Oleh Bandung Mawardi
Jalan di depan rumah, jalan rezeki bagi orang-orang berkeliling kampung menggunakan mobil sederhana dan pengeras suara. Kita lumrah mendengar: “Ember-ember jebol kula tumbase!” Oh, suara itu mengajak orang-orang berbisnis rongsokan. Pemilik ember-ember jebol bisa mendapat sekian rupiah dengan menjual ke “saudagar” beragam rongsokan. Ember sudah tak berguna gara-gara jebol masih mungkin menghasillkan rupiah. Konon, ember-ember jebol bakal didaur ulang oleh pabrik-pabrik.
Kita masih berpikiran ember. Di dalam rumah, para penghuni belum tentu nglaras bila hujan. Penghuni rumah sibuk memandang ke atas, memastikan sumber air menetes alias bocor. Di sekian tempat, ember-ember disiapkan menampung tetesan air hujan. Di rumah, hujan menjadi tontonan menjengkelkan. Peristiwa rutin dialami orang-orang di Jakarta berlakon hujan digambar oleh Benny Rachmadi dalam buku berjudul 100 Peristiwa yang Bisa Menimpa Anda (2011). Pada malam berhujan, suami dan istri tidur di ranjang dalam kejengkelan. Posisi mereka terhalangi oleh ember. Tidur bersama tapi dipisah ember gara-gara tetesan air hujan. Ember menampung air dari langit menembus atas rumah. Tidur menjadi peristiwa tragis bersama ember. Suami-istri memastikan ember berfaedah tapi membuat tidur kehilangan kehangatan.
Sejak puluhan tahun lalu, orang-orang mengecap ember adalah benda bercerita perempuan. Ember dalam adegan mencuci di sungai atau sumur. Perempuan membutuhkan ember untuk menunaikan rutinitas mencuci pakain kotor. Pilihan tempat mencuci (sungai atau sumur) memungkinkan ada peristiwa-peristiwa tambahan: percakapan bersama teman, mendengarkan lagu-lagu dari radio, atau meratapi nasib dengan monolog seribu keluhan. Pada ember-ember, kaum perempuan membuktikan sebagai tokoh terpenting dalam urusan pakaian. Ilmu “peremberan” perlu dimiliki agar upacara mencuci bisa dinikmati tanpa peremehan. Ilmu itu bisa dipelajari dalam buku susunan Kam Pie Nio dan Gou Tjoe Nio berjudul Pengetahuan Alat-Alat Mentjutji (1961). Orang ingin mendapat pengertian ember dalam mencuci menguak imajinasi keluarga dan asmara boleh membaca buku kumpulan cerita gubahan Mardi Luhung berjudul Aku Jatuh Cinta Lagi Pada Istriku (2011). Bacalah untuk cerita berjudul “Tukang Cuci”, pengisahan lelaki bersama ember dalam peristiwa mencuci dan harga diri!
- Iklan -
Kita tinggalkan masalah ember dengan pedagang rongsokan, kebocoran atap rumah, atau mencuci pakaian. Kini, kita “terpaksa” berpikiran ember demi keselamatan bersama. Hajatan demokrasi mengakibatkan permintaan ember bertambah. Pabrik-pabrik atau pedagang ember dilibatkan dalam hajatan demokrasi diselenggarakan di Indonesia, 2020. Benda itu terlalu penting meski selama puluhan hajatan demokrasi tak pernah terpikirkan. Sejak lama, orang-orang selalu mengingat benda-benda dalam hajatan demokrasi adalah jarum atau paku, kardus, botol tinta, dan lain-lain. Pada masa wabah belum punah, ember masuk dalam lakon demokrasi mutakhir. Ember anggaplah naik derajat dalam menentukan demokrasi atau impian-impian muluk memunculkan elite-elite melalui pemberian suara! Peristiwa memberi suara mengandung risiko selama wabah. Risiko dipertimbangkan dengan menaruh ember-ember di pelbagi tempat pemungutan suara. Ember untuk urusan orang-orang mencuci tangan berdalih peraturan menanggulangi penularan wabah.
Ember menjadi pikiran setelah kita melihat foto dan membaca berita di Solopos, 19 November 2020. Foto hitam-putih itu mengejutkan. Kita tak menduga ember menjadi urusan KPU Wonogiri dalam mengadakan pemilihan kepala daerah 2020. Ember masuk daftar kebutuhan logistik. Tumpukan-tumpukan ember berwarna hitam itu mula-mula terduga dagangan di toko. Dugaan salah bila mencermati keterangan dan penampilan para tokoh berpakaian necis dalam foto. Mereka sedang berpikir demokrasi di depan ember-ember. Di Wonogiri, pihak KPU sudah memiliki 4.366 buah ember demi hajatan demokrasi sesuai peraturan-peraturan pemerintah. Ingat, demokrasi kita mulai berember!
Kita berimajinasi ribuan atau jutaan orang mendatangi tempat-tempat memberikan suara. Mereka datang dengan pilihan, harus melakukan sejenis “pekerjaan” mencoblos. Tangan-tangan mereka mengesahkan dalil-dalil demokrasi meski Indonesia masih menanggung wabah. Tangan-tangan penting dalam mengesahkan demokrasi, membuktikan ada pemberian suara sesuai kaidah pencoblosan. Tangan-tangan pun dianggap berisiko dalam menjaga keselamatan bersama. Perintah terpenting adalah orang-orang mencuci tangan! Di lokasi memberikan suara, ember-ember diperlukan dalam adegan mencuci tangan. Ember wajib hadir bersama sekian benda.
Kita agak terkejut memikirkan kebendaan dalam demokrasi. Janji ingin menjadi negara berdemokrasi memerlukan ilmu dan benda-benda. Ilmu dirumuskan, diperdebatkan, dan dijelaskan melalui pelbagai undang-undang. Ilmu itu dijadikan omelan-omelan dalam rapat-rapat dan seminar-seminar demi mendalilkan demokrasi bermutu meski tetap saja sulit bermutu. Di pelbagai peristiwa, ilmu mengenai demokrasi terus disampaikan atau diajarkan kadang menimbulkan kejenuhan. Demokrasi malah klise setelah kecerewetan setiap hari. Demokrasi itu membosankan dalam pidato-pidato para pejabat gara-gara melulu mengomongkan undang-undang, miskin cerita dan lelucon sosial-kultural. Demokrasi sejenis perintah!
Kini, demokrasi berember. Kita boleh berimajinasi sembarangan dengan menganggap ada ralat, imbuhan, pengurangan, kerancuan, kebingungan, dan kesalahpahaman dalam berdemokrasi. Semula, ember-ember berada di pinggiran sungai, sumur, lantai, kasur, dan pelbagai tempat. Ember untuk beragam keperluan dan kejadian. Ember mula-mula benda keseharian, tak terlalu bermakna politis. Ember tetap kebutuhan penting bagi keluarga-keluarga di Indonesia tapi tak terpikirkan bakal dipentingkan dalam hajatan demokrasi.
Dulu, kita memiliki cerita-cerita mengenai ember, tak lekas memusat ke politik. Ember justru mendokumentasi dan mengisahkan hal-hal keseharian dengan suka, duka, malu, sombong, marah, takut, lucu, dan lain-lain. Kita mulai dulu dari situasi kampung. Sejak lama, kita bisa melihat pedagang berjalan kaki membawa ember. Setumpuk ember di kepala. Dua ember saling dibenturkan. Pedagang berteriak ke para penghuni rumah agar lekas keluar dan membeli ember. Pedagang berjanji ember awet, tak mudah pecah. Di sepanjang jalan, ia bakal sesumbar: “Ember, ember, ember!” Kata-kata beradu dengan suara ember dibenturkan. Cara mencari nafkah itu khas, membuat jalan-jalan di kampung bersuara dan meriah.
Pada masa berbeda, penjualan ember bersama sekian benda mulai menggunakan mobil bergerak lambat. Di bak mobil, ada benda-benda dan juru bicara: “Ember, panci, sapu, baskom….!” Para ibu berkerumun untuk membeli. Mereka memilih sambil bertukar kata dalam percakapan dan berimbuhan gosip-gosip menghibur. Konon, benda-benda itu dijual murah alias terjangkau. Para pembeli kadang masih menawar meski pedagang sudah mengucap harga pas atau memasang tulisan harga. Ember tetap menjadi benda terpenting saat mobil itu mendatangi kampung-kampung.
Cerita lucu, seru, padu kadang terjadi di rumah saat Minggu. Pada masa 1980-an dan 1990-an, para remaja sudah diajari memiliki kebiasaan atau tanggung jawab mencuci pakaian. Mereka sering memilih hari Minggu. Nah, di keluarga dengan sekian anak, perebutan ember biasa terjadi. Perebutan memicu marah, ngambek, dan kisruh. Pilihan mencuci di pagi hari beralasan agar nanti cucian lekas kering. Rebutan pun terjadi. Pemilih waktu agak siang menginginkan adegan bersama ember-ember diiringi senandung dari tangga lagu biasa disiarkan radio. Mencuci sambil membawakan lagu-lagu berbahasa Inggris dan Indonesia. Ember menentukan siap mencuci duluan dan menghitung jumlah pakain kotor. Dulu, ember-ember dipenuhi air dengan menimba air sumur, belum menggampangkan dengan air mengalir di pipa-pipa. Ember menjadi nostalgia remaja saat mendapat amanat mencuci pakaian. Minggu itu ember-ember.
Semua cerita itu mendapat tambahan dalam hajatan demokrasi bakal diadakan berdalih mendapatkan bupati, wali kota, dan gubernur ampuh. Ah, kita kadang sudah meragu kualitas-kualitas para pemenang. Orang-orang mengerti bahasa gaul atau prokem bisa saja meledek dengan “ember”. Di Indonesia, sekian orang kadang mengucap “ember” dalam percakapan. “Ember” bisa diucapkan keras atau bernada meledek. “Ember” tak cuma benda tapi ungkapan memancarkan makna berdampak.
Para pemilik nostalgia ember berada dalam situasi tak keruan. Wabah masih memberi duka berkepanjangan tapi demokrasi terasa “diwajibkan” oleh pemerintah tetap terselanggar. Benda baru dimunculkan dalam hajatan demokrasi: ember. Kita diajak memberi makna baru mengaitkan ember dan demokrasi. Orang kebablasan menafsir sampai ke ledekan hasil hajatan demokrasi itu “ember”. Kita menduga “ember” mengandung ejekan, keraguan, curiga, sindiran, atau peremehan. Pada 2020, ingat hajatan demokrasi, ingat ember dan “ember”. Begitu.