Oleh Bandung Mawardi
Belasan hari membaca koran-koran, kita keseringan menemukan berita dan foto mengenai pelanggaran mendapat hukuman. Semua berdalih penanggulangan wabah. Di jalan atau ruang publik, orang-orang tak mengenakan masker bakal ditanggap oleh petugas mengacu peraturan. Mereka sering dihukum menyapu. Jemu! Kita mulai jemu disuguhi pemberitaan di koran dan televisi melulu tentang pemberian hukuman menyapu disaksikan para petugas dan publik. Hukuman cenderung ingin “memalukan” tapi mengesankan kewaguan mengartikan wabah dan menerapkan peraturan. Adegan orang-orang terhukum menyapu belum tentu mengajarkan masa sapu. Benda itu mulai laris tapi tak menjamin ada pengisahan. Jemu dengan berita-berita tetang hukuman menyapu, kita mendingan menilik masalah sapu dalam pelbagai peristiwa dan masa.
Di desa-desa, bocah diajari memiliki peristiwa di rumah. Orangtua menjadi pihak memberi “perintah” dan contoh agar bocah-bocah bisa rutin berperistiwa di rumah: mencuci, menyapu, memberi makan ternak, atau memasak. Peristiwa penting turut membentuk pribadi bocah adalah menyapu. Bocah berbagi peran sebagai penyapu lantai di dalam rumah atau penyapu di pekarangan. Peristiwa demi kebersihan. Di mata orangtua, menyapu pun berarti mengajari rajin, tanggung jawab, dan semangat. Pagi, waktu untuk menyapu dan menghormati hari. Sore pun menyapu setelah seharian lantai dan pekarangan menjadi kotor lagi oleh debu, daun, plastik, dan lain-lain.
Bocah menyapu membuktikan ingin memiliki dan betah saat berada di rumah. Menyapu mengajak keluarga berselera bersih. Keluarga sadar kesehatan. Keindahan pun terasa dan terlihat. Tangan memegang sapu. Kaki bergerak dengan pola berulang. Menyapu itu raga bergerak tapi bukan menari, senam, atau ibadah. Peristiwa tubuh mengandung sekian hal dipelajari bocah setelah mahir dan menjalani ratusan kali. Menyapu itu sebentar tapi membentuk pemaknaan tak usai.
Pada 1951, terbit buku berjudul Merdu: Njanjian Sekolah Rendah susunan Kasim St M Sjah. Di halaman 17, kita membaca lirik lagu dijuduli “Menjapu”. Lagu untuk murid-murid kelas II. Lagu sederhana bercerita kebiasaan bocah-bocah masa lalu: O, lihatlah pekarangan/ O, banjak bermatjam sampah/ Djangalah berpangku tangan/ Ajo kerdja tak harap upah// Ajo, ambillah sapu lidi/ Ha, bersihkan pekarangan/ Kalau sudah kerdja djadi/ Kan enaklah pemandangan. Bocah melihat pekarangan, mengerti sampah harus dibersihkan. Menyapu itu pembuktian si bocah teliti tempat sampah berada. Teliti pula untuk mengarahkan sampah.
Si penyapu tak usah berharap mendapat upah dari orangtua. Menyapu itu tanggung jawab di keseharian. Sapu lidi digerakkan menimbulkan suara. Di tatapan mata, ujung sapu lidi membuat lukisan bergaris berkesan elok. Bosah mungkin lelah saat menyapu tapi suara dan gambar itu cukup memberi hiburan. Menyapu itu pembuktian si bocah teliti tempat letak berada bertebaran. Teliti pula untuk mengarahkan sampah.
Pagi, sebelum bocah-bocah mandi atau berangkat ke sekolah, menyapu di hitungan menit sambil bersenandung dan melihat suasana. Bocah menyapu di dalam dan luar rumah. Kebiasaan di rumah-rumah itu menampilkan kesibukan menggairahkan atas putaran waktu. Pekarangan-pekarangan bertokoh bocah, ibu, atau nenek sedang menyapu. Mereka kadang juga menyapu jalan tanah di depan rumah. Di depan rumah-rumah, menyapu mirip “upacara” terpenting demi kebersihan dan kebahagiaan. Penyapu menampik malas, berharap awalan hari itu bermakna dengan membersihkan lantai, pekarang, dan jalan. Kebersihan pun terasakan di hati dan pikiran.
Nostalgia menyapu itu mengalami penambahan makna di situasi berlainan. Pada masa Orde Baru, murid-murid di sekolah sering mendapat pelajaran berhikmah menggunakan simbol sapu lidi. Guru memberi propaganda bertema persatuan. Sapu lidi itu persatuan. Batang-batang lidi saat dijadikan satu dan terikat itu menguatkan dan membuktikan kebersamaan. Di mata imajinasi bocah, sapu bukan cuma alat membersihkan lantai, pekarangan, dan jalan. Sapu itu mengisahkan persatuan Indonesia. Propaganda guru selalu berulang. Murid mungkin menganggap itu berlebihan dalam mencipta kebersamaan di Indonesia. Guru tak lupa mengaitkan sapu lidi dengan pohon kelapa. Sekian cerita berujung ke pengesahan Indonesia itu molek oleh pemandangan “nyiur melambai”.
Di luar pelajaran atau khotbah guru, murid-murid membuat ulah dan makan dengan sapu untuk lantai dan sapu lidi di sekolah. Mereka menjadikan itu mainan untuk imajinasi. Sapu bisa menjadi “gitar”. Sapu menerbangkan mereka seperti di cerita-cerita penyihir. Batang lidi kadang diambil untuk “perang-perangan”. Di kegirangan bermain dan imajinasi, sapu kadang menjadi alat dalam pertengkaran atau perundungan. Murid bisa menjadikan sapu itu “senjata”. Sapu digunakan untuk memukul kepala atau tubuh. Kita tentu prihatin saat mengetahui ada ajaran ke murid-murid rutin mengadakan kerja bakti atau piket di kelas. Sapu itu benda penting.
Imajinasi baru mengenai sapu mungkin dipengaruhi pula oleh pengenalan kita atas pekerjaan tukang sapu di kota. Di jalan dan taman, pasukan kebersihan berbekal sapu lidi. Mereka bertugas membuat kota bersih dan indah, sejak pagi belum terlalu terang dan panas. Pekerjaan itu memenuhi kewajiban pemerintah membuat pelbagai tempat bersih. Menyapu itu pekerjaan bergaji. Perbuatan bocah menyapu di rumah dan tukang sapu di kota terasa berbeda di kenikmatan dan pengertian upah (gaji). Kota tanpa sapu bakal menjadi tempat kotor, kumuh, buruk, dan bau. Kota memerlukan sapu setiap hari. Orang menyapu di kota sering teranggap menunaikan pekerjaan rendahan bergaji kecil.
Pada masa kita masih bocah, sapu mengandung sekian makna, sebelum “terlalu” politis. Di Indonesia, sapu itu dipilih sebagai diksi di pelbagai kebijakan dan gerakan politik. Konon, pemerintah berulang mengadakan kebijakan “sapu bersih” pungutan liar. Kebijakan tak pernah manjur. Sapu dipilih untuk memicu imajinasi membersihkan. Kini, sapu muncul lagi dalam masalah undang-undang. Kemunculan sebutan “sapu jagat” memastikan publik lekas mengerti faedah dan dampak. Semula, sapu benda berkaitan kotor atau sampah. Pada masalah politik dan perundang-undangan, sapu menjadi diksi minta dipahami serius oleh publik. Sapu tak melulu benda bergerak di lantai, pekarangan, dan jalan.
Sapu di lakon politik terbukti di pemilu. Kita mulai mengerti ada partai politik memilih sapu lidi sebagai logo. Posisi ujung sapu lidi berada di atas. Sapu itu memberi pesan-pesan politik ke publik. Konon, partai politik berlogo sapu berisi kaum muda. Mereka mengaku ingin menjadikan Indonesia “bersih”, setelah terlalu lama “dikotori” atau “dinodai” oleh ulah politik biadab, korupsi, pembohongan, dan lain-lain. Sapu mulai diimajinasikan secara politis saat bocah dan kaum muda di Indonesia abad XXI mulai lupa atau malas menyapu di rumah. Bocah mulai malu menyapu. Di rumah, menyapu itu pekerjaan kaum tua atau pembantu. Jalan-jalan tak lagi tanah, berganti beton dan aspal. Adegan “melukis” jalan tak mungkin lagi. Di rumah-rumah, peristiwa menyapu berkurang makna seperti pernah teralami oleh kaum nostalgis.
Kita masih memiliki makna imbuhan berkiatan sapu saat tangan-tangan kaum bocah dan kaum tua memilih gawai ketimbang sapu. Penyapu itu bernama Whani Darmawan. Ia masih rajin menyapu di rumah, bukan tukang sapu di jalanan kota. Kita membaca di Tempo, 17 Februari 2020: “Whani Darmawan, 53 tahun, kerap menghafal dialog dan adegan seraya menyapu halaman rumah, membersihkan dapur, mencuci piring, dan menata gudang.” Di Tempo, kita melihat foto Whani Darmawan dengan tangan kanan memegang lembaran naskah dan tangan kiri memegang sapu dalam posisi terbalik. Whani Darmawan selaku aktor di teater dan film memang tampak keren saat beradegan memegang sapu. Foto itu lelaki memegang sapu, bukan menyapu. Kita sengaja membaca berita dan melihat foto itu berharap sapu tak punah (makna) dalam perbincangan keseharian. Begitu
Sapu…
Leave a comment
Leave a comment