman tak menyenangkan. Kenangan-kenangan, yang kelak, sangat tidak patut diingat kembali.
Bisa dirasakan apa yang diungkap Priska dalam sajak pertama dalam bukunya ini, “Dermaga Sirna” yang mana ia tak lagi memimpikan dermaga berikutnya. Karena persinggahan selanjutnya, sudah sirna. Tiada lagi mercusuar, sebagai penanda bagi seorang pejalan/pelayar.
DERMAGA SIRNA
Aku menyelam dalam malam
Melantunkan syair sunyi
Ombak berdesak-desak
Kapal berlayar tanpa henti
Siapa menunggumu di kota
Persinggahan kita selanjutnya
Tak ada mercusuar di sana:
Dermaga telah sirna
Jakarta, Mei 2019
Boleh jadi, dermaga yang ada dalam puisi ini, adalah harapan – masa depan – untuk persingahan yang bahagia dan kekal. Tapi sayangnya, “siapa yang menunggumu di kota/persinggahan kita selanjutnya/tak ada mercusuar di sana:/dermaga telah sirna”.
Pulang? Maksud saya, kembali ke dermaga semula? Kapal tak berhenti, bertapapun syair sunyi dilantunkan!
Membaca puisi-puisi Priska dalam buku ini, ia mengajak bermain-main antara senja, malam, kabut, dan laut. Kita mahfum, senja adalah batas antara siang menuju malam. Kalau dibilang terang, senja sudah tak sepenuhnya benderang. Bahkan, senja acap dijadikan simbol bagi batas susia manusia.
Diksi senja begitu banyak dalam buku ini. Seolah Priska merasakan bahwa senja adalah moment paling puitik dari kehidupan ini. Seperti juga moment malam dan pagi. Juga momentum kabut dan musim yang selalu berganti-ganti.
Kontradiksi yang saya maksudkan, adanya situasi yang timbul dari semula diakui kebenarannya ternyata bertolak dari suatu pernyataan, atau situasi yang berlawanan dengan intuiisi. Sebagai contoh, dalam intuisi kita berharap saat ke pantai mendapat keindahan. Ternyata bukan itu yang didapat, melainkan kesedihan, dan sebagainya yang bertolak dari harapan.
Tersirat dari puisi-puisi Priska kali ini, sebanyak 50 sajak, ditulisnya dari perjalanan atau saat di beragai kota atau lokasi. Penyair ini kerap memilih kata “senja”, “malam”, “laut”, “Kabut”, maupun “dermaga”. Sekaligus juga sebagai diksi dari hampir mayoritas sajaknya.
Pilihan kata yang terasa muram itu bukan tanpa sengaja. Ia pasti sudah diperhitungkan matang oleh penyair. Kata-kata itu masuk dan keluar. Mengendap dalam imaji-imajinya. Jadi mewarnai perasaan penyair kala itu. Dalam keramaian itu, justru Priska mendapatkan kesunyian.
Tentang keramaian yang sekaligus di dalamnya ada kesunyian, dapat kita nikmati pada puisi-puisi Priska kali ini. Dua situasi yang kontradiktif atau paradoks itu berada dalam satu imaji sang penyair. Pengalaman kontradiksi itu seperti menjadi gumam yang mendnegung dalam satu nafas.
Priska menulis tentang angin, yang begitu dekat, sangat akrab, dan selalu hadir serta berkelindan dalam dirinya. Inilah “Sonet: Angin” itu.
Angin selalu hadir pada lagit pagiku
Angin yang lalu-lalang melantukan lagu
Angin tak pernah lupa menitipkan pesan pada kabut
Angin mengaduh dalam setiap sunyiku
Angin menyampaikan rindu lewat daun-daun yang jatuh
Angin menemaiku menunggu dalam detak waktu
Angin membawa cahaya jadi lentera dalam gelapku
Angin dapat menyatukan syair seperti lonceng yang merdu
Angin membawa sosokmu di antara pepohonan yang merunduk
Angin menjelma sayair dalam pekat malamku
Angin terkadang lenyap seolah acuh
Angin bergerak seperti tarian kunang-kunang yang menjelma lampu-lampu
Angin membawa pesan dari muara hingga laut
Angin tak pernah mencinta atau membenci pada buku waktu
Jakarta, 2020
Angin, menurut pengamatan penyair, adalah “bergerak seperti tarian kunang-kunang yang menjelma lampu-lampu/.. membawa pesan dari muara hingga laut/… (dan) tak pernah mencinta atau membenci pada buku waktu”.
Angin sesuatu yang mengikuti ketetapaan Tuhan; ia tidak semena-mena untuk mencintai juga membenci alam semesta. Angin tak pula membelot ataupun ingkar pada ketentuan-Nya. Ia bergerak menyesuaikan musim dan apa “mau-Nya” dalam mengisi semesta ini.
Angin dalam sajak Priska – persisnya imaji dalam diri penyair – sesuatu yang bukan lagi angin dalam kehidupan sehari-hari. Angin dalam peristiwa keseharian. Sebab angin, kata penyair, bisa membawa cahaya jadi lentera dalam gelap, membawa sosokmu di antara pemohonan yang merunduk. Bahkan, angin bisa menjelma syair dalam pekat malamku/… terkadang lenyap seolah acuh.
