Oleh Sam Edy Yuswanto*
Judul Buku : Perempuan Ulama di Atas Panggung Sejarah
Penulis : K.H. Husein Muhammad
Penerbit : IRCiSoD
Cetakan : I, September 2020
Tebal : 234 halaman
ISBN : 978-623-6699-00-3
Bila melihat catatan sejarah, ternyata ada sebagian ulama perempuan yang mendedikasan hidupnya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Mendalami beragam ilmu agama, berdakwah, dan melakukan hal positif lainnya. Mereka berupaya memberikan kemaslahatan yang luas terhadap umat, dan memilih hidup tidak menikah (selibat) hingga akhir hayat.
Terkait alasan mengapa sebagian ulama perempuan tersebut tidak menikah, tentu kita hanya bisa menduga-duga tanpa tahu dan tak perlu tahu mencari alasan sebenarnya. Karena itu termasuk hak privasi setiap orang yang harus kita hormati. Tidak menikah tentu bukan hal yang tercela, terlebih bila ada faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Bukankah ukuran manusia mulia dan utama ialah yang paling bertakwa terhadap Tuhan dan paling banyak memberi kemanfaatan kepada umat? Jadi, kemuliaan bukan diukur dari apakah ia menikah atau tidak.
- Iklan -
Selama ini, mungkin kita hanya memahami bahwa ulama itu hanya berasal dari kalangan lelaki. Padahal catatan sejarah mengungkap bahwa ada banyak ulama-ulama dari kalangan perempuan yang memberikan sumbangsih besar bagi kehidupan manusia di bumi ini. Bahkan mereka menjadi guru-guru bagi sebagian ulama laki-laki.
Sebagai pewaris nabi, tugas utama ulama (perempuan maupun laki-laki) ialah melanjutkan misi-misi profetik, menyebarkan ilmu pengetahuan, membebaskan manusia dari sistem penghambaan kepada selain Allah Swt., melakukan amar makruf nahi mungkar, memanusiakan sesama manusia, dan menyempurnakan akhlak mulia demi mewujudkan visi rahmatan lil alamin atau kerahmatan semesta (hal 17).
Dari sekian banyak ulama perempuan yang dibahas dalam buku ini, sebagian memilih untuk tidak menikah. Salah satunya adalah Rabiah al-Adawiyah al-Bashriyyah (lahir 180 H). Rabiah adalah seorang perempuan ulama yang sangat fenomenal. Banyak orang menyebutnya waliyullah, perempuan kekasih Allah. Ia kerap disebut dengan nama Rabiah al-Qaisiyyah dari Basrah, Irak. Namanya begitu populer dan melegenda, diingat orang, terutama dalam dunia sufisme falsafi, sebagai perempuan ikon cinta Tuhan (al-hubb al-ilahi).
Fariduddin Attar, sufi dan sastrawan besar, penulis buku yang sangat terkenal Manthiq ath-Thair (Percakapan Burung) menulis kisahnya secara panjang lebar. Ia menuturkan, Rabiah lahir dari keluarga sangat miskin yang taat mengabdi kepada Allah. Kemiskinan keluarga itu sedemikian rupa, sehingga manakala Rabiah lahir pada malam hari, rumahnya gelap gulita, tanpa lampu karena minyak sudah habis. Untuk membeli minyak tanah saja, keluarga itu tak punya uang. Bahkan, konon keluarganya tak juga memiliki kain/popok untuk membungkus jabang bayi yang masih merah itu (hal 100).
Saat kedua orangtua Rabiah wafat, kehidupan Rabiah dan ketiga kakak perempuannya terasa kian berat. Dalam kondisi kemiskinan yang demikian berat itulah, Rabiah dan ketiga saudarinya terpaksa mencari pekerjaan di kota Basrah, ibu kota Irak. Mereka tak tahu mau kerja apa di kota besar. Mereka berempat menyebar di tempat berbeda. Di antara mereka, Rabiah ialah sosok yang paling cantik. Nahas, di tengah jalan, Rabiah ditangkap orang lalu dijual kepada pemilik sebuah tempat hiburan malam. Di sana, Rabiah bekerja sebagai peniup ney (suling), untuk beberapa waktu, hingga akhirnya menjadi penyanyi. Di samping memiliki wajah cantik, Rabiah juga dikaruniai suara merdu. Tak heran bila rumah hiburan itu mendadak ramai pengunjung karena tertarik dengan nyanyian-nyanyian merdunya.
