Judul Buku :Berislam dengan Akal Sehat
Penulis:Edi Ah Iyubenu
Cetakan: April, 2020
Penerbit: DivaPress
- Iklan -
ISBN :978-602-391-958-1
Sebagai makhluk yang nyata dan jelas dicipta, tentu tunduk dan patuh terhadap pencipta adalah sebuah proyek dalam perjalanan hidup. Meski tidak sepenuhnya seluruh makhluk sadar atas posisi dirinya di muka bumi. Sebuah pembuktian adalah masih tidak sedikit yang meremehkan terhadap syariat dalam agama. Syartiat ditetapkan sebagai ujian, dalam arti ia digunakan untuk mengukur bagaiamana kualitas pengabdian hamba kepada penciptanya. Dengan demikian, Allah tidak butuh syariat, kita lah yang membutuhkan. Allah tetap Tuhan yang sebenar-benarnya Tuhan dalam perspektif Islam, meski terdapat sebagian hamba yang tidak pernah patuh terhadap syriatnya. Sama sekali itu tidak mengurangi kualitas dan kuantitas Allah sebagai Tuhan.
Pada dasarnya semua agama selalu menekankan kesedrajatan dalam aspek sosial kemasyarakatan, lebih-lebih agama Islam. sebuah teks rahmatan lil-alamin bukan hanya wujudu tulisan atau wahyu semata. Ia harus betul-betul diimplementasikan ke dalam kehidupan secara nyata. Di sini kemudian, tapal batas agama dalam struktur kemanusiaan. Ia bukan hanya sebuah dogma yang terus-terusan dikultuskan, ia harusnya menyatu dengan alam. Ia juga harus turun mewarnai adat-budaya setempat tanpa harus goyah dari pakem. Inilah yang disinggung Gus Dur sebagai Pribumisasi Islam yang kemudian dilanjutkan dengan proyek Islam (di) Nusantara.
Dalam Islam, keharusan berkembang adalah hal yang tidak boleh ditinggalakan. Seharunya Islam adalah agama yang benar-benar dinamis dan bergerak di jalannya. Ia tidak boleh konstan, hukum-hukum di dalamya harus dikaji sesuai dengan teori-teori penggalian hukum(usul fiqh). Nash al-Quran yang multitafsir sejatinya menuntun kita, bagaimana ia harus diinterpretasikan sesuai dengan keadaan zaman. Sekaligus menegaskan bahwa al-Quran memang kalam Allah yang tidak pernah lekas dan lapuk oleh panas-hujan. Nash yang menimbulkan banyak penafsiran yang justru mendominasi di al-Quran. Andai semua nash hanya menghasilkan satu mata penafsiran, bukan hal yang mengherankan jika ia mampus dihajar zaman.
Sambil mengutip Jalaluddin as-Suyuthi, penulis buku ini seolah membuat gambaran yang sangat jelas bagaimana proses keberagamaan di tengah keberagaman. Bahwa ijtihad di dalam setiap masa adalah niscaya sementara perbedaan pendapat adalah rahmat. Kekhawatiran dan keterbelengguan atas keputusan-keputusan lama yang dianggap mutlak yang harus di hilangkan. Sejujurnya, ide dinamis tidak pernah meluluhlantakkan ide-ide lama(hlm.59). Lagi-lagi syariat akan berkembang dan terus mengikuti aliran zaman dan tegas menolak berpangku tangan.
Pengkultusan terhadap sesorang yang memegang fatwa keputusan rentan menimbulkan tertutupnya pemikiran yang luwes dan bebas. Bebas dalam arti ia tetap dalam protokol syariat itu sendiri. Pengkultusan cenderung menganggap bahwa apa yang terlontar dari orang tersebut adalah suatu kebenaran mutlak, menafikan kebenaran dari jalan lain. Secara sederhana, kemelut atas syariat justru timbul dengan sikap arogan, tuduh-menuduh, dan mengnanggap pihak yang tidak sependapat adalah salah. Di titik ini, keputusan hukum yang beragam justru akan dianggap hal yang tidak lazim, semakin menampakkan bahwa kebenaran hanya satu arah(hlm.45).
Hal-hal demikian seolah menjadikan dan menegaskan bahwa ada sebuah kelompok individu dalam tubuh islam yang begitu ekslusif. Ia sepenuhnya menutup jalan dan pemikiran orang lain dalam satu bahasan yang sama. Itulah yang bisa dirasakan di tengah keberagamaan negara Indonesia yang juga beragam. Islam seolah tertutup dan membabi buta pada akhirnya. Maka ketika pokok syariat butuh terhadap pembaruan dalam hukum, peran akal akan sangat urgen.
Buku Berislam dengan Akal Sehat seolah menjadi petunjuk bagaimana beragama di tengah keberagaman. Buku ini menjadi jalan tengah atas polemik-polemik yang timbul dari arogansi beragama. Pandangan-pandangan yang digali oleh penulis betul-betul menggunakan akal yang sehat dan pemikiran yang terbuka. Ia merespon laju zaman dengan sangat peka dan cekatan. Penulis juga memamparkan kedudukan ushul fiqh di tengah-tengah kehidupan berislam.
Menggunakan bahasa yang renyah dan begitu mudah ditanggap serta sekali-kali bisa membuat pembaca cengar-cengir sendirian, buku ini diharapkan mampu menjadi kritik kecil-kecilan atas keberagamaan(isalam) di tengan keragaman adat, budaya, dan pendapat.
Jogja, 2020
*Moh. Rofqil Bazikh, Menulis puisi, essai, cerpen, resensi yang tersebar di sejumlah media massa. Sekarang tinggal di Banguntapan, Bantul, Yogyakarta.