Oleh Hamidulloh Ibda
Saya bahagia. Ya, bahagia, gembira, senang, bungah ketika dimasukkan Mas Fakhrudin Karmani menjadi salah satu dari bagian Forum Pendidikan Madrasah Inklusi (FPMI) Pusat. Bukan tanpa alasan, tapi ini karena kepedulian terhadap nasib pendidikan anak-anak kita yang berhambatan belajar.
Seperti yang sudah saya tulis di berita, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI pada Kamis, 3 Desember 2020 melakukan pengukuhan pengurus Forum Pendidikan Madrasah Inklusi (FPMI) Pusat yang dilaksanakan bersamaan dengan peringatan Hari Disabilitas Internasional (HDI).
Dalam kesempatan itu, digelar juga seminar nasional secara virtual dengan tema “Sinergi untuk Masa Depan Pendidikan Inklusi di Madrasah” dengan menghadirkan tiga narasumber utama, yaitu Dr Sujarwanto, M.Pd, Dewan Pakar FPMI dan Wakil Rektor Bidang Perencanaan dan Kerjasama Unversitas Negeri Surabaya, Tubagus Arie Rukmantara, Kepala Perwakilan Unicef untuk Wilayah Jawa, dan Sita Thamar Van Bemmelen, Konsultan Pendidikan Inklusi Inovasi. Kegiatan virtual ini melibatkan 500 peserta melalui aplikasi zoom, sedangkan channel youtube yang disiapkan GTK Madrasah tercatat disaksikan oleh lebih dari 2700 pemirsa.
- Iklan -
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 6782 tahun 2020 tentang Penetapan Pengurus Forum Pendidik Madrasah Inklusif Pusat tahun 2020-2025 tertanggal 3 Desember 2020, telah ditetapkan Dewan Pembina yaitu Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan Madrasah, Direktur Kurikulum, Sarana Prasarana, Kelembagaan dan Kesiswaan Madrasah.
Dewan Penasihat yaitu Siti Sakdiyah, M.Pd., Dr. Abdul Faqih, M.A., M.Ed., Sunarman Sukamto, Dr. Imam Bukhori, M.Pd., Dr. Abdul Munir, M.Ed., M. Sidiq Sisdiyanto, S.Ag. Dewan Pakar yaitu Dr. HM. Mujib Qulyubi, MH., Prof. Dr. Drs. Achmad Syahid, M.A., Dr. Ro’fah, S.Ag., BSW., MA., Ph.D., Dr. Sujarwanto, Dr. Dedy Kustawan, M.Pd., Dr. Ahsan Ramdani, Drs. Hariyanto Oghie, MA., Mokhamad Ikhsan, M.Ed.
Ketua Umum FPMI pusat adalah Supriyono, M.Pd., Wakil Ketua Maskanah, M.Pd dan Akmal, S.Ag., M.Pd. Sekretaris Umum Fakhrudin Karmani, M.Pd.I, Sekretaris Mahruf, S.Ag, M.Pd.I., Erwan Hermawan, S.Pd.I, M.Pd., dan Endah Bidayatul W, M.Pd. Sedangkan Bendahara Umum Lailil Qomariyah, M.Pd, Bendahara Dr. Yeni Sri Wahyuni R, S.Pd., MA., Hasan Asro, S.Ag, MA.
Pada Bidang Penelitian dan Pengembangan H. Ahmad Mujahidin, B.Ed., M.Pd., Drs. Euis Juariah, Drs. Yettu Herlina, M.Pd.I., Hj. Ummiyani, S.Ag., M.Pd., Drs. Hj. Retno Dewi Utami, M.Pd. Bidang Data dan Informasi Miftahul Huda, S.Pd.I., Tjipto Prakosa, ST., MT., Hamidulloh Ibda, M.Pd., Drs. H. Zahrudin, MM., Sholahudin Fikri, M.Pd.I.
Pada Bidang Perencanan dan Program Inti Farhani, MA., Drs. Sucipto G Siswanto, MM., Said Jufri Baabud, S.Pd.I., Siti Aisyah, S.Ag., Syuriah, Lutfi Firdausi. Pada Bidang Pendidikan dan Pelatihan Ilham Prakoso, S.Sos.I., Hj. Azmarwati, M.Pd., Drs. M. Wahdan Zani, Amir Masruri, M.Pd.I, dan Anizar ST., M.Pd.
Pada Bidang Pemberdayaan Sumber Daya Organisasi Tati Supiati, S.Pd.I, Miftachul Huda, M.Si., Fitrisma Rais, M.Pd., Hj. Husnul Khatimah, SP., Drs. Musahir, M.Pd. Bidang Advokasi dan Hukuk As’adul Yusro, M.H.I., Zubaida dan Sahadeni, S.Pd.
Beberapa Problem
Madrasah maupun sekolah yang peduli dengan pendidikan inklusi masih jarang. Saya bilang masih jarang karena kenyataanya memang demikian. Ada sejumlah masalah dasar pada pendidikan inklusi di Jawa Tengah bahkan di Indonesia.
Pertama, masih banyak yang tidak dapat membedakan antara inklusif dengan ekslusif, inklusif dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Dikiranya, inklusi itu SLB, Homeschooling dan sejenisnya. Kalau SLB itu dalam pembelajarannya jelas, satu kelas berisi PDBK yang memiliki hambatan belajar. Sedangkan pola pendidikan inklusi itu mendudukkan bersama dalam satu kelas antara anak normal dengan yang berhambatan belajar atau PDBK.
Kedua, menggagas, mengatur dan mendirikan madrasah/sekolah inklusi sangat berat. Sebab, banyak tantangan utamanya dari orang tua murid normal. Mereka tidak rela ketika anak-anaknya “diwor” atau didudukkan bersama dalam satu kelas dengan PDBK.
Ketiga, adanya pemikiran ekslusif para stakeholders madrasah/sekolah bahkan perguruan tinggi yang menegaskan bahwa “yang belajar di pendidikan formal itu anak normal”. Sedangkan yang berhambatan belajar, PDBK (ABK), disabilitas ya tempatnya di SLB, Homeschooling bahkan menganggap mereka tidak perlu belajar di pendidikan formal. Duh!
Pola pikir ekslusif dan dikotomis inilah yang menjadikan PDBK terbengkalai dan tidak mendapatkan hak sama dalam pendidikan. Sangat tidak manusiawi jika para guru berpola pikir demikian.
Keempat, minimnya pengetahuan, informasi dan akses bagi madrasah / sekolah untuk mendirikan atau membuka sistem, layanan, kurikulum dan pembelajaran inklusif.
Kelima, apatisme masyarakat terhadap nasib pendidikan anak-anak berhambatan belajar maupun disabilitas. Bahkan, saya pernah mendengar ungkapan dari salah satu kiai begini “pesantren ki ya panggonane ngaji bocah normal. Ngurusi santri normal wae susah opo maneh bocah bento”.
Saya juga pernah mendengar ungkapan guru “masak sekolah mau dijadikan tempat belajar bocah ora genep? Terus piye ngko bocah sing normal?”
Hati saya teriris mendengar ungkapan-ungkapan itu. Kiai dan guru tersebut tidak salah. Sebab, karena saya yakin pola pikirnya belum inklusif. Meski dalam konteks di atas adalah pendidikan di pesantren dan sekolah, namun memperlakukan anak-anak berhambatan belajar atau disabilitas itu harga mati. Wajib ain plus mughallazhah.
Mengapa? Kita menghargai orang bukan karena jabatannya, gelar akademiknya, hartanya, namun tidak ada alasan lain karena dia manusia. Sesama manusia harus mengimplementasikan relasi dengan manusia (hablumminnnas). Tak sekadar hablumminalallah (relasi dengan Allah) dan hablumminallam (relasi dengan alam).
Termasuk juga menghormati bahkan mengurusi nasib pendidikan anak-anak autis, down sindrom, tuna daksa, tuna grahita, tuna rungu, tuna wicara, itu semua adalah tugas mulia, tidak lagi tugas benar dan baik.
Harapan Baru
Hadirnya FPMI saya kira terdorong dari alasan teologis di atas. Tatarannya tidak lagi pada alasan kebenaran, kebaikan, tapi estetika nilai kemuliaan. Untuk itu, FPMI perlu membuat langkah-langkah yang bernas agar bargaining position dapat mengimplementasikan nilai-nilai di atas.
Allah berfirman yang artinya “sesungguhnya Allah hanya memerintahkan bersikap adil dan berbuat baik” (QS. an-Nahl: 90). Kaidah ushul fikih maupun fikih sendiri disebutkan pentingnya menegakkan keadilan khususnya dalam hak belajar dan mengenyam pendidikan formal. Seperti kaidah yang artinya “pada prinsipnya, wajib memperhatikan hak kedua belah pihak dan meniadakan setiap yang merugikan bagi keduanya.“ Maksud dari kedua belah pihak adalah anak normal dengan yang berhambatan belajar. Maka harus seimbang bukan hanya berpihak pada pendidikan anak normal.
Filsuf Marcus Tullius Cicero dalam buku De Legibus (2008:467) “Salus Populi Suprema Lex Esto” yang artinya “keselamatan, kesejahteraan rakyat merupakan hukum tertinggi”. Artinya, tidak alasan bagi kita untuk tidak memberi keselamatan dan kesejahteraan edukasi bagi anak berhambatan belajar.
FPMI Pusat harus mengambil langkah bernas, strategis dan adaptif. Saya mengutip strategi itu dapat dilakukan dengan diktum al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah, yang intinya kita memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik pada konteks pendidikan inklusi.
Ada beberapa formula yang dapat dilakukan FPMI Pusat dengan pendekatan teori fungsionalisme struktural yang digagas Talcott Parsons dengan skema AGIL atau adaptation, goalattainment, integration, latent-patern-maintenance (Ritzer, 1992: 102-105).
Pertama, adaptation (adaptasi). FPMI Pusat perlu urun rembug dengan Kemenag agar pendidikan inklusi menjadi kurikulum inti dalam pelaksanaan standar nasional pendidikan. Perlu juga, mendesain kurikulum adaptif yang integral dengan kebijakan, pembentukan FPMI Daerah maupun wilayah di tingkat provinsi, kabupaten/kota sebagai tangan panjang FPMI Pusat.
Kedua, goal attainment (pencapaian tujuan). Langkahnya FPMI Pusat bersinergi dengan Kemenag-Kemdikbud, madrasah-sekolah, untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang inklusif.
Ketiga, integration (integrasi). Integrasi di sini dalam konteks kebijakan, kemitraan, kurikulum, dan implementasi pendidikan secara teknis agar inklusif. Jika dulu sebelum ada FPMI, madrasah belum “terpapar inklusif”, maka sejak dikukuhkannya FPMI, semua madrasah harus dapat mengintegrasikan kurikulum biasa menjadi inklusif.
Keempat, latent-patern-maintenance (latensi/pemiliharaan pola-pola yang sudah ada). Lewat skema di atas, pola-pola yang sudah ada diperkuat. Kemudian dibalut dengan pola-pola baru lewat analisis kebutuhan, penggalian data, dan rencana aksi untuk menjadikan madrasah “terpapar inklusi”.
FPMI Pusat menjadi wasilah agar anak-anak kita yang berhambatan belajar dapat mengenyam pendidikan formal laiknya anak normal. Jika kita tidak menjamin pendidikan anak-anak berhambatan belajar, patut kita bertanya: kita ini manusia macam apa?
– Pengurus FPMI Pusat Bidang Data dan Informasi dan Fasilitator Daerah Pendidikan Inklusi LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah.
Aku suka