Saat malam telah larut dan suasana sepi, Rabiah tak segera tidur. Ia justru berwudhu dan shalat tahajjud berlama-lama. Ia mengadukan hidupnya kepada Tuhan. Ia shalat, berdoa, dan bermunajat dengan seluruh jiwa raga sepanjang malam hingga fajar merekah. Singkat cerita, Rabiah akhirnya terbebas dari tempat hiburan tersebut. Selanjutnya, ia menempuh dan menjalani hidupnya sebagai abidah (pengabdi Tuhan). Ia menyusuri jalan cahaya, mengunjungi pengajian para sufi di kota itu. Salah satu sufi yang didatangi Rabiah ialah Hasan al-Bashri, pemimpin para sufi terkemuka kala itu. Rabiah juga kerap mengunjungi ahli fiqh, seorang mujtahid sekaligus sufi besar, Sufyan ats-Tsauri.
Seiring waktu, cinta Rabiah kepada Tuhan makin hebat. Ia siap menyerahkan seluruh jiwa raga kepada-Nya. Ia menerima apa pun yang dilakukan Sang Kekasih (Allah). Sejak mengenal cinta, ia begitu piawai menggubah puisi-puisi cinta. Baginya, Tuhan adalah cinta pertama dan terakhirnya. Rabiah bahkan tak menikah sampai akhir hayatnya. Ia tak ingin menikah dengan laki-laki siapa pun. Ia menolak laki-laki yang datang padanya, sekaya, sebesar, dan setinggi apa pun keilmuan dan kehebatan laki-laki tersebut (hal 111).
Perempuan ulama yang tidak menikah berikutnya yang dikisahkan dalam buku ini ialah Karimah al-Marwaziyyah (w. 463 H). Karimah adalah seorang ulama perempuan yang pernah menjadi guru besar bagi para ulama. Karimah ialah perempuan pertama yang belajar kitab Shahih al-Bukhari. Bahkan, dialah yang memiliki manuskrip paling berharga yang di kemudian hari dijadikan sumber penulisan Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani ketika menulis Fath al-Bari, sebuah syarah atas kitab hadits paling otoritatif tersebut.
Sebuah informasi mengenai Karimah menyebutkan; ia selalu menunggu-nunggu datangnya musim haji, agar dapat bertemu dengan para ulama besar dari seluruh dunia dan bisa menimba ilmu, terutama mendapatkan riwayat hadits dari mereka yang memiliki posisi otoritatif. Dalam waktu yang bersamaan, selama di Makkah, ia menyelenggarakan halaqah, forum pengajian untuk semua pelajar dan ulama laki-laki dan perempuan yang datang dari berbagai belahan dunia muslim. Karimah wafat di usianya sekitar 100 tahun. Seluruh hidupnya diabdikan untuk mengajar dan belajar. Perempuan ulama ini tidak menikah hingga akhir hayatnya (hal 135-138).
Khadijah binti Sahnun juga termasuk perempuan ulama yang tidak menikah hingga ajal tiba. Ia lahir di Qairawan, Tunisia, 160 H. Al-Imam al-Qadhi Iyadh (w. 1149 M), penulis kitab Asy-Syifa, dalam bukunya yang lain, Tartib al-Muluk wa Tartib al-Masalik fi Marifah Alam Madzhab Malik, menyatakan bahwa Khadijah binti Sahnun adalah perempuan ulama, cendekia, cerdas, dan pribadi yang indah. Pengetahuan agamanya sangat luas, bahkan mengungguli kebanyakan ulama laki-laki. Khadijah memberi fatwa keagamaan dan melakukan advokasi-advokasi sosial-kemanusiaan (hal 126-127).
Sangat menarik membaca sejarah hidup para perempuan ulama (baik yang menikah maupun yang tidak menikah) yang disusun dengan bahasa yang mudah dicerna oleh K.H. Husein Muhammad. Kiai kelahiran Cirebon ini memiliki keilmuan agama yang luas. Pernah menjadi santri di Pesantren Lirboyo, Kediri, kuliah di Perguruan Tinggi Ilmu al-Quran (PTIQ), Jakarta. Atas kiprahnya, UIN Walisongo pada Maret 2020 memberi anugerah gelar Dr. Honoris Causa bidang Tasir Gender.
***
*Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen.