Oleh Ahmad Nahrowi
Zaman sekarang orang tua akan bangga jika buah hatinya memperoleh gelar nritik dibelakangnya, meskipun attitude dan unggah-ungguhnya kurang, meskipun entah nanti setelah mati anak-anaknya bisa mendoakanya apa tidak, atau cukup diputarkan MP3 Surat yasin, entah! Mereka tidak peduli, masa bodoh, apatis, yang penting anak-anaknya sudah sukses di dunia tanpa mementingkan kesuksesan di akhirat.
Mereka rela banting tulang, kepala jadi kaki, berangkat pagi pulang hampir pagi lagi, demi membiayai putra-putrinya. Pendek kata orang tua sekarang begitu mendewakan pendidikan formal. Jika tidak memasukan putra-putrinya ke sekolah formal seolah kehidupanya tidak nyaman. Selalu terngiang dipikiran saya, kenapa stereotipe orang tua terhadap dunia pendidikan formal begitu besarnya seolah menggantungkan hidup di dunia formal.
Berkebalikan dengan dunia pesantren yang dipikiran mereka selalu termarjinalkan. Anggapan mereka pesantren itu hanya berkaitan dengan hal religius dan spiritual saja, yang erat hubunganya dengan akhirat dan ritual-ritual keagamaan, mereka menganggap pesantren tertinggal dan tidak bisa diharapkan.
- Iklan -
Setelah melalui angan-angan yang panjang, kajian-kajian dibeberapa pustaka, dan diskusi santai diwarung kopi, saya mendapat nataijul fikri (buah fikiran), dibalik orang tua zaman sekarang yang begitu mendewakan dunia formal, ternyata tanpa disadari mereka adalah korban dari Kolonial Belanda. Kok bisa korban? bukankah kita sudah merdeka? Mari telaah ulasan saya dibawah ini:
Dalam sejarah tidak asing ditelinga kita HIS, Volkscholl (Sekolah Rakyat) dan ELS. Ketiganya lembaga pendidikan buatan kolonial yang akrab ditelinga Veteran maupun diangan-angan buyut moyang kita, dahulu jika pribumi ingin bekerja di post-post atau setidaknya memiliki pekerjaan yang layak syaratnya harus memasuki pendidikan tersebut. Selain dari lulusan pendidikan tersebut sulit untuk mendapat pekerjaan layak.
Diluar tiga lembaga pendidikan diatas, sebenarnya masih banyak lembaga pendidikan formal lainya, namun HIS, Volkscholl dan ELS lebih berpengaruh dan masyhur dimasa itu. Kita mulai dari HIS (Hollandsche Indlandsche School), berdiri pada tahun 1914, sekolah ini hanya diperuntukan untuk golongan atas, anak priyayi, anak sultan ataupun keturunan Belanda, jika kalian anak petani jangan harap bisa mengenyam dipendidikan ini. Apabila lancar, HIS bisa ditempuh tujuh tahun, setelah itu lanjut di Mulo (setingkat SMP), AMS (setingkat SMA) dan bisa ngampus di Stovia (sekolah kedokteran).
Kemudian ELS (Europesche Lager school), berdiri tahun 1817 pendidikan dasar ini dikhususkan untuk orang-orang berdarah eropa, hanya segelintir pribumi yang bisa masuk di ELS, setelah itu bisa lanjut di HBS (SMA) dan bisa meneruskan kuliah di Belanda, lanjut pendidikan militer ataupun bekerja. Terakhir Volkscholl atau akrab dengan sebutan Sekolah Rakyat, berdiri pada tahun 1907.
Jika HIS dan ELS tadi diperuntukan kepada kelas atas Borjuis, maka hadirnya Volkschool ini sebagai wadah pendidikan formal kaum Pribumi Proletar, mirisnya pendirian Volkshool ini merupakan awal mula penjajahan pendidikan kita oleh Kolonial, yang selanjutnya merubah sudut pandang masyarakat terhadap pendidikan. Karena maksud dari pendirian Volkscholl ini disiapkan oleh kolonial untuk mengisi post-post dan menjadi buruh di perusahaan milik kolonial.
Hal ini sesuai dengan penuturan Van Den Bosch yang kala itu menjabat sebagai Gubernur Jendral Hindia-Belanda, dikutip dari encyclopedia Jakarta-tourism, Van Den Bosch telah merasakan bahwa tanpa bantuan penduduk pribumi yang terdidik, baik untuk administrasi pemerintahan maupun pekerja kelas bawah, pembangunan ekonomi di Hindia Belanda tidak mungkin berhasil. atas dasar itu, didirikanlah Volkschool.
