Oleh Hamidulloh Ibda
Bagi lembaga pendidikan yang tertib menjalankan fungsi manajemen, akreditasi menjadi momen yang dinanti karena laiknya malaikat. Mengapa? Mereka siap dengan segala perantinya dan dipastikan hasil asesmen bagus.
Sebaliknya, bagi lembaga pendidikan yang tidak menjalankan fungsi manajemen dengan baik, akreditasi seolah menjadi hantu plus menghantui. Ia menakutkan, mencekam, menjadikan kita tidak doyan makan dan tidak bisa tidur. “Anak, bojo, ora kopen” gara-gara akreditasi. Menyedihkan memang!
Saya ingat kata-kata Sekretaris YAPTINU Dr. Sugi, “ketika akreditasi kok ada lembur, berarti lembaga itu tidak tertib administrasi”. Benar demikian memang.
- Iklan -
Tapi, bukan berarti yang tertib administrasi tidak ada lemburan. Namun setidaknya jika tertib adminstrasi akan mengurangi beban “nglembur”. Atau yang harusnya lembur berminggu-minggu cukup 1-5 hari saja ketika lembaga itu tertib administrasi.
Mutu Internal dan Eksternal
Sebagai lembaga pendidikan formal, sekolah/madrasah dan perguruan tinggi diwajibkan memenuhi standarnya masing-masing. Selain pemenuhan mutu internal, akreditasi berfungsi menjaga kualitas mutu eksternal.
Mutu itu, secara eksternal untuk sekolah/madrasah wajib minimal harus memenuhi 8 Standar Nasional Pendidikan atau biasa disebut SNP. SNP yang dimaksud ini intinya kriteria minimal pada beragam aspek relevan dalam pelaksanaan sistem pendidikan nasional yang wajib dipenuhi penyelenggara dan/atau satuan pendidikan di seluruh wilayah Indonesia.
Delapan SNP itu mulai dari standar kompentensi lulusan, standar isi, standar proses pendidikan, standar, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian yang berlaku untuk jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA.
Idealnya, sekolah/madrasah memiliki auditor mutu baik internal maupun eksternal. Meski mutu eksternal sudah dijalankan BAN SM, namun tidak ada salahnya melalui Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dan Sistem Penjaminan Mutu Eksternal (SPME) membentuk Auditor Mutu Internal (AMI) dan Auditor Mutu Eksternal (AME).
Apakah setiap sekolah/madrasah memiliki itu? Saya jawab tegas tidak. Bahkan, mudeng saja juga tidak, apalagi menjalankannya dengan bagus. Inilah penyebab banyak sekolah/madrasah “tumbang” ketika akreditasi. Kepala dan jajaran guru “kelimpungan” memenuhi berkas atau borang fisik ketika asesmen lapangan akreditasi oleh tim asesor BAN SM.
Apakah hanya sekolah/madrasah? Tentu tidak. Di perguruan tinggi, ada dua jenis akteditasi secara umum. Mulai dari Akreditasi Institusi Perguruan Tinggi (AIPT) dan Akreditasi Program Studi (APS).
Pada AIPT dan APS wajib memenuhi Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti) yang ditetapkan oleh masing-masing kampus dengan mengacu pada SN Dikti di atas. SN Dikti harus dicapai bahkan dilampaui kampus karena ia adalah satuan standar yang meliputi standar nasional pendidikan, ditambah dengan standar penelitian, dan standar pengabdian kepada masyarakat.
Sejak April 2019, semua AIPT dan APS sudah menggunakan 9 kriteria dengan format penilaian Baik, Baik Sekali dan Unggul. Akreditasi 9 kriteria ini arahnya lebih pada luaran, output, bukan pada proses.
Sementara sebelumnya masih menggunakan 7 standar dengan fokus pada proses dan sistem penilain A, B, dan C. Sampai Januari 2021 ini, masih ada beberapa perguruan tinggi dan proses masih belum diasesmen lapangan / visitasi untuk 7 standar karena BAN PT sendiri kekurangan asesor dan “banjir borang”.
Rentetan di atas baru akreditasi dalam negeri. Lalu bagaimana itu akreditasi internasional semacam ASEAN University Network-Quality Assurance (AUN-QA), APQR (Asia Pacific Quality Register), CHEA (Council for Higher Education Acation), Dublin Accord, EQAR (European Quality Assurance Register for Higher Education), Sydney Accord, USDE (United States Department of Education), Washington Accord, WFME (World Federation of Medical Education) dan lainnya yang pasti “mumutke sirah”.
Jadikan Malaikat
Kembali pada fungsi manajemen, setiap sekolah/madrasah, prodi dan institusi perguruan tinggi yang dapat menjalankan semua rentetan fungsi manajemen dan tertib administrasi pasti akan mudah menyambut akreditasi. Maka tidak ada lagi istilah borang akreditasi diselewengkan menjadi “bohong dan ngarang”.
Artinya, akreditasi justru melahirkan dan menjadikan kepala dan guru di masing-masing lembaga pendidikan menjadi pembohong dan penipu data. Di satu sisi mereka tidak ada data, tidak siap, di sisi lain asesor harus menjalankan tugas asesmen sesuai standar dan harus disediakan lembaga tersebut. Inilah yang harus dipahami semua elemen.
Untuk itu, akreditasi tidak boleh menjadi hantu. Maka jauh-jauh hari harus disiapkan dengan beberapa langkah. Pertama, jalankan fungsi manajemen di lembaga pendidikan. Mengelola lembaga pendidikan tidak dapat seenaknya sendiri. Ada standar dan harus mematuhi aturan. Minimal lembaga menjelaskan planning (perencanaan), organizing (pengorganisasian), actuating (pelaksanaan) dan controlling (pengendalian).
Kedua, siapkan semua borang fisik dan metafisik (digital) maksimal 2 tahun sebelum akreditasi. Mengapa ini penting? Karena persiapan akreditasi jika ingin mendapat nilai unggul harus benar-benar matang datanya, siap SDM dan siap asesmen.
Ketiga, lengkapi data pada semua standar. Jika ada yang kurang, maka harus dilengkapi. Meksi kita unggul di satu standar, namun belum tentu di standar lain. Maka jangan santai-santai ketika memiliki keunggulan di satu standar, karena penilaian dari asesor itu akumulasi semua standar bukan standar yang satu dapat memenuhi standar yang lain.
Keempat, budayakan “lakukan apa yang ditulis, dan tulis apa yang dilakukan”. Kalau bahasa saya adalah “baca, tulis, kerjakan, arsipkan”. Mau tidak mau, ketika sudah “nyemplung” di dunia pendidikan formal kita harus taat administrasi dan taat arsip.
Jika semua ini dilakukan, minimal kita dapat menyambut akreditasi dengan penuh kegembiraan, bukan takut dan melelahkan. Ketika sudah dilakukan, minimal mengurangi waktu lemburan untuk menyiapkan data. Bukankah demikian?
Sebab, akreditasi sampai Anda membaca tulisan saya ini masih tetap menjadi ukuran mutu lembaga pendidikan. Semakin bagus akreditasi lembaga itu, maka dipercaya mutunya bagus. Meski ada indikator lain/standar lain soal mutu lembaga, namun akreditasi tetap menjadi indikator utama. Mengapa demikian?
–Penulis adalah Kaprodi PGMI STAINU Temanggung