Oleh: Slamet Makhsun
Pesohor tasawuf yang satu ini, memanglah nggumuni. Sepak terjangnya dalam mewarnai peradaban Islam, benar-benar terasa. Terlebih dalam dunia tasawuf. Ia menjadi rujukan utamanya. Ihya ‘Ulumuddin—kitab tasawuf karangan Al-Ghazali—sebagai bukti bahwasannya ia adalah tokoh yang paham secara mendalam dan ‘alim dalam dunia sufi. Kitab yang satu ini, dikaji oleh umat Muslim dunia, terlebih di Indonesia—hampir setiap pesantren menjadikan Ihya ‘Ulumuddin sebagai pelajaran wajib.
Al-Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali At-Thusi, lahir pada tahun 1058 Masehi di Thus, Khurasan, dan meninggal pada tahun 1111 Masehi di tempat yang sama dengan ia lahir. Al-Ghazali, memulai pendidikan dasarnya di tempat kelahirannya. Dari satu guru ke guru lainnya. Di tambah kecerdasannya, dalam umur masih belasan tahun, ia mampu menghafal Al-Quran dan Hadis, sehingga kala itu ia sudah paham banyak keilmuan-keilmuan dasar Islam.
Tercatat beberapa guru Al-Ghazali seperti dalam filsafat, fiqih, teologi, dan logika kepada Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar-Razdzakani, Imam Haramain (Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini), dan Imam Abu Nashr Al-Isma’ily. Belajar tasawuf kepada Al-Farmadzi. Dan juga terus mendalami karya-karya falsafi milik Al-Muhasibi, Imam Junaid Al-Baghdadi, Asy-Syibli, Abu Yazid al-Busthomi, dan banyak lagi.
- Iklan -
Perlu diketahui, sejak kecil Al-Ghazali sudah akrab dengan dunia sufi. Sehingga, terpancarkan akhlakul karimah dari dalam jiwanya. Memang, background keluarganya adalah tasawuf, sehingga, perihal ilmu-ilmu dasar Islam menjadi cepat paham berkat integrasi-interkoneksi dari ilmu tasawuf tersebut. Bahkan, sebelum meninggalkan tempat kelahirannya, oleh masyarakat Muslim setempat kala itu, Al-Ghazali sudah diberi kepercyaan untuk berfatwa dan berijtihad. Bukti kemumpunian ilmunya Al-Ghazali sejak muda.
Setelah merasa khatam mencari ilmu di tempat kelahirannya, Al-Ghazali mulai mengembara ilmu di berbagai penjuru dunia Islam. Seperti ke Irak, Makkah, Mesir, atau Baghdad. Karir cemerlangnya dimulai ketika ia bertemu Nidzamul Mulk, wazir Kesultanan Seljuk.
Sejak awal ketemu dengannya, Nidzamul Mulk sudah merasa bahwa Al-Ghazali memanglah mempunyai potensi keilmuan yang besar. Hal itu terbukti, ketika awal ia datang di Baghdad—basis Dinasti Seljuk—ia memenangkan ‘pergulatan ilmu’ dengan ulama-ulama top daerah tersebut.
Dengan yakin, Nidzamul Mulk menyerahkan Madrasah Nizamiyah—universitas yang didirikan olehnya—untuk diserahkan dan dipimpin oleh Al-Ghazali. Di titik inilah pesona keilmuan Al-Ghazali benar-benar kuat, tiada ulama yang menandinginya. Ia menjadi ahli filsafat dan kalam yang tulen. Namanya pun semakin bermekaran di penjuru dunia Islam. Ia telah menempati tampuk kekuasaan dalam ilmu pengetahuan. Di lain sisi, ia malah semakin jauh dari tasawuf.
Walaupun ia sudah paham dengan banyak keilmuan, masihlah merasa gersang. Menurut Edi Ah Iyubenu, yang terkandung dalam bukunya yang berjudul Muhammadku Sayangku 2, dijelaskan bahwa Al-Ghazali pernah merasa gelisah yang amat mendalam karena merasa terbentur dengan persoalan-persoalan mendasar dari ilmu-ilmu yang dipelajari dan kuasainya selama ini, dari logika, filsafat, kalam, dan sebagainya. Yakni, tidak mengantarnya kepada kepuasan perihal kebenaran.
Tambahnya lagi, semenjulang apa pun ilmunya, Al-Ghazali merasakan bahwa ilmu tersebut hanyalah tangga, tetapi tangga-tangga tersebut tak pernah mampu mengantarkannya kepada ilmu yang haqiqi. Dengan hati yang mantap, Al-Ghazali meninggalkan semua kecermelangan akademisnya. Ia pun mengembara dan ber-uzlah selama sepuluh tahun. Hingga ia mampu menghasilkan karya monumentalnya, Ihya ‘Ulumuddin. Yang sarat akan ilmu-ilmu hakikat dan tasawuf.
Bagi Al-Ghazali, seseorang dapat mencapai kebenaran wujud yang haqiqi, yang dapat menghantarkannya kepada kebahagiaan sejati, setelah mampu membedah esensi wujud (realitas). Perihal esensi wujud, ia membaginya menjadi empat tingkatan:
Pertama, wujud dzat, yaitu wujud yang hakiki, esensial. Yakni wujud yang berada di luar jangkauan indra dan akal, tapi keduanya (akal dan Indra) mampu mempersepsinya. Seperti Al-Quran menjelaskan tentang siksa kubur dan kiamat.
Kedua, wujud hissi (wujud indrawi). Yaitu wujud yang bisa menjelma dalam pengindraan, tetapi, pada pokoknya wujud tersebut tidak memiliki wujud asli. Semisal kita bermimpi digigit ular. Ketika bermimpi, seakan mata kita bisa melihat ular, dan badan yang digigit tersebut, seperti terasa sakit. Namun, setelah kita bangun dari tidur, ular tersebut tidak ada.
Ketiga, wujud khayali (wujud khayalan). Yaitu wujud yang mungkin bisa diindra, tetapi ketika indra tersebut tak mampu menyaksikannya lagi, indra mampu menghadirkannya dalam khayalan sehingga seolah-olah wujud tersebut ada. Semisal ketika kita bertemu dengan seseorang. Imaji dan khayalan tentang seseorang tersebut bisa dihadirkan kapan saja.
Keempat, wujud aqli (wujud rasional). Yaitu wujud yang dapat dipahami dan dijabarkan oleh akal, meskipun tak mesti melibatkan indra dan khayalan. Semisal saat seseorang berkata pada temannya, “Aku adalah singa, tidak ada perdamaian antara singa dengan manusia.” Akal bisa memahami bahwa singa dalam uacapan tersebut bermakna kekuatan, keperkasaan, atau kekejaman.
Dari empat poin di atas, dapat diketahui bahwa wujud Tuhan tidak bisa dirasionalkan. Memang benar manusia dikaruniai akal, yang membedakannya dengan makhluk Tuhan yang lain. Memang benar manusia bisa berfikir, tapi masihlah terbatas. Nah, sesuatu yang tidak bisa dicerna akal manusia seperti hal-hal ghaib inilah yang tetap menjadi rahasia Tuhan. Manusia, apalagi yang beragama Islam, hanya diwajibkan untuk meyakini hal tersebut.
Cukup banyak ayat Al-Qur’an yang menyuruh untuk berpikir. Afala tadzakkarun, afala tatafakkarun, afala ta’qilun. Tapi, subjek yang harus dipikirkan bukanlah Tuhan dan hal ghaib, melainkan karunia Tuhan yang berupa alam semesta beserta isinya. Di situ, manusia bisa merasakan kebesaran dan kekuasaan Tuhan yang Maha Mutlak itu.
Oleh Al-Ghazali, walaupun manusia bisa merasakan kebesaran Tuhan dengan akal-akalnya, tapi, belumlah bisa menghantarkan pada suatu kebenaran yang benar-benar membahagiakan. Untuk mencapai kebahagiaan sejati tersebut, Al-Ghazali masuk ke ranah cinta, yang dalam hal ini adalah cinta kepada Tuhan.
Oleh kaum sufi, cinta dinamakan mahabbah. Seorang sufi yang telah sampai maqom mahabbah, maka telah sampai pada puncak tertinggi. Di situlah Tuhan akan membuka kasyaf-nya. Orang-orang sufi benar-benar akan merasakan rahmat dan kasih sayang Tuhan untuk mereka. Selain cintanya Tuhan, apa yang diharapkan selain itu bagi umat manusia? Tidak ada.
-Slamet Makhsun lahir tanggal 31 Mei 2001. Alumni PP Muntasyirul Ulum asuhan Kyai Ali Affandi ini memiliki hobi ngopi dan membaca buku. Dia juga aktif menjadi pegiat literasi di Garawiksa Institute dan anggota aktif di IPNU kecamatan Parakan kabupaten Temanggung. Kini menempuh pendidikan di Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga. Minat kajiannya tentang isu-isu keislaman.