Cerpen Tjak S. Parlan
Sebuah kabar duka menyusup ke rumah-rumah warga. Jafar Arifin—yang mengendalikan hampir semua informasi melalui pelantang suara Masjid—mengujarkannya dengan nada sedih, jauh berbeda dengan beberapa saat sesudahnya ketika dia mengumumkan dengan penuh semangat sejumlah angka yang berhasil dihimpun dari warga sekitar. Masjid sedang membutuhkan sebuah amplifier baru.
“Alhamdulillah, baru saja datang lima ratus ribu rupiah dari hamba Allah,” demikian Jafar Arifin berulangkali menyebutkan jumlah sumbangan.
Itu pukul dua siang yang terik. Fahmi Idris sedang membenahi baling-baling kipas angin di rumah kontrakkannya yang sempit dan gerah sehingga keringat membanjiri tubuhnya sedemikian rupa. Sudah dua hari kipas angin kecil di kamarnya itu tidak bisa berputar dengan sempurna. Seringnya tiba-tiba berdengung atau menimbulkan suara gemuruh seperti helikopter yang terbang rendah di atas rumah. Anaknya yang berusia lima tahun kerap terbangun dari tidur dan ketakutan; beberapa kali juga menangis dan memeluk ibunya dengan gemetar. Mungkin anak itu masih terbawa-bawa suara gemuruh dari gempa dahsyat setahun silam.
- Iklan -
“Kipas ini sudah terlalu tua,” ujar Fahmi Idris, “tapi masih bisa diakali.”
Istri Fahmi Idris menatap wajah suaminya lalu kembali mengayun-ayunkan selembar karton bekas bungkus susu formula untuk mengipasi anaknya. Anak itu belum lama tertidur. Badannya panas dan tampak masih lemas lantaran mencret. Fahmi Idris dan istrinya curiga anak itu terserang diare. Namun, Fahmi Idris melarang istrinya membawanya ke Puskesmas. Dia mencemaskan daya tahan tubuh anaknya—dia tidak ingin wabah yang tengah menjangkiti seluruh kota akan menjadi sumber mala petaka. Untung saja di rumah masih tersedia obat pereda mencret yang didapatkannya dari Puskesmas beberapa waktu silam.
“Kita sangat bergantung pada benda itu,” ujar istri Fahmi Idris. “Musim nyamuk, musim penyakit, dan panasnya seperti neraka. Kamu harus bisa memperbaikinya.”
Fahmi Idris telah membongkar-pasang seluruh bagian kipas angin, memeriksanya dengan teliti dan memastikan sekali lagi bahwa barang itu masih bisa berfungsi dengan baik. Setelah dihubungkan dengan arus listrik, dia mencoba menghidupkannya. Kipas angin pun lancar berputar tanpa suara mendengung yang mengganggu pendengaran.
“Sudah beres,” ujar Fahmi Idris. “Dia tidak akan terganggu lagi tidurnya.”
Istri Fahmi Idris bangkit dari tempat tidur. Dia merasa lega karena bisa melanjutkan mencuci pakaian di kamar mandi. Memasuki kamar mandi, dia tampak ragu sejenak—diurungkannya menghidupkan keran air. Dia sepertinya tidak mau ketinggalan berita keluarga yang kembali dikumandangkan lewat pelantang suara Masjid. Suara Jafar Arifin terdengar datar. Dia membacakan surat keterangan dokter dari sebuah rumah sakit tentang penyebab kematian seorang warga. Belakangan, setiap ada warga yang meninggal, Jafar Arifin harus membacakan surat keterangan dari pihak rumah sakit agar warga sekitar tidak bertanya-tanya penyebab kematian seseorang.
“Saya dengar dia memang punya penyakit bawaan. Dalam situasi seperti ini, saya tidak mungkin melayat. Apa dia memang sesak napas?” tanya istri Fahmi Idris.
“Dia punya penyakit sesak napas sejak lama,” jawab Fahmi Idris. “Dan dia sudah tua, sering batuk-batuk. Yang jelas, dia meninggal bukan karena virus menular itu. Menurut pihak rumah sakit memang seperti itu. Tidak perlu khawatir. Biar saya saja yang ke sana.”
“Tapi jangan lupa, sepulang dari sana mampir ke rumah Rohani. Katanya boleh mengambil daun kelor di depan rumahnya itu.”
