Oleh: Tjahjono Widarmanto
Sampailah kita di Desember yang basah dan kuyup seolah mengingatkan kembali bahwa tahun telah beringsut. Tahun yang beringsut itu melahirkan dua pertanyaan risau: “Apakah masa silam memenggal masa depan ? Atau sebaliknya masa depan yang memancung masa silam?”
Setiap awal tahun depan selalu menggendong paradoksal. Lahir dengan harapan baru sekaligus terbelenggu nostalgia. Tahun baru selain membuat manusia merancang kembali masa depannya dengan harapan dan cita-cita baru, namun sekaligus terikat pada kenangan dan jejak-jejak masa lalunya yang tertinggal di tahun sebelumnya.
Jejak-jejak masa silam memang selalu membayangi masa depan. Sungguh pun demikian tak bisa disangkal bahwa masa silam memiliki fungsi sebagai lokomotif pendorong masa depan. Pendek kata, tak bisa disangkal bahwa masa silam mendorong perubahan di masa depan.
- Iklan -
Hal di atas bisa dilihat dalam perjalanan sejarah kebangsaan kita. Surat-surat Kartini, yang kelak dikumpulkan dalam Habis Gelap Terbitlah Terang. Surat-surat tersebut tak mungkin ada kalau tak ada campur tangan era penindasan kolonialisme. Masa kolonialisme adalah masa silam yang tak hanya memberi warna namun menjadi pendorong utama emansipasi menjadi bagian dari sejarah Indonesia.
Serupa terjadi pada rekaman-rekaman Abdullah Bin Abdul Kadir Munsyi, catatan-catatan Raffles, ramalan Ronggowarsito, dan banyak lagi yang menunjukkan bahwa setiap waktu menyimpan ‘sesuatu’, semacam energi yang berfungi sebagai akar yang bisa jadi inspirasi masa depan. Tentu saja tak bisa diingkari bahwa akar tersebut juga memiliki peluang mengingatkan kekelaman, kekerasan, tindak intimidasi dan represif. Namun, sekali lagi, akar tersebut menjalar menuju masa depan sekaligus membuka jalan menuju perubahan.
Catatan sejarah bangsa kita secara gamblang mencitrakan apa yang terurai di atas. Kolonialisme sebagai masa silam telah menyimpan kenangan luka yang sarat perih dan nestapa, sekaligus di balik itu membuka pintu bagi masa-masa depan yang penuh harapan yang harus diperjuangkan.
Gambaran di atas menunjukkan kolonialisme sebagai sebuah kenyataan yang hadir dan harus dialami untuk bekal menyiapkan masa depan. Dengan kata lain, kolonialisme hadir menjadi pintu masuk perubahan masa depan. Realitas tersebut dalam sastra dicitrakan dalam cita-cita Saijah dan Adinda dalam novel Max Havelar karya Multatuli. Masa-masa suram kolonialisme ini pun menjadi musi kepompong dan kawah candradimuka bagi Soekarno muda untuk kelak melahirkan Indonesia Menggugat yang kemudian menjadi inspirasi cita-cita Indonesia merdeka.
Syahdan, setelah Indonesia merdeka maka tahun-tahun di depannya, yang dulu dicitata-citakan sudah teraih, namun harus dilalui dan ditata dengan tatanan baru sesuai tuntutan zaman. Peristiwa serupa terjadi saat kelahiran orba sebagai antitesis orde lama. Pun pada kelahiran era reformasi yang gerakan kritis masa silamnya: orde baru.
Paparan di atas menunjukkan realita yang tak bisa disangkal bahwa masa lalu selalu menjadi pintu masa depan. Bisa disimbolisasikan bahwa masa silam menjadi pintu terbuka yang selamanya tak sanggup menutup sepenuhnya. Dari pintu yang selalu terbuka itu bisa diintip kembali segala yang luput. Pada akhirnya masa silam dan masa depan menjadi cermin kembar yang menjadi kaca bengala yang menyadarkan kita tak berada di sorga, tak sepenuhnya sakral, namun selalu berada dalam ketegangan masa silam dan masa depan atau berada dalam cakramanggilingan yang terus-menerus berputar dengan diwarnai sisi-sisi masa silam dan sekaligus masa depan.
Sungguh, tak sepenuhnya kita mampu meninggalkan masa silam. Pun sebaliknya, masa depan tak sanggup mencegah masa silam menguntitnya. Kenyataan ini melahirkan kesadaran bahwa hidup adalah puzle yang selalu tersusun dari masa silam dan masa depan. Persis batu-bata yang disusun saling menopang dan melekat satu sama lain membangun menara peradaban manusia.
*) Penulis adalah sastrawan, esais, dan guru yang tinggal di Ngawi. Buku puisinya “Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak” menjadi salah satu penerima anugerah buku puisi terbaik versi HPI di tahun 2016. Buku puisi terbarunya “Kitab Ibu dan Kisah-Kisah Hujan” (2019) menjadi salah satu buku puisi terpuji versi HPI tahun 2019.