Oleh: Saiful Bari
Virus radikalisme kian menguat di Indonesia. Indikatornya dapat dilihat dari maraknya gerakan kelompok anti Pancasila, pandemi, dan era disrupsi. Ketiga faktor inilah, kiranya dalam pandangan penulis, yang menyebabkan radikalisme bak virus covid-19 yang berhasil melumpuhkan di segala sektor kehidupan manusia. Dengan kata lain, ketiganya saling menguatkan di antara satu dengan lainnya. Hanya saja, yang paling mempengaruhi adalah era disrupsi itu sendiri.
Era disrupsi secara umum dipahami sebagai fenomena ketika masyarakat mengubah aktifitas-aktifitas yang lazim dilakukan di dunia nyata namun sekarang bisa dilakukan di dunia maya misalnya, melalui basis internet. Berdasarkan hasil survei nasional PPIM UIN Syarif Hidayatullah (2017), internet berpengaruh besar terhadap meningkatnya intoleransi pada generasi milenial. Dalam catatannya, siswa dan mahasiswa yang tidak memiliki akses internet lebih memiliki sikap moderat dibandingkan mereka yang memiliki akses internet. Padahal, mereka yang memiliki internet sangat besar, yaitu sebanyak 84,94% sisanya 15,06% siswa/mahasiswa tidak memiliki internet.
Data tersebut menunjukkan bahwa, pada tahun 2017 kemarin generasi milenial lebih cenderung mengandalkan internet dalam melakukan interaksi sosialnya termasuk sebagai sumber belajar agama. Tercatat, ada sebanyak 54,37% siswa dan mahasiswa belajar pengetahuan tentang agama dari internet, baik itu media sosial, blog, maupun website. Angka ini tentu akan terus meningkat di sepanjang era disrupsi.
- Iklan -
Fenomena tersebut, disadari atau tidak, diperburuk lagi oleh pandemi korona yang semakin sulit diprediksi kapan berakhirnya. Fakta menunjukkan bahwa sejak korona masuk ke Indonesia pada bulan Maret kemarin maka kegiatan-kegiatan dilakukan di rumah termasuk kegiatan belajar mengajar (KBM). KBM pun turut dilakukan dengan cara daring (atau mengandalkan basis internet). Dengan menggunakan basis internet sebagai media utama dalam KBM maka tak dapat dihindari bahwa konten-konten provokatif sedikit banyak bertebaran di smartphone para siswa dan mahasiswa.
Belum lagi, kelompok anti Pancasila kian gencar melakukan provokasi terhadap rakyat misalnya, penayangan film dokumenter yang berjudul Jejak Khilafah di Nusantara karya ala HTI ini, meminjam bahasanya Azyumardi Azra (2020), dibuat untuk mengelabui masyarakat yang tidak paham sejarah dengan cara memanipulasi sejarah yang dibuat seromatis mungkin. Tentu ini merupakan sebuah warning.
Hemat penulis, kompleksitas kehidupan keagamaan saat ini mengalami tantangan yang amat besar dan berbeda dengan masa sebelum era disrupsi hadir dan kemudian diperparah dengan hadirnya korona yang turut memaksa masyarakat mau atau tidak, menggunakan internet sebagai basis utama dalam melakukan interaksi sosial. Akhirnya, era disrupsi dengan segudang fasilitasnya telah memanjakan kita.
Menurut Lukman Hakim Saifuddin (2019), dengan fasilitas internet dan sosial media (sosmed), generasi milenial cenderung tidak menganggap otoritas agama (ulama dan kiai) sebagai bagian penting dari kehidupan seharihari mereka. Berbeda dengan generasi sebelumnya, yang sering fokus pada kebutuhan individu dan sangat kritis terhadap nilainilai dan keagamaan tradisional.
Menurutnya lagi, konten-konten keagamaan yang radikal dan ekstrim menjadi mudah dikonsumsi tanpa ada konsultasi dengan otoritasotoritas keagamaan tradisional yang ada. Akibatnya, pemikiran keagamaan sebagian kelompok milenial cenderung radikal dan ekstrim.
Itulah sebabnya, Noorhaidi Hasan mengatakan (2020), era disrupsi ini tidak hanya membawa kemaslahatan bagi kita melainkan era yang pada akhirnya menjungkirbalikkan peran ulama atau kiai pesantren. Menurutnya lagi, era inilah yang disinyalir turut membantu tumbuh-kembangnya virus radikaslisme di jagat maya ini. Maka, jangan heran apabila radikaslisme dalam beragama begitu kuat di sepanjang era ini.
Oleh karena itu, kebutuhan masyarakat akan pemahaman agama yang baik dan benar juga dibutuhkan pada era disrupsi sekarang ini dan lebih-lebih di tengah berlangsungnya pandemi serta maraknya kelompok anti Pancasila. Karena agama menempati posisi dan peran kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang multi agama, pelaksanaannya dalam kehidupan publik harus taat pada konsititusi.
Dalam konteks pandemi, peran pemerintah dalam upaya membentengi warga negaranya dari virus radikalisme sangatlah terbatas. Pasalnya, semua alat negara (mulai dari aparat desa hingga pusat) juga memiliki kekhawatiran yang sama, yakni bagaimana menjaga diri dan keluarganya dalam membentengi diri dari radikalisme ini. Di samping, pemerintah tertatih-tatih dalam melawan badai pandemi covid-19.
Dalam rangka menjaga generasi milenial (atau generasi penerus bangsa) terhindar dari kebiasaan mengkonsumsi konten-konten yang provokatif dan agar tidak terpapar virus radikalisme, maka mengawasi dan membatasi ruang akses putra-putrinya dalam menggunakan akses internet merupakan suatu kewajiban. Baik kewajiban sebagai orang tua terhadap anaknya maupun kewajiban sebagai warga negara terhadap kesetiaannya pada NKRI.
Akhirnya, semakin besar peran keluarga yang dimiliki, maka semakin kecil pula faktor kerentanan terpapar radikalisme.
-Alumnus Program Studi Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Juga, pernah nyantri di ponpes Al-falah Silo, Jember. Kini, aktif sebagai peneliti The al-Falah Institute Yogyakarta.