Fahmi Idris menghela napas. Dia membayangkan menu makan malam nanti: sayur bening daun kelor, sambal terasi dan kerupuk nasi. Itu cukup untuk mereka berdua, cukup untuk sementara waktu. Sementara anaknya, setidaknya butuh telur rebus. Fahmi Idris menelan ludah. Tenggorokannya terasa getir.
“Daun kelor mungkin bagus untuk memulihkan kondisinya. Sepertinya dia sudah membaik,” ujar Fahmi Idris seraya memandangi wajah anaknya.
Istri Fahmi Idris segera melanjutkan kesibukannya. Fahmi Idris pun bersiap-siap pergi melayat. Sejumlah orang sudah menduga sebelumnya, bahwa laki-laki lanjut usia itu meninggal karena penyakit paru-paru yang sudah lama dideritanya. Hal itu diperkuat dengan informasi tambahan yang diumumkan oleh Jafar Arifin melalui pelantang suara Masjid. Untuk lebih meyakinkan warga, Jafar Arifin mengulang pengumuman itu beberapa kali berselang-seling dengan imbauan agar warga meringankan langkahnya untuk berkunjung ke rumah duka. Selanjutnya, Jafar Arifin kembali menyebut angka-angka—juga nama-nama—yang telah menyisihkan hartanya untuk pembelian amplifier baru.
“Terima kasih kepada setiap warga yang telah menyumbang,” suara Jafar Arifin terdengar optimis. “Alhamdulillah, hingga akhir bulan ini terkumpul dana sejumlah empat juta rupiah, khusus untuk pembelian amplifier.”
Fahmi Idris yang sedang menyeka wajahnya dengan handuk, merasa takjub dengan jumlah angka yang baru saja disebutkan itu. “Empat juta,” gumamnya, seraya tersenyum datar. Dia bisa menghitung dengan cermat penghasilannya selama empat bulan dan angka itu sulit terjangkau olehnya. Kecuali jika dia mendapatkan garapan lain yang tidak terduga-duga. Apalagi sejak sebulan terakhir, bengkel service AC tempatnya bekerja telah ditutup menyusul sejumlah orang yang dinyatakan positif terjangkit virus menular di areal pusat perbelanjaan di kota itu.
“Apa yang kira-kira akan kita lakukan kalau punya uang empat juta?” Fahmi Idris iseng bertanya kepada istrinya.
Istrinya yang sedang suntuk di depan bak cucian, menanggapinya dengan ringan, “Orang-orang di sini ternyata banyak uang, ya?”
Fahmi Idris hanya bisa menelan ludah. Tenggorokannya kembali terasa getir. Setelah mengenakan pakaian yang bersih, dia menutup pintu dan bergegas menuju rumah duka.
***
Kalau bukan Tarmizi yang menyusulnya ke rumah, Fahmi Idris pasti akan memberikan sejumlah alasan untuk menolak. Dia sedang butuh mengerjakan sesuatu dan dibayar atas jerih payahnya. Namun, jika tidak ada yang harus dikerjakan, dia memilih berdiam di rumah saja.
“Salam dari Pak Jafar,” ujar Tarmizi menyampaikan pesan dari Jafar Arifin. “Ada masalah dengan amplifier baru itu. Mungkin kau bisa menyelesaikannya. Kemarin sudah diutak-atik, tapi hasilnya tetap tidak maksimal.”
Dahi Fahmi Idris berkerut-kerut. Dua hari itu dia memang curiga ada yang tidak beres dengan suara speaker Masjid. Terkadang suaranya terdengar begitu lantang, lalu tiba-tiba lirih, lantang kembali dan tidak jernih.
“Ayolah!” ujar Tarmizi meyakinkan. “Kas masjid banyak. Kamu akan dibayar katanya.”
“Kamu ini seperti tidak tahu saya saja. Saya senang bisa melakukan sesuatu untuk Masjid. Tidak perlu dibayar. Tapi ini bukan soal itu,” tanggap Fahmi Idris.
Tarmizi paham dengan apa yang dikatakan kawan karibnya itu. Pada suatu waktu, Fahmi Idris pernah bersitegang dengan sejumlah warga. Ketika itu istrinya sedang sakit parah dan pelantang suara itu terdengar begitu keras di telinganya. Fahmi Idris pun bereaksi. Dia mendatangi sejumlah warga yang sedang bergotong-royong di Masjid. Fahmi Idris meminta tolong agar ada yang berkenan mengecilkan suara speaker-nya. Namun, Jafar Arifin yang sedang khusuk memilih lagu-lagu kasidah untuk diputar, merasa tersinggung. Mereka pun beradu mulut. Sejak saat itu, Fahmi Idris merasa bahwa Jafar Arifin telah membuatnya menjadi orang yang paling tidak beriman di lingkungan itu. Fahmi Idris masih teringat—bagaimana dengan kekuasaannya—Jafar Arifin menceramahinya dan memvonisnya sebagai orang yang anti syiar agama.
“Sudahlah. Biar ini cepat selesai,” ujar Tarmizi, mencoba membujuknya lagi.
Fahmi Idris tidak memiliki pilihan lain. Dia mengekor Tarmizi, meringankan langkahnya menuju Masjid. Di Masjid, Jafar Arifin menunggu dengan risau.
***
“Tidak ada masalah dengan amplifier,” ujar Fami Idris. “Saya curiga ini karena pengeras suaranya. Corong yang di atas.”
Jafar Arifin mengernyitkan dahi mendengar penjelasan dari Fahmi Idris. Dia hampir tidak memiliki pilihan selain percaya pada apa yang dikatakan oleh Fahmi Idris. “Kamu yang paling paham,” ujarnya dengan mimik risau. “Ini bisa kacau kalau suara speaker-nya tidak bisa stabil. Atur bagaimana caranya supaya suaranya jadi lebih keras.”
Fahmi Idris ingin segera menuntaskan urusan itu. Tanpa menunggu yang lainnya tiba, dia memutuskan naik ke kubah Masjid dan mulai memeriksa pelantang suara yang ada di sana. Ada tiga pelantang suara yang masing-masing menghadap ke arah yang berbeda. Setelah memeriksa ketiga-tiganya, Fahmi Idris—melalui gawai—memandu Jafar Arifin melakukan uji coba.
Suara Jafar Arifin terdengar begitu lantang ke seluruh penjuru lingkungan. Fahmi Idris yang begitu dekat dengan suara itu, merasa sebentar lagi akan tuli. Telinganya benar-benar terasa pekak. Sementara, Jafar Arifin merasa sangat gembira. Dia bisa mendengar sendiri suaranya yang lebih lantang. Fahmi Idris terus memandu Jafar Arifin. Dia kembali mengutak-atik pelantang suara itu. Dua pelantang suara sudah diselesaikan. Kini tinggal satu pelantang suara. Mulut pelantang suara itu menghadap lurus ke wajahnya. Ketika dia menoleh dan mengedarkan pandangan ke sekitar, dia bisa menandai di mana letak rumah kontrakkannya yang tersembunyi di pinggiran gang sempit.
Suara Jafar Arifin semakin lantang. Fahmi Idris menyeringai—ada sesuatu yang tiba-tiba muncul dalam benaknya. Seraya menatap mulut pelantang suara itu, dia mulai melepas kaus oblong warna pudar yang dikenakannya. Tubuhnya berkeringat dan kaus oblong itu basah karenanya. Lalu dengan gerak-geriknya yang tenang dia menyumpalkan kaus oblong itu ke dalam mulut corong. Suara Jafar Arifin pun menjadi redam dan itu membuat Jafar Arifin bertanya-tanya sehingga gawai Fahmi Idris bergetar berkali-kali. Fahmi Idris menerima panggilan itu, tapi tidak berhasrat menjawabnya.
“Suaranya semakin kecil,” ujar Jafar Arifin. “Bagaimana situasi di atas?”
Fahmi Idris membiarkan suara Jafar Arifin mendekam di dalam gawai miliknya. Dia memasukkan gawai itu ke dalam kantong celananya. Jafar Arifin terus bertanya-tanya. Fahmi Idris memandang ke sekitar. Dari puncak Masjid itu, dia bisa melihat rumah-rumah yang saling berhimpitan, gang-gang yang terlalu sempit, kehidupan yang tampak gerah dan berkeringat. Fahmi Idris menelan ludah dan tenggorokannya terasa getir.
Ampenan, 19 Mei-16 November 2020
*Tjak S. Parlan, lahir di Banyuwangi, 10 November 1975. Menulis cerpen, puisi, feature perjalanan, novel. Bukunya yang sudah terbit antara lain Kota yang Berumur Panjang (Kumpulan Cerpen; Basa-basi, 2017), Sebuah Rumah di Bawah Menara (Kumpulan Cerpen; Rua Aksara, 2020). Bermukim di Ampenan, Nusa Tenggara Barat.