Oleh Hamidulloh Ibda
Pada Senin (9/11/2020) ini, Universitas Negeri Semarag (UNNES) memberikan gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) Bidang Komunikasi Dakwah dan Sejarah Kebangsaan kepada Maulana Al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya. Dalam penganugerahan itu, beliau akan menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Strategi Komunikasi Pemberdayaan Umat dan Sejarah Kebangsaan”.
Bukan tanpa alasan, selain peran dakwah Habib Luthfi yang dapat menggabungkan spirit agama dan kebangsaan, ulama kelahiran Pekalongan 10 November 1947 ini memiliki peran keilmuan yang berpengaruh besar. Tidak hanya di wilayah tasawuf, fikih, namun keilmuan Habib Luthfi menyasar pada bidang komunikasi, sosial, bahkan ekonomi kerakyatan.
Peran Habib Luthfi makin diakui dunia sejak The Royal Islamic Strategic Studies Centre Jordania, menobatkan Habib Luthfi sebagai 50 tokoh Islam paling berpengaruh di dunia pada 2019. Di tahun yang sama, Habib Luthfi juga menjadi Pemimpin Forum Sufi Dunia pada Pengukuhan Forum Sufi Dunia.
- Iklan -
Apakah hanya di bidang keagamaan? Ternyata tidak. Habib yang jalur nasabnya sampai pada Nabi Muhammad Saw ini juga mampu keluar dari kotak agama karena menggabungkan agama Islam dengan ilmu pengetahuan/sains. Tidak semua ulama dapat mengintegrasikan agama dan sains. Ulama yang dapat mengintegrasikan agama dan ilmu pengetahuan akan dapat hidup moderat dan melayani umat, baik secara keagamaan maupun keilmuan.
Integrasi Agama dan Sains
Dalam buku Religion and Science (1997), Ian Barbour membagi potensi agama dan ilmu/sains ke dalam empat potensi, yaitu konflik, dependen, dialog, dan integrasi. Abdullah (2014) menafsir agama harusnya diintegrasikan, digabungkan, bukan dikonflikkan dengan sains. Namun tidak semua ilmuan maupun kiai, ulama, sufi, dapat mengintegrasikannya. Apalagi integrasi merupakan pekerjaan berat karena harus menemukan dua kutub yang berbeda.
Ilmuan berusaha keras melakukan kerja scientification of Islam (pengilmuan Islam). Sedangkan ulama, kiai, sufi, bekerja keras melakukan islamization of knowledge (islamisasi ilmu). Dua pekerjaan inilah yang sering diyakini akan melahirkan “dikotomi” antara agama dan ilmu pengetahuan. Kebanyakan ilmuan kini hanya dapat mengunggulkan ilmu, sains, namun lemah dapat agamanya. Sedangkan kiai, ulama, sufi, hanya fokus di bidang agama.
Solusi dari dinamika ini adalah mengintegrasikan antara agama dan ilmu pengetahuan/sains. Kedua kutub ini harus diintegrasikan agar agama dan sains dapat duduk bersama untuk mencari solusi atas problem masyarakat.
Dari konsep ini, penulis menyebut Habib Luthfi merupakan ulama yang dapat mengintegrasikan agama dan ilmu pengetahuan. Beliau out of the box (keluar dari kotak) agama, dan mengintegrasikan agama dengan ilmu pengetahuan. Hal itu terbukti dengan berbagai pemikiran, peran, dan gerakan yang dilakukannya.
Beberapa guru besar menyebut Habib Luthfi sebagai ulama yang banyak melakukan novelty (kebaruan), khususnya dalam bidang seni komunikasi berdakwah. Beliau dinilai mampu mengintegrasikan pilar kebangsaan dan keagamaan yang ternyata satu tarikan nafas. Dengan model seperti ini, gerakan dakwah Habib Luthfi sangat inklusif, dan tidak mendikotomi antara agama dengan ilmu pengetahuan. Wajar saja jika mantan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu memberi gelar Habib Luthfi sebagai “Habib NKRI”.
Ulama yang inklusif dan integratif seperti Habib Luthfi mampu mengintegrasi agama dan ilmu pengetahuan. Luarannya adalah paradigma beragama yang inklusif, moderat, toleran, dan tidak radikal-konservatif, serta tidak sekuler-liberal. Ulama seperti inilah yang dibutuhkan Indonesia di tengah gempuran konservatisme, radikalisme, terorisme, dan liberalisme.
Peran dalam bidang keagamaan dan pemerintahan, Habib Luthfi dikenal sebagai mursyid tarekat. Beliau juga dikenal sebagai tokoh NU, anggota Syuriyah PBNU, Ketua Umum MUI Jateng pada 2005-2010, Ra’is ‘Am Jami’iyyah Ahlu Thariqah al Mu’tabarah an Nahdiyah (JATMAN), anggota Dewan Pertimbangan Presiden periode 2019-2024, dan lainnya.
Peran Keilmuan
Di bidang keilmuan, pemikiran, konsep, gerakan, dan peran Habib Luthfi dikaji, diteliti, di banyak karya ilmiah. Hal itu terbukti dengan banyaknya riset yang dilakukan mahasiswa S1, S2, S3 yang mengkaji pemikiran Habib Luthfi dari berbagai perspektif. Dari data yang penulis dapat, pemikiran Habib Luthfi dimuat dalam Prosiding Seminar Kopertais IV Jatim, UNNES, UKSW Salatiga, UNISNU Jepara, UIN Walisongo, IAIN Pekalongan, UIN Jakarta, IAIN Cirebon, UIN Surabaya, UIN Bandung, INSTIKA, UIN Yogyakarta, IAIN Salatiga, UMY, IAIN Surakarta, UIN Malang, UGM, IAIN Kudus, IAIN Ponorogo, Universitas Mercubuana, dan lainnya.
Pemikiran Habib Luthfi juga diteliti dan dimuat di buku, riset, prosiding, dan jurnal ilmiah internasional. Seperti Islamic Militancy and Resentment against Hadhramis in Post-Suharto Indonesia (2011), RIMA: Review of Indonesian and Malaysian Affairs (2012), Routledge Handbook of Religions in Asia (2014), Doctor of Philosophy Anthropology and History) the University of Michigan (2016), The 9th International Graduate Students and Scholars’ Conference in Indonesia (IGSSCI) (2017), Indonesian Journal Of Islam And Muslim Societies (IJIMS) (2017), Journal of the Royal Anthropological Institute (JRAI) London, United Kingdom (2019), Al-Jami‘ah: Journal of Islamic Studies (2019), Universitas Indonesia Conferences, 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia (2019), The New Guardians of Religion: Islam and Authority in the Middle East (2019), International Journal of Indonesian Society and Culture (2020), dan lainnya.
Habib Luthfi juga menulis buku Habib Luthfi bin Yahya Berbicara Seputar Tarekat (2012), Mengenal Tarekat Ala Habib Luthfi Bin Yahya: Nasihat Spiritual (2014),dan Secercah Tinta (2014). Sedangkan dalam buku lain yaitu Pelita Hati Seorang Ulama Sejati: Biografi Singkat Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya (2005), Sejarah Maulid Nabi: Meneguhkan Semangat Keislaman Dan Kebangsaan Sejak Khaizuran (173 H) hingga Habib Luthfi bin Yahya (1947 M-sekarang) (2015), dan lainnya.
Biasanya tokoh-tokoh publik yang akan mendapat gelar doktor HC sering mendapat penolakan dan kontroversi. Berbeda dengan Habib Luthfi yang justru mendapat sambutan bahagia. Hampir semua kalangan tersenyum dan menyambut gembira atas penganugerahan doktor HC kepada Habib Lutfhi.
Hal itu dikarenakan secara peran keagamaan, kebangsaan, dan keilmuan keagaman serta keilmuan umum, Habib Luthfi memiliki distingsi yang mencolok. Sebab, banyak pemikirannya dijadikan objek riset ilmiah yang skalanya internasional. Begitu pula secara personal, Habib Luthfi juga melahirkan sejumlah buku sebagai bukti intelektualitas seorang ulama.
Masyarakat Indonesia tentu bangga memiliki Habib Luthfi. Meski beliau keturunan Rasullullah, namun juga dapat mengintegrasikan agama, pengetahuan, dan kebudayaan. Kemampuan komparatif inilah yang menjadikannya laik menjadi seorang doktor HC. Habib Luthfi telah berjuang untuk bangsa, agama, dan ilmu pengetahuan. Kini, siapa sosok berikutnya?
–Pengurus LP Ma’arif PWNU Jateng, Kabid Media Massa, Hukum, dan Humas Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jateng.