Lalu dimanakah letak kita sebagai korban kolonial? Bukankah Bapak Pendidikan kita Ki Hajar Dewantoro dan juga banyak pahlawan lainya lahir dari sistem pendidikan yang dibawa kolonial? Saya mengakui sekali atas peran tersebut, namun yang saya sayangkan efek sampingnya secara perlahan pendidikan kolonial merubah total mindset Bangsa Indonesia, parahnya itu bertahan hingga sekarang.
Diatas sudah saya terangkan bahwa pendidikan yang dibawa kolonial maksud tujuanya adalah untuk mempersiapkan pekerja-pekerja, tapi kita tidak menyadari sebelum lahirnya pendidikan formal bawaan kolonial, Bangsa Indonesia sebelumnya telah memiliki pendidikan sendiri tak lain tak bukan adalah sistem pendidikan Pondok Pesantren. Dimana pemuda dulu berduyun-duyun bersusah payah nyantri.
Disparasi (perbedaan) antara pesantren yang lahir jauh sebelum adanya pendidikan formal dengan pendidikan formal itu sendiri sangat ketara. Pondok Pesantren, sistem pendidikan yang lahir dari warisan Sunan Ampel ini berdiri atas kesadaran penuh masyarakat akan pendidikan, khususnya pendidikan agama istilahnya Li izalatil jahli, linaili ridhollohi, wa li ihya’i add-dini (Menghilangkan kebodohan, mendapat ridho Allah dan menghidupkan agama).
Bisa dipastikan masyarakat yang menimba ilmu dipesantren mindset atau pola pikirnya jauh dari kata materi’il dan perkara keduaniawian, mereka yang belajar disini murni dari hati nurani dan tidak silau dengan iming-iming duniawai, kontras dengan pengenyam pendidikan formal yang menimba ilmu demi mendapat pekerjaan, jabatan dan berada di zona nyaman.
Sebelum Belanda mendirikan HIS, ELS, Volkskoll dll. Sebenarnya melalui Surau-surau kecil, Langgar, Masjid, Pondok, Kiai dan tokoh agama sudah mengajarkan pendidikan. Tapi sayangnya yang dianggap Bapak Pendidikan nasional malah Ki Hajar Dewantoro yang notabene lahir dari produk pendidikan kolonial, bukan tokoh pendiri pesantren yang murni dari dalam negeri. Tidak hanya perkara spiritual religius saja yang disuguhkan pesantren, selanjutnya karena kolonial yang semakin bengis, pondok dan pusat tempat pengajaran islam lainya menjadi basis utama perlawanan kepada kolonialis, karena santri juga diajari dengan hubbul wathon minal iman, istilah formalnya nasionalisme dan patriotisme.
Kesimpulan dari opini saya ini adalah niat belajar bangsa kita yang sebelumnya murni untuk benar-benar menghilangkan kebodohan, niat itu terkotori oleh kolonial, tergiur dengan pendidikan formal yang mereka bawa, niat belajar nuprih berubah untuk mencari materi, pangkat tinggi, pekerjaan, suatu niat yang penuh dengan pamrih, sistem pendidikan yang dulunya kental akan nilai budi luhur pakerti dan bertahan berabad-abad, tersingkirkan oleh pendidikan formal materialis dan itu bertahan hingga generasi sekarang bahkan sudah menjadi kepercayaan.
Bangsa yang hampir enam abad menggunakan pendidikan pesantren, lenyap tergerus dengan pendidikan yang dibawa kolonial. Niat untuk menghilangkan kebodohan, mendapat ridho Allah SWT dan menghidupkan agama hilang, luntur. Bahasa kasarnya mindset kita tentang pendidikan sampai sekarang masih terjajah.
Lalu pendidikan formal itu buruk? anda tidak setuju dengan pendidikan formal? Bukankah kita akan tertinggal jika tidak memakai sistem pendidikan formal seperti sekarang? Anda menghendaki untuk menghapus pendidikan formal?
Bukan begitu, saya tetap setuju dengan pendidikan formal, wong saya sudah tujuh belas tahun melahap pendidikan formal, saya tidak mau munafik, yang saya sayangkan hanya mindset masyarakkat ini yang goyah, saya meyakini Formal itu penting, tapi pendidikan agama itu wajib, dan pendidikan yang wajib ini sekarang malah menjadi ‘aib’ ditengah masyarakat.
Pembahasan ini akan saya lanjutkan di part kedua yang akan datang. Wallahu a’lam.
-Santri Pon. Pes Lirboyo HM Al-Mahrusiyah, Mahasiswa IAI Tribakti Kediri. Redaktur Pers Elmahrusy, Author Almahrusiyahlirboyo.sch.id