Peristiwa keseharian dalam perjalanan itu tak serta-merta ditangkap begitu saja. Di dalam setiap peristiwa ada suara yang lain. Suara lain dari peristiwa tersebut yang kemudian dikejar, ditangkap, lalu dia tuangkan dalam puisi. Sehingga dalam puisi-puisinya, kadang bertolak dari realitas. Puisi sudah menjadi fiksional dari sesuatu yang fakta. Kita tak lagi berharap bahwa faktanya harus begini dan begitu, karena di dalam puisi serba-mungkin bisa saja terjadi ataupun hadir di depan kita.
Dalam suatu dialog, Sapardi Djoko Damono mengatakan, dalam menulis puisi ia tidak tergantung sepenuhnya pada wahyu. Bahkan ia tak percaya pada wahyu bagi penyair dalam melahirkan puisi. Ia hanya punya “niat” menulis, lalu imajinasi dan (atau) dalam proses kreatiflah dia serahkan diri dan karyanya. Ia mengaku sering tokoh-tokoh rekaanya justru melakukan protes dan bekerja sendiri. Dalam menulis puisi, ia tak jarang justru apa yang dirancang-bangun dalam puisinya bisa membelot saat berproses. Ini pun kerap terjadi dalam proses kerja penyair lainnya.
Puisi bukan melulu mengurusi imajinasi. Bisa saja imajinasi yang mulanya diyakini dapat menyekesaikan sebuah puisi yang utuh, saat berproses terjadi “melenceng” dari yang sudah dibangun dalam benak penyair. Kerja proses mencipta tak lagi sepenuhnya ada dan bisa dikendalikan penyair, melainkan moment-moment puitik lain dapat menyertai. Boleh jadi, bisa ditemukan paradoks yang terdapat dalam puisi-puisi Priska, justru dalam satu situasi.
Hal ini juga dapat kita jumpai pada puisi-puisi Joko Pinurbo. Misalnya, ia bicara soal “ayah” dalam puisi “Keluarga Khong Guan” yang semula bahagia, kemudian didatangi petugas. Dalam seri “khong guan’ itu juga, Jokpin – panggilan lain dari penyair Jogjakarta itu, ia masukkan tokoh “ayah” yang kita mahfum dalam gambar di kaleng biskuit tersebut tanpa gambar ayah. Jadi, “ayah” dalam puisi Jokpin adalah toloh rekaan yang dibangunkan oleh imajinasi penyair. Inilah fiksional itu, berbeda dalam fakta sehari-hari.
Penyair ini lebih banyak memilih kata senja, malam, hujan (rintik, gerimis), juga kabut. Apakah ini cerminan perasan diri penyair selama memproduksi puisi-puisinya. Atau, sebagai penyair, yang dia ungkapkan merupkan hasil amatan tentang peristiwa dan situasi yang diterimanya. Lalu diolah oleh imajinasi sebelum menjadi puisi.
Penyair terlatih mengolah imajinasi dari apa yang tak terlihat di balik peristiwa. Dan itulah yang memperkaya tafsir sebuah puisi. Puisi-puisinya yang imajinatif, pada akhirnya tak mudah diburu maknanya. Walaupun kalimat-kalimatnya lembut dan terstruktur, sampai pada akhirnya masih menyisakan pertanyaan; sebuah perenungan. Betapapun, mungkin, hanya kecil.
Sebagai penyair, Priska tidak mengabaikan apa yang terjadi di sekitarnya. Suatu peristiwa realitas, yang kemudian menjadi pengalaman imajinasi. Ia tidak tercerabut dari masalah yang ada ssan dia lihat ataupun rasakan, namun peristiwa-peristiwa itu kemudian ia “hancurkan” di dalam imajinasinya; lalu hadir sebagai “suara yang lain” dari dalam puisinya.
Misalnya, soal pandemi Covid 19 yang menyerang hampir seluruh negara di dunia hingga Indonesia, ia pun terlibat di dalamnya. Meski pun hanya satu puisi, “Lockdown”, seakan menyelip di antara puisi-puisi personalnya. Imajinasi yang ditawarkannya, melahirkan keterkejutan. Priska menulis, Tanpa gaduh pemuda enggan pulang/Tanpa tawa para gadis remaja/Menghitung burung-burung/Di langit petang pada bait pertama. Penyani rmembandingkan “gaduh pemuda enggan pulang dan tawa para gadis remaja” dengan “burung-burung dilangit petang”. Bukankah ini pekerjaan tanpa untung?
Demikian puisi Priska:
LOCKDOWN
Hampir setiap lentera telah mati
Langit pun berubah sunyi
Tanpa gaduh pemuda enggan pulang
Tanpa tawa para gadis remaja
Menghitung burung-burung
Di langit petang
Semua terdiam dalam bilik
Yang semula asing
Saat ini satu-satunya alamat
Menghabiskan hari-hari
Merenggut setiap momentum
Dari tangan sang waktu
Tak ada pilihan selain menikmati setiap detik
Di ujung jendela menatap hening
Atau menghitung waktu yang sunyi
Dan melukis malam dengan mimpi
Indonesia, 10 Mei 2020
Menarik dari puisi-puisi Priska dalam buku keduanya ini, ia setia hanya menyediakan 50 puisi untuk satu buku. Ini bagian selektivitas, atau penyair ini memang “kurang produktif” dalam arti untuk menjaga kualitas karya? Entahlah.
Selebihnya, nikmati bersama puisi-puisi Priska dalam buku ini. Mari masuki bersama-sama. Tabik.
–Isbedy Stiawan ZS, penyair.