Oleh Sam Edy Yuswanto*
Judul Buku: Pelangi Kecil yang Berlarian di Lorong Kelas
Penulis : Amry Al Mursalaat
Penerbit: Laksana
- Iklan -
Cetakan: I, 2020
Tebal : 168 halaman
ISBN : 978-602-407-770-9
Anak-anak berkebutuhan khusus biasa disebut dengan “special needs”. Mereka juga acap dijuluki sebagai kaum penyandang disabilitas. Dibutuhkan ketelatenan dan kesabaran ekstra dalam merawat dan menghadapi anak-anak yang pada hakikatnya ‘istimewa’ tersebut. Dalam buku ini, penulis yang pernah menjalani profesi sebagai seorang guru pendamping Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), akan menguraikan kisahnya saat mendidik anak-anak “special needs” yang diwarnai dengan suka dan duka.
Anak-anak penyandang disabilitas, sebagaimana dijabarkan dalam UU No. 35 tentang Perlindungan Anak pasal 70, merupakan kelompok anak-anak yang perlu mendapatkan perlindungan khusus melalui perlakuan secara manusiawi sesuai martabat dan hak anak, pemenuhan kebutuhan khusus, perlakuan yang sama dengan anak lainnya untuk mencapai integritasi sosial sepenuhnya dan pengembangan individu, serta pendampingan sosial (halaman 23).
Dalam perkembangnnya, anak-anak penyandang disabilitas terbagi menjadi beberapa kelompok. Dalam buku ini, penulis berusaha memaparkannya secara terperinci. Pertama, disabilitas fisik. Yakni anak yang mengalami gangguan fungsi gerak antara lain amputasi, lumpuh layu atau kaku, paraplegia, cerebral palsy (kelaianan saraf otak), akibat stroke, akibat kusta, dan lain sebagainya. Salah satu disabilitas fisik adalah disabilitas daksa, dalam hal ini anak mengalami gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuromuskular (saraf otot) dan struktur tulang yang bersifat bawaan seperti cerebral palsy dan kelumpuhan akibat penyakit polio, dan/atau kecelakaan.
Kedua, disabilitas intelektual. Dalam hal ini anak penyandang disabilitas mengalami gangguan fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata. Ketiga, disabilitas mental. Yakni penyandang disabilitas yang mengalami gangguan fungsi pikir, emosi, dan perilaku. Antara lain psikososial seperti skizofrenia, bipolar, depresi, gangguan kepribadian, dll.
Keempat, disabilitas sensorik. Dalam hal ini, penyandang disabilitas mengalami gangguan fungsi salah satu indra, antara lain disabilitas netra, disabilitas rungu, dan/atau disabilitas wicara. Kelima, disabilitas ganda atau multi. Dalam hal ini, anak mempunyai dua atau lebih ragam disabilitas, antara lain disabilitas rungu-wicara dan disabilitas netra-tuli. Anak disabilitas ganda adalah anak yang memiliki dua atau lebih gangguan, sehingga diperlukan pendampingan, pelayanan khusus, dan alat bantu belajar yang lebih khusus lagi (halaman 26).
Sekolah inklusi menjadi tempat yang tepat bagi penulis untuk mengajar anak-anak berkebutuhan khusus. Sekolah inklusi adalah sekolah reguler yang menerima anak berkebutuhan khusus (ABK) dan menyediakan sistem layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan murid-muridnya. Secara singkatnya, sekolah inklusi ini berupaya menggabungkan ABK dengan anak reguler (anak-anak secara umum) dalam satu kelas.
Sebagai seorang guru pendamping khusus bagai anak-anak berkebutuhan khusus, penulis memiliki tugas yang cukup berat dalam mendampingi mereka untuk belajar sekaligus mengajarkan kemandirian. Termasuk juga tentang bagaimana caranya bersosialisasi, berinteraksi, dan mengembangkan ragam bakat yang dimilikinya. Penulis menyebut anak-anak istimewa itu dengan panggilan “pelangi-pelangi kecil”.
Salah satu cara dalam menghadapi anak-anak “special needs” adalah dengan memberikan perhatian dan sering mengajaknya berdialog atau bercakap-cakap. Terlebih saat melihat mereka tengah dirundung persoalan. Ketika tengah berdialog, usahakan mengarahkan wajah anak agar menatap lawan bicaranya. Tujuannya tentu agar anak berusaha fokus dengan ucapannya.
Hal ini juga dipraktikkan langsung oleh penulis. Misalnya, ketika ia melihat Patrick, salah satu muridnya yang wajahnya terlihat kurang ceria, tampak sedih, bahkan tidak bergairah sama sekali. Setelah diselidiki, ternyata Patrick sedang merasakan kesedihan dan kegelisahan karena ibunya sedang sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Penulis lantas berusaha menghiburnya dengan cara mengajaknya berdialog dari hati ke hati, sekaligus mengajak Patrick berdoa, memohon pada Tuhan agar sang ibu diberi kesembuhan (halaman 69).
Melihat kesedihan Patrick atas kondisi ibunya yang sakit sontak menyadarkan penulis bahwa anak penyandang disabilitas pun sama seperti anak-anak kebanyakan yang bisa merasakan kesedihan dan mampu menyimpan rasa kasih sayang yang begitu besar kepada orangtua yang disayanginya. Tugas kita dan masyarakat adalah berusaha peka dengan perasaan mereka dan coba berinteraksi secara perlahan-lahan. Jangan sampai mereka tumbuh menjadi anak yang dikucilkan oleh orangtua dan masyarakat.
Yang menarik ketika mengajar anak-anak “special needs” adalah saat penulis berusaha membantu mengembangkan bakat setiap anak. Meski pertumbuhan mereka berbeda dengan anak-anak kebanyakan, tapi ternyata mereka juga memiliki beragam bakat yang sangat mengagumkan dan membanggakan orangtua mereka. Setelah dilakukan observasi terlebih dahulu, maka diputuskan pengembangan bakat terbagi menjadi beberapa kelompok kecil. Ada pengembangan bakat melukis, menggambar, menari, musik, dan bernyanyi.
Pengembangan bakat tersebut merupakan program rutin khusus untuk anak-anak “special needs”. Selain untuk melatih potensi mereka, program ini juga berusaha menyadarkan para orangtua yang masih sering memaksakan anaknya untuk terus berurusan dengan hal-hal akademik. Padahal, kemampuan dan kelebihan itu tak melulu soal akademik atau tentang nilai-nilai di kelas. Karya seni pun merupakan sebuah kelebihan yang harus dipandang dan diapresiasi oleh orangtua. Seni adalah potensi alamiah yang dimiliki anak-anak, yang jika terus dikembangkan bisa menjadi nilai lebih yang sangat luar biasa bagi anak-anak “special needs” (halaman 80).
Salah satu anak berkebutuhan khusus yang memiliki potensi luar biasa adalah Raihan. Ia adalah sosok yang sangat hiperaktif. Tapi uniknya, ia memiliki hobi membaca dan bermain musik. Ia hanya bisa diam di dua momen, yakni saat bermain musik atau membaca. Hal yang mencengangkan, Raihan bisa cepat menangkap pelajaran musiknya dan dapat bermain musik dengan not-not tertentu. Bahkan ia pun mampu memainkan beberapa alat musik. Selain pianika, ia juga bermain piano dan suling.
Atas dasar itulah, penulis lantas berkeyakinan bahwa anak-anak “special needs” memiliki potensi luar biasa dalam dirinya. Tugas kita sebagai orangtua, guru pendamping, atau siapa pun yang ada di lingkungannya, adalah berusaha menggali bakat tersebut dan membantu untuk mengembangkannya.
-